Setelah para brahmana yang menyertainya kembali ke sramanya masing-masing para Pandawa lalu berunding, mereka memutuskan untuk melakukan penyamaran di Negeri Wirata.Yudistira akan menyamar sebagai seorang saniyasin dengan nama Kangka. Bima akan menyamar sebagai seorang juru masak dengan nama Bailawa. Arjuna akan menyamar sebagai seorang banci yang pandai menari dengan nama Brihatnala. Nakula akan menyamar sebagai seorang tukang kuda dengan nama Dharmaganti. Sahadewa akan menyamar sebagai pengembala sapi dengan nama Tantripala. Sedangkan Draupadi akan menyamar sebagai seorang pelayan dengan nama Sailindri. Setelah itu merekapun langsung berangkat. Di perbatasan Wirata ada sebuah pohon kapuk yang besar. Para Pandawa memutuskan untuk menyembunyikan senjata-senjata dan pakaian mereka yang asli di atas pohon kapuk tersebut lalu mulai mengenakan pakaian penyamaran. Kemudian secara sendiri-sendiri mereka melamar pekerjaan ke Negeri Wirata. Yudistira diterima sebagai staf penasehat Raja Wirata yaitu Raja Matsyapati, Bima diterima sebagai juru masak istana. Arjuna diterima sebagai guru seni suara pada sebuah kursus seni. Di tempat ini anak-anak raja dan anak-anak para bangsawan belajar tari dan seni suara. Sahadewa diterima sebagai pengembala sapi oleh ketua pengembala istana. Nakula diterima sebagai tukang kuda oleh kepala tukang kuda istana dengan tugas untuk merawat kuda-kuda para prajurit. Sedangkan Draupadi diterima sebagai dayang permaisuri raja yang Ratu Sudhesa.
Panglima tertinggi kerajaan Wirata bernama Kichaka adik dari Ratu Sudhesa atau adik ipar Raja Matsyapati. Panglima ini jatuh cinta kepada Sailindri sehingga ia selalu mencari-cari kesempatan untuk bertemu dengan Sailindri. Pada suatu hari, Kichaka secara terus terang menyatakan rasa cintanya kepada Sailindri. Sailindri menolak cinta Kichaka dengan alasan ia telah mempunyai suami tetapi Kichaka tidak peduli dan terus berupaya agar Sailindri menerima cintanya.Tanpa malu-malu ia menyampaikan isi hatinya kepada kakaknya ratu Sudhesa dan berharap agar kakaknya mau membantunya. Semula ratu Sudhesa tidak menyetujui niat Kichaka mencintai Sailindri mengingat Sailindri hanyalah seorang pelayan tetapi karena Kichaka bersikeras akhirnya ratu Sudhesa menyetujuinya dan sanggup memberikan bantuan.
Pada suatu hari, Sailindri diperintahkan oleh Ratu Sudhesa untuk mengantarkan minuman keras kepada Kichaka dalam sebuah kendi emas. Ketika Sailindri tiba di tempat Kicbaka, Sailindri dipaksa untuk menginap di tempatnya pada malam itu. Sailindri menolak dan langsung melarikan diri, ia tidak langsung lari ke istana Ratu Sudhesa melainkan larinya ke dapur tempat Bima bekerja. Kepada Bima ia melaporkan perlakuan yang diterimanya dari Kichaka. Mereka lalu merundingkan cara untuk membunuh Kichaka.
Beberapa hari kemudian Kichaka mendatangi tempat Sailindri dan memaksa Sailindri untuk menerima cintanya. Sailindri pura-pura menerima cinta Kichaka dan ia berjanji akan menunggu kedatangan Kichaka di ruang latihan menari pada tengah malam. Mendapat jawaban demikian Kichaka menjadi sangat gembira. Sesuai dengan yang dijanjikan oleh Sailindri, maka pada tengah malam Kichaka datang ke ruang latihan menari. Ketika ia sampai di sana ruangan tersebut telah sepi dan gelap. Dengan bernafsu ia memasuki ruangan dan langsung menuju ke sudut ruangan di mana terdapat sebuah sofa karena ia yakin bahwa Sailindri telah menunggunya di sofa tersebut. Alangkah kagetnya ia ketika menyentuh tubuh yang ada di atas sofa. Bukannya badan yang halus lembut melainkan tubuh yang kasar dan keras. Begitu tubuh itu disentuh ia langsung menyerang Kichaka. Kichakapun dengan sigap mempertahankan diri dari serangan tersebut. Kichaka berpikir, “Mungkin ini suami Sailindri yang ingin membunuh aku .” Terjadilah perkelahian hebat antara Kichaka dan Bima. Seperti yang telah direncanakan Bima memang menunggu Kichaka di ruangan itu. Perkelahian cukup lama dan akhirnya Bima berhasil membunuh Kichaka. Setelah membunuh Kichaka, Bima langsung memberitahukan kematian Kichaka kepada Sailindri lalu ia kembali ke dapur dan tidur sampai pagi.
Berita tentang kematian Kichaka tersebar ke seluruh negeri dan juga sampai ke telinga Duryodana. Duryodana berpikir, “Kichaka orang kuat, hanya ada dua orang yang bisa mengalahkan dia, salah satunya Bima. Mungkinkah Kichaka dibunuh oleh Bima yang sedang menyamar di sana? Mungkinkah wanita yang dicintai oleh Kichaka adalah Draupadi?” Dugaan-dugaan tersebut kemudian disampaikannya dalam sidang dewan istana. Selanjutnya Duryodana mengusulkan rencananya, “Kita serang Wirata, kita rampas ternak-ternaknya. Seandainya Pandawa benar ada disana sudah tentu mereka akan membantu Wirata. Dengan demikian kita bisa menemukan Pandawa sehingga mereka harus hidup dipembuangan selama dua belas tahun lagi namun bila Pandawa tidak ada di sana tidak apa-apa. Kita akan leluasa dapat merampas ternak-ternak negeri W irata .”
Rencana yang dikemukakan oleh Duryodana disetujui oleh peserta sidang. Selanjutnya disusunlah strategi penyerangan. Penyerangan dengan pasukan kecil dimulai dari selatan, setelah pasukan Wirata dikirim ke selatan, maka pasukan yang besar mulai menyerang dari utara.
Demikianlah, pada keesokan harinya sebuah pasukan kecil dikirim untuk menyerang Wirata dari arah selatan. Mereka merampas ternak para peternak dan merusakkan tanam-tanaman para petani. Para peternak dan petani lari terbirit-birit mohon perlindungan. Laporan disampaikan kepada Raja Wirata bahwa ada musuh yang menyerang wilayah selatan. Raja Wirata menjadi bingung sebab panglima perangnya Kichaka sudah tidak ada lagi. Mengetahui kebingungan rajanya, Kangka mengusulkan agar si Balawa yang tukang masak, si Dharmaganti yang tukang kuda, dan si Tantripala yang tukang gembala lembu dipersenjatai untuk menghadapi musuh. Kangka meyakinkan Raja Wirata bahwa mereka itu mampu menghadapi musuh karena mereka itu pernah menjadi prajurit. Raja Wirata menyetujui usul tersebut, maka berangkatlah Balawa, Dharmaganti, danTantripala yang tiada lain adalah Bima, Nakula, dan Sahadewa masing-masing dengan sepasukan prajurit di bawah komando RajaWirata sendiri untuk menghadapi musuh yang menyerang dari selatan. Pasukan musuh yang menyerang dari arah selatan dengan mudah bisa dipukul mundur.
Begitu pasukan Wirata telah dikirim ke selatan, Duryodana menyerang dari arah utara dengan pasukannya yang lebih besar. Para petani dan pengembala berlari melapor ke ibu kota. Karena Raja Wirata masih berada di medan pertempuran di wilayah selatan, maka mereka melapor kepada putra mahkota, Uttara. Mendengar laporan tersebut Uttara segera menyiapkan diri untuk mengusir musuh tetapi ia menjadi kebingungan karena semua kusir kereta sudah diajak ke selatan. Kebingungan Uttara diketahui oleh Sailindri. Dia lalu membisiki Uttari, adiknya Uttara bahwa guru tari Brihatnala adalah bekas kusirnya Arjuna. Ia mengusulkan kepada Uttari agar Uttara menggunakan Brihatnala. Uttari menyampaikan usul Sailindri kepada Uttara sehingga dipakailah Brihatnala yang tiada lain adalah Arjuna, sebagai kusir untuk menghadapi musuh yang datang dari utara.
Setelah sampai di wilayah utara, Uttara melihat bahwa pasukan musuh yang menyerang adalah pasukan Korawa dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti: Bhisma, Drona, Kripa, Duryodana, dan Karna. Hati Uttara menjadi kecut lalu berkata, “Brihatnala, musuh terlalu besar. Tidak mungkin aku mampu menghadapi mereka. Kita kembali saja. Biarlah mereka merampas ternak-ternak para peternak dan petani .” Brihatnala menjawab, “Wahai putra mahkota, seluruh rakyat menggantungkan nasibnya pada paduka. Nama paduka akan jatuh kalau paduka lari dari tugas ini. Kalau paduka masih takut biarlah hamba yang maju dan paduka yang menjadi kusir.” Uttara menjadi tersinggung dan dengan suara keras memerintahkan Brihatnala untuk kembali.Terpaksa Brihatnala membuka rahasianya bahwa ia adalah Arjuna. Uttara lalu memberi hormat dan siap menjadi kusirnya. Mereka tidak langsung menuju ke arah musuh melainkan terlebih dahulu menuju ke sebuah pohon besar dan berhenti di bawah pohon besar tersebut. Arjuna meloncat ke atas pohon mengambil senjata Astra, Sungu, dan pakaian yang dulu disembunyikan di sana. Setelah itu mereka menuju ke tempat musuh sambil berlari Arjuna meniup terompet kerangnya yang bernama Dewadata.
Para Korawa yang mendengar bunyi terompet itu menjadi terkejut, mereka yakin bahwa itu terompet Arjuna. Duryodana lalu berseru, “Benar dugaanku. Pandawa bersembunyi di sini. Munculnya Arjuna berarti penyamaran mereka kita temukan. Ini berarti bahwa mereka harus mengasingkan diri lagi selama tiga belas tahun.” Bhisma lalu menjawab, “Perkiraanmu salah. Waktu tiga belas tahun telah berakhir kemarin. Ini pasti sudah diperhitungkan oleh Pandawa. Tidak mungkin mereka menampakkan diri kalau waktu tiga belas tahun belum habis.”
Setelah melakukan perdebatan di antara mereka para Korawa memutuskan bahwa Duryodana beserta sebagian pasukannya mengawal ternak-ternak yang sudah dirampas langsung pulang ke Hastina, sedangkan Bhisma, Kripa, Drona, Aswatama, dan Karna dengan sebagian pasukan yang lain menghadang Arjuna. Arjuna yang melihat pasukan musuh terpecah menjadi dua cepat mengerti. Tanpa membuang waktu ia melepaskan anak panah yang mengandung obat bius. Anak panah tersebut tepat jatuh di tengah pasukan yang menghadangnya lalu meledak mengeluarkan asap. Seluruh pasukan yang menghirup asap tersebut seketika tertidur. Arjuna lalu mengejar pasukan Korawa yang melarikan ternak-ternak dan barang-barang rampasan lainnya. Ia menggencarkan serangannya kepada pasukan tersebut sehingga mereka lari tunggang langgang meninggalkan barang-barang rampasannya. Arjuna lalu menyuruh Uttara dan pasukannya mengembalikan ternak-ternak dan barang-barang yang lain kepada pemiliknya. Setelah itu Arjuna mengarahkan keretanya ke pohon randu yang besar. Di pohon tersebut Arjuna menyimpan kembali senjata-senjata dan pakaiannya yang asli dan kembali mengenakan pakaian samarannya. Ia lalu mengirim kurir ke ibu kota untuk menyampaikan kemenangan Uttara atas pasukan Korawa.
Sementara itu, Raja Wirata yang memimpin pasukan ke selatan telah tiba kembali di ibu kota. Ketika memasuki istana ia mendapat laporan bahwa Korawa dengan pasukannya yang besar telah merampas ternak-ternak dan barang-barang lainnya di wilayah utara. Uttara, putra mahkota dengan dikusiri oleh Brihatnala telah berangkat untuk merebut kembali barang-barang yang mereka rampas. Mendengar laporan tersebut raja Wirata sangat mencemaskan keselamatan putranya. Oleh karena itu, ia memerintahkan untuk menyiapkan pasukan yang besar untuk memberikan bantuan. Sebelum pasukan yang disiapkan berangkat, datang kurir yang dikirim oleh Brihatnala dan mengabarkan kemenangan Uttara. Pasukan yang semula disiapkan untuk memberikan bantuan diubah fungsinya menjadi pasukan penyambutan atas kemenangan putranya.
Setelah memberikan perintah penyambutan Wirata kembali ke beranda untuk beristirahat. Sambil beristirahat Wirata mengajak Kangka main dadu sambil bercakap-cakap.
Wirata : Aku menjadi sangat bangga pada putraku Uttara. Seorang diri ia mampu mengalahkan pahlawan-pahlawan Korawa yang tangguh-tangguh.
Kangka : Itu juga berkat kelihaian si kusir Brihatnala.
Wirata : (tersinggung) Kenapa kam_u sepertinya lebih menonjolkan peranan si banci ketimbang peranan putraku sendiri?
Kangka : Karena Brihatnala memang merupakan kusir yang mahir dalam mengendalikan kereta perang sehingga ia bisa mengarahkan keretanya dengan baik.
Jawaban Kangka tersebut menyebabkan Raja Wirata tidak dapat menahan amarahnya lalu melempar muka Kangka dengan biji dadu. Akibat lemparan tersebut dahi Kangka terluka mengeluarkan darah. Sailindri yang kebetulan ada di situ menjadi kaget lalu mengambil cangkir emas untuk menampung darah yang menetes agar tidak jatuh ke tanah. RajaWirata yang melihat hal itu menjadi marah lalu menegur Sailindri, “Kenapa engkau mengambil cangkir emas untuk menampung darah?” Sailindri menjawab, “Tuanku, darah saniyasin tidak boleh sampai jatuh ke tanah. Kalau itu terjadi kerajaan tuan akan mengalami bencana.”
Tepat pada saat itu Uttara datang menghadap. Ia lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi dan juga menjelaskan siapa sebenarnya Brihatnala dan yang lain-lainnya. Mendengar penjelasan Uttara, RajaWirata lalu memohon maaf kepada Kangka.
Pada malam itu diadakan acara syukuran atas keberhasilan Wirata mengusir musuh. Pada acara tersebut Raja Wirata menyampaikan rasa bahagia dan rasa terima kasihnya kepada seluruh prajurit terutama kepada para pembantu yang ternyata penyamaran para Pandawa. Sang raja juga mengumumkan bahwa atas jasa Arjuna mengusir musuh ia akan menyerahkan putrinya Uttari untuk dipersunting oleh Arjuna. Terhadap maksud tersebut, Arjuna lalu menjawab, “Dewi Uttari adalah muridku dalam pelajaran seni tari. Seorang guru tidak boleh mengawini muridnya. Kalau semua pihak tidak keberatan aku setuju Dewi Uttari dikawinkan dengan anakku Abimanyu.” Terhadap usul Arjuna tersebut, semua pihak menyetujuinya.
Keesokan harinya datang utusan dari Duryodana menemui Yudistira dengan pesan agar Pandawa kembali ke dalam hutan lagi dua belas tahun karena penyamarannya telah kentara. Kepada utusan tersebut Yudistira berpesan, “Katakan kepada rajamu bahwa waktu penyamaran kami selama setahun telah berakhir sehari sebelum Arjuna mengobrak-abrik pasukan Korawa .”