Sabtu, 13 April 2019

Wirata Parwa




      Setelah para brahmana yang menyertainya kembali ke sramanya masing-masing para Pandawa lalu berunding, mereka memutuskan untuk melakukan penyamaran di Negeri Wirata.Yudistira akan menyamar sebagai seorang saniyasin dengan nama Kangka. Bima akan menyamar sebagai seorang juru masak dengan nama Bailawa. Arjuna akan menyamar sebagai seorang banci yang pandai menari dengan nama Brihatnala. Nakula akan menyamar sebagai seorang tukang kuda dengan nama Dharmaganti. Sahadewa akan menyamar sebagai pengembala sapi dengan nama Tantripala. Sedangkan Draupadi akan menyamar sebagai seorang pelayan dengan nama Sailindri. Setelah itu merekapun langsung berangkat. Di perbatasan Wirata ada sebuah pohon kapuk yang besar. Para Pandawa memutuskan untuk menyembunyikan senjata-senjata dan pakaian mereka yang asli di atas pohon kapuk tersebut lalu mulai mengenakan pakaian penyamaran. Kemudian secara sendiri-sendiri mereka melamar pekerjaan ke Negeri Wirata. Yudistira diterima sebagai staf penasehat Raja Wirata yaitu Raja Matsyapati, Bima diterima sebagai juru masak istana. Arjuna diterima sebagai guru seni suara pada sebuah kursus seni. Di tempat ini anak-anak raja dan anak-anak para bangsawan belajar tari dan seni suara. Sahadewa diterima sebagai pengembala sapi oleh ketua pengembala istana. Nakula diterima sebagai tukang kuda oleh kepala tukang kuda istana dengan tugas untuk merawat kuda-kuda para prajurit. Sedangkan Draupadi diterima sebagai dayang permaisuri raja yang Ratu Sudhesa.

      Panglima tertinggi kerajaan Wirata bernama Kichaka adik dari Ratu Sudhesa atau adik ipar Raja Matsyapati. Panglima ini jatuh cinta kepada Sailindri sehingga ia selalu mencari-cari kesempatan untuk bertemu dengan Sailindri. Pada suatu hari, Kichaka secara terus terang menyatakan rasa cintanya kepada Sailindri. Sailindri menolak cinta Kichaka dengan alasan ia telah mempunyai suami tetapi Kichaka tidak peduli dan terus berupaya agar Sailindri menerima cintanya.Tanpa malu-malu ia menyampaikan isi hatinya kepada kakaknya ratu Sudhesa dan berharap agar kakaknya mau membantunya. Semula ratu Sudhesa tidak menyetujui niat Kichaka mencintai Sailindri mengingat Sailindri hanyalah seorang pelayan tetapi karena Kichaka bersikeras akhirnya ratu Sudhesa menyetujuinya dan sanggup memberikan bantuan.


      Pada suatu hari, Sailindri diperintahkan oleh Ratu Sudhesa untuk mengantarkan minuman keras kepada Kichaka dalam sebuah kendi emas. Ketika Sailindri tiba di tempat Kicbaka, Sailindri dipaksa untuk menginap di tempatnya pada malam itu. Sailindri menolak dan langsung melarikan diri, ia tidak langsung lari ke istana Ratu Sudhesa melainkan larinya ke dapur tempat Bima bekerja. Kepada Bima ia melaporkan perlakuan yang diterimanya dari Kichaka. Mereka lalu merundingkan cara untuk membunuh Kichaka.

      Beberapa hari kemudian Kichaka mendatangi tempat Sailindri dan memaksa Sailindri untuk menerima cintanya. Sailindri pura-pura menerima cinta Kichaka dan ia berjanji akan menunggu kedatangan Kichaka di ruang latihan menari pada tengah malam. Mendapat jawaban demikian Kichaka menjadi sangat gembira. Sesuai dengan yang dijanjikan oleh Sailindri, maka pada tengah malam Kichaka datang ke ruang latihan menari. Ketika ia sampai di sana ruangan tersebut telah sepi dan gelap. Dengan bernafsu ia memasuki ruangan dan langsung menuju ke sudut ruangan di mana terdapat sebuah sofa karena ia yakin bahwa Sailindri telah menunggunya di sofa tersebut. Alangkah kagetnya ia ketika menyentuh tubuh yang ada di atas sofa. Bukannya badan yang halus lembut melainkan tubuh yang kasar dan keras. Begitu tubuh itu disentuh ia langsung menyerang Kichaka. Kichakapun dengan sigap mempertahankan diri dari serangan tersebut. Kichaka berpikir, “Mungkin ini suami Sailindri yang ingin membunuh aku .” Terjadilah perkelahian hebat antara Kichaka dan Bima. Seperti yang telah direncanakan Bima memang menunggu Kichaka di ruangan itu. Perkelahian cukup lama dan akhirnya Bima berhasil membunuh Kichaka. Setelah membunuh Kichaka, Bima langsung memberitahukan kematian Kichaka kepada Sailindri lalu ia kembali ke dapur dan tidur sampai pagi.

      Berita tentang kematian Kichaka tersebar ke seluruh negeri dan juga sampai ke telinga Duryodana. Duryodana berpikir, “Kichaka orang kuat, hanya ada dua orang yang bisa mengalahkan dia, salah satunya Bima. Mungkinkah Kichaka dibunuh oleh Bima yang sedang menyamar di sana? Mungkinkah wanita yang dicintai oleh Kichaka adalah Draupadi?” Dugaan-dugaan tersebut kemudian disampaikannya dalam sidang dewan istana. Selanjutnya Duryodana mengusulkan rencananya, “Kita serang Wirata, kita rampas ternak-ternaknya. Seandainya Pandawa benar ada disana sudah tentu mereka akan membantu Wirata. Dengan demikian kita bisa menemukan Pandawa sehingga mereka harus hidup dipembuangan selama dua belas tahun lagi namun bila Pandawa tidak ada di sana tidak apa-apa. Kita akan leluasa dapat merampas ternak-ternak negeri W irata .”

      Rencana yang dikemukakan oleh Duryodana disetujui oleh peserta sidang. Selanjutnya disusunlah strategi penyerangan. Penyerangan dengan pasukan kecil dimulai dari selatan, setelah pasukan Wirata dikirim ke selatan, maka pasukan yang besar mulai menyerang dari utara.

       Demikianlah, pada keesokan harinya sebuah pasukan kecil dikirim untuk menyerang Wirata dari arah selatan. Mereka merampas ternak para peternak dan merusakkan tanam-tanaman para petani. Para peternak dan petani lari terbirit-birit mohon perlindungan. Laporan disampaikan kepada Raja Wirata bahwa ada musuh yang menyerang wilayah selatan. Raja Wirata menjadi bingung sebab panglima perangnya Kichaka sudah tidak ada lagi. Mengetahui kebingungan rajanya, Kangka mengusulkan agar si Balawa yang tukang masak, si Dharmaganti yang tukang kuda, dan si Tantripala yang tukang gembala lembu dipersenjatai untuk menghadapi musuh. Kangka meyakinkan Raja Wirata bahwa mereka itu mampu menghadapi musuh karena mereka itu pernah menjadi prajurit. Raja Wirata menyetujui usul tersebut, maka berangkatlah Balawa, Dharmaganti, danTantripala yang tiada lain adalah Bima, Nakula, dan Sahadewa masing-masing dengan sepasukan prajurit di bawah komando RajaWirata sendiri untuk menghadapi musuh yang menyerang dari selatan. Pasukan musuh yang menyerang dari arah selatan dengan mudah bisa dipukul mundur.

      Begitu pasukan Wirata telah dikirim ke selatan, Duryodana menyerang dari arah utara dengan pasukannya yang lebih besar. Para petani dan pengembala berlari melapor ke ibu kota. Karena Raja Wirata masih berada di medan pertempuran di wilayah selatan, maka mereka melapor kepada putra mahkota, Uttara. Mendengar laporan tersebut Uttara segera menyiapkan diri untuk mengusir musuh tetapi ia menjadi kebingungan karena semua kusir kereta sudah diajak ke selatan. Kebingungan Uttara diketahui oleh Sailindri. Dia lalu membisiki Uttari, adiknya Uttara bahwa guru tari Brihatnala adalah bekas kusirnya Arjuna. Ia mengusulkan kepada Uttari agar Uttara menggunakan Brihatnala. Uttari menyampaikan usul Sailindri kepada Uttara sehingga dipakailah Brihatnala yang tiada lain adalah Arjuna, sebagai kusir untuk menghadapi musuh yang datang dari utara.

      Setelah sampai di wilayah utara, Uttara melihat bahwa pasukan musuh yang menyerang adalah pasukan Korawa dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti: Bhisma, Drona, Kripa, Duryodana, dan Karna. Hati Uttara menjadi kecut lalu berkata, “Brihatnala, musuh terlalu besar. Tidak mungkin aku mampu menghadapi mereka. Kita kembali saja. Biarlah mereka merampas ternak-ternak para peternak dan petani .” Brihatnala menjawab, “Wahai putra mahkota, seluruh rakyat menggantungkan nasibnya pada paduka. Nama paduka akan jatuh kalau paduka lari dari tugas ini. Kalau paduka masih takut biarlah hamba yang maju dan paduka yang menjadi kusir.” Uttara menjadi tersinggung dan dengan suara keras memerintahkan Brihatnala untuk kembali.Terpaksa Brihatnala membuka rahasianya bahwa ia adalah Arjuna. Uttara lalu memberi hormat dan siap menjadi kusirnya. Mereka tidak langsung menuju ke arah musuh melainkan terlebih dahulu menuju ke sebuah pohon besar dan berhenti di bawah pohon besar tersebut. Arjuna meloncat ke atas pohon mengambil senjata Astra, Sungu, dan pakaian yang dulu disembunyikan di sana. Setelah itu mereka menuju ke tempat musuh sambil berlari Arjuna meniup terompet kerangnya yang bernama Dewadata.

      Para Korawa yang mendengar bunyi terompet itu menjadi terkejut, mereka yakin bahwa itu terompet Arjuna. Duryodana lalu berseru, “Benar dugaanku. Pandawa bersembunyi di sini. Munculnya Arjuna berarti penyamaran mereka kita temukan. Ini berarti bahwa mereka harus mengasingkan diri lagi selama tiga belas tahun.” Bhisma lalu menjawab, “Perkiraanmu salah. Waktu tiga belas tahun telah berakhir kemarin. Ini pasti sudah diperhitungkan oleh Pandawa. Tidak mungkin mereka menampakkan diri kalau waktu tiga belas tahun belum habis.”

      Setelah melakukan perdebatan di antara mereka para Korawa memutuskan bahwa Duryodana beserta sebagian pasukannya mengawal ternak-ternak yang sudah dirampas langsung pulang ke Hastina, sedangkan Bhisma, Kripa, Drona, Aswatama, dan Karna dengan sebagian pasukan yang lain menghadang Arjuna. Arjuna yang melihat pasukan musuh terpecah menjadi dua cepat mengerti. Tanpa membuang waktu ia melepaskan anak panah yang mengandung obat bius. Anak panah tersebut tepat jatuh di tengah pasukan yang menghadangnya lalu meledak mengeluarkan asap. Seluruh pasukan yang menghirup asap tersebut seketika tertidur. Arjuna lalu mengejar pasukan Korawa yang melarikan ternak-ternak dan barang-barang rampasan lainnya. Ia menggencarkan serangannya kepada pasukan tersebut sehingga mereka lari tunggang langgang meninggalkan barang-barang rampasannya. Arjuna lalu menyuruh Uttara dan pasukannya mengembalikan ternak-ternak dan barang-barang yang lain kepada pemiliknya. Setelah itu Arjuna mengarahkan keretanya ke pohon randu yang besar. Di pohon tersebut Arjuna menyimpan kembali senjata-senjata dan pakaiannya yang asli dan kembali mengenakan pakaian samarannya. Ia lalu mengirim kurir ke ibu kota untuk menyampaikan kemenangan Uttara atas pasukan Korawa.

      Sementara itu, Raja Wirata yang memimpin pasukan ke selatan telah tiba kembali di ibu kota. Ketika memasuki istana ia mendapat laporan bahwa Korawa dengan pasukannya yang besar telah merampas ternak-ternak dan barang-barang lainnya di wilayah utara. Uttara, putra mahkota dengan dikusiri oleh Brihatnala telah berangkat untuk merebut kembali barang-barang yang mereka rampas. Mendengar laporan tersebut raja Wirata sangat mencemaskan keselamatan putranya. Oleh karena itu, ia memerintahkan untuk menyiapkan pasukan yang besar untuk memberikan bantuan. Sebelum pasukan yang disiapkan berangkat, datang kurir yang dikirim oleh Brihatnala dan mengabarkan kemenangan Uttara. Pasukan yang semula disiapkan untuk memberikan bantuan diubah fungsinya menjadi pasukan penyambutan atas kemenangan putranya.

      Setelah memberikan perintah penyambutan Wirata kembali ke beranda untuk beristirahat. Sambil beristirahat Wirata mengajak Kangka main dadu sambil bercakap-cakap.

Wirata : Aku menjadi sangat bangga pada putraku Uttara. Seorang diri ia mampu mengalahkan pahlawan-pahlawan Korawa yang tangguh-tangguh.

Kangka : Itu juga berkat kelihaian si kusir Brihatnala.

Wirata : (tersinggung) Kenapa kam_u sepertinya lebih menonjolkan peranan si banci ketimbang peranan putraku sendiri?

Kangka : Karena Brihatnala memang merupakan kusir yang mahir dalam mengendalikan kereta perang sehingga ia bisa mengarahkan keretanya dengan baik.

      Jawaban Kangka tersebut menyebabkan Raja Wirata tidak dapat menahan amarahnya lalu melempar muka Kangka dengan biji dadu. Akibat lemparan tersebut dahi Kangka terluka mengeluarkan darah. Sailindri yang kebetulan ada di situ menjadi kaget lalu mengambil cangkir emas untuk menampung darah yang menetes agar tidak jatuh ke tanah. RajaWirata yang melihat hal itu menjadi marah lalu menegur Sailindri, “Kenapa engkau mengambil cangkir emas untuk menampung darah?” Sailindri menjawab, “Tuanku, darah saniyasin tidak boleh sampai jatuh ke tanah. Kalau itu terjadi kerajaan tuan akan mengalami bencana.”

Tepat pada saat itu Uttara datang menghadap. Ia lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi dan juga menjelaskan siapa sebenarnya Brihatnala dan yang lain-lainnya. Mendengar penjelasan Uttara, RajaWirata lalu memohon maaf kepada Kangka.

Pada malam itu diadakan acara syukuran atas keberhasilan Wirata mengusir musuh. Pada acara tersebut Raja Wirata menyampaikan rasa bahagia dan rasa terima kasihnya kepada seluruh prajurit terutama kepada para pembantu yang ternyata penyamaran para Pandawa. Sang raja juga mengumumkan bahwa atas jasa Arjuna mengusir musuh ia akan menyerahkan putrinya Uttari untuk dipersunting oleh Arjuna. Terhadap maksud tersebut, Arjuna lalu menjawab, “Dewi Uttari adalah muridku dalam pelajaran seni tari. Seorang guru tidak boleh mengawini muridnya. Kalau semua pihak tidak keberatan aku setuju Dewi Uttari dikawinkan dengan anakku Abimanyu.” Terhadap usul Arjuna tersebut, semua pihak menyetujuinya.

Keesokan harinya datang utusan dari Duryodana menemui Yudistira dengan pesan agar Pandawa kembali ke dalam hutan lagi dua belas tahun karena penyamarannya telah kentara. Kepada utusan tersebut Yudistira berpesan, “Katakan kepada rajamu bahwa waktu penyamaran kami selama setahun telah berakhir sehari sebelum Arjuna mengobrak-abrik pasukan Korawa .”

Kamis, 11 April 2019

Kumpulan Sloka Canakya Nitisastra




Atha Pratsamodhyayas 
BAB I

Sloka 1.

pranamya sirasā visnum
trailokyadhipatim prabhum 
nānā-sasroddhrtam vaksye
rāja-nīti samuccayam 

Sembah sujud sastanga hamba yang rendah kepada Sri Visnu, Penguasa dari ketiga susunan alam semesta. Hamba menyampaikan ajaran yang disarikan dari berbagai sastra dan dinamakan kumpulan raja-niti.

Sloka 2. 

adhītyedam yathā śastram 
naro jānāti sattamah 
dharmopadesa vikhyātam karyakaryam 
śubhāśbham

Ia yang mengerti ajaran Niti Sastra yang baik ini, yang mengajarkan ajaran-ajaran dharma yang termasyhur, dengan pengetahuan ini apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang patut Sloka  dilakukan dan apa yang tidak patut dilakukan. Orang seperti itu hendaknya mengerti sebagai orang utama. 

Sloka 3. 

tadaham sampravaksyāmi 
Iokānām hita-kāmyayā
yasya vijñāna-mātrena 
sarva-jñatvam prapadyate 

Apa-apa yang akan hamba sampaikan ini adalah dengan tujuan kesejahteraan seluruh umat manusia. Dengan memahami segala ajaran ini, seseorang dimengerti sebagai sarvajna, yaitu mengerti segala sesuatu dengan sebenamya. 

Sloka 4. 

murkha śisyopadeśena
dustā-strī bharanena ca 
dukhitaih samprayogena 
Pandora's py avasīdati 

Dengan mengajarkan murid yang bodoh, dengan memelihara istri yang jahat dan dengan bergaul terlalu rapat dengan orang yang selalu dalam kedukaan, seorang pendeta yang bijaksana pun akan mengalami penderitaan.




Atha Dvitīyodhyāyah
BAB II

Sloka 1. 

anrtam sāhasam māyā
murkhhatvam atilobhatā 
asaucatvam nirdayatvam
strīnām dosāh svabhāvajā

Berkata-kata yang tidak mengandung kebenaran/ tidak jujur, terlalu benafsu/berani melakukan sesuatu, maya atau palsu bercampur curang, bodoh, loba terhadap segala sesuatu, tidak bersih dan tidak suci serta hatinya kejam,  semua itulah sifat berdosa yang umum dimiliki oleh kaum wanita. 

Sloka 2. 

bhojyam bhojana śaktiś ca 
rati sakti varāmgana 
vibhavo dāna saktis ca 
nālpasya tapasah phalam 

Selalu tersedia aneka jenis makanan yang patut dimakan, kuat makan makanan yang enak dan suci, kuat berhubungan dengan wanita yang sudah syah teman sebagai istri berdasarkan hukum agama dan hukum masyarakat. memperoleh wanita cantik sebagai istri, dan kuat bersedekah/berdana punia. Semua ini bukanlah hasil dari melakukan pertapaan biasa. 

Sloka 3. 

yasya putro vásībhuto 
bhāryā chandānugāminī
vibhave yasca santustas 
tasya svarga ihaiva hi 

Kalau seorang anak bhakti kepada orang tua, sang istri penurut, merasa puas terhadap hana benda yang dimiliki, sebenarnya kesenangan Surga dinikmati oleh orang tersebut di dunia ini. 

Sloka 4. 

te putrā ye pitur-bhaktāh 
sa pitā yastu pasakah 
tan mirtam yatra visvasah
sā bhāryā yatra nirvrtih 

Yang disebut putra adalah mereka yang bhakti kepada bapak. Yang disebut bapak adalah dia yang menanggung/memelihara anak-anaknya. Yang disebut teman adalah dia yang memiliki rasa percaya dan bisa dipercaya, dan seorang istri adalah dia yang selalu memberikan kebahagiaan.



Atha Trtīyo’dhyīyah 
BAB III

Sloka 1. 

kasya dosah kuIe nāsti  
vyādhinā ke na pīditāh 
vyasananm kena na prāptam 
kasya saukhyam nirantaram 

Keluarga mana yang tidak ada dosanya? Siapa yang tidak pernah sakit? Siapa yang tidak pernah mendapat kedukaan? Siapa yang selama hidupnya selalu dalam kesukaan?

Sloka 2. 

ācārah kulamākhyāti 
desamākhyāti bhāsanam
sambhramah snehamākhyāti 
vapurākhyāti bhojanam 

Keluarga dikenal dari tingkah laku, negara asal seseorang dikenal dari bahasa, cinta kasih terlihat dari rasa hormat serta kelembutan, dan petumbuhan badan dapat dilihat dari makannya. 


Sloka 3. 

satkule yojayet kanyām 
putram vidyasu yojayet 
vyasane yojayecchatrum 
mitram dharmena yo jayet 

Susunlah agar perkawinan putri anda dengan keluaga baik-baik, didiklah agar putra anda tekun dalam kesibukan mempelajari ajaran-ajaran suci. Buatlah musuh supaya selalu dalam kesulitan/kewalahan, dan ajaklah, ajarkanlah agar sahabat anda tekun dalam kebenaran. 

Sloka 4. 

durjanasya ca samasya 
varam sarpo na durjanah 
sarpo damsati kāle tu 
durjanastu pade pade 

Perbandingan antara seorang jahat dengan seekor ular adalah masih lebih baik sang ular, bukan orang jahat yang lebih baik. Sebabnya adalah bahwa ular menggigit orang hanya sewaktu-waktu/sekali saja, sedangkan orang jahat menggigit orang dalam setiap langkahnya. 



Atha Caturthodhāyayah
BAB IV

Sloka 1. 

āyuh karma ca vittam ca 
vidyā nidhanam eva ca 
pañcaitāni hi srjyante 
garbhasthasyeva dehināh 

Umur, pekerjaan, kekayaan, pengetahuan dan kematian, kelima hal ini sudah ditentukan sewaktu kita masih dalam kandungan. 

Sloka 2. 

sādhubyaste nivartante 
putra-mitrānii bāndhavah 
ye .ca taih saha gantāras -
 taddharmātsukrtam kulam 

Putra-putra, teman-teman dan keluarga, semua jauh dari orang suci tetapi, dengan mengadakan pergaulan/mengikuti orang suci; putra, teman, sanak keluarga dan siapa saja yang mengikuti orang suci ini akan terbebaskan dari segala kesengsaraan duniawi. Dari kegiatan suci ini keluarga akan mendapatkan pahala yang baik.


Sloka 3. 

darsana-dhyāna-samsparsair 
matsī kūrmī ca paksinī 
sisum pālayate nityam 
tathā sajjana samgatih 

Sebagaimana ikan, kura-kura dan burung memelihara anak-anaknya dengan cara melihat, mengingat dan menyentuh, seperti itulah cara orang suci menyucikan orang yang dekat dengannya. 

Sloka 4. 

yāvat svastho hyayam deho 
yāvam mrtyus ca dūratah 
tāvad atma-hitam kuryāt 
prānānte kim karisyati 

Selama badan masih kuat dan sehat dan selama kematian masih jauh, lakukanlah sesuatu yang menyebabkan kebaikan bagi roh anda, yaitu yang keinsyafan diri. Pada saat kematian menjelang, apa dapat dilakukan? 





Atha Pañcamo'dhyāyah 
BAB V

Sloka 1.

gururagnir dvijātīnām 
varnānām brahmano guruh 
patireva guruh strinam 
sarvasyābhyāgato guruh 

Deva Agni adalah guru bagi para Dvi jati, Brahmana adalah guru bagi ksatriya, vaisya dan sudra, guru bagi seorang istri adalah suami, dan seorang tamu adalah guru bagi semuanya. 

Sloka 2. 

yathā caturbhih kanakam parīksyate
 nigharsanacchedana tāpa tādanaih 
tatha caturbhih purusah parīksyate 
tyāgena śīlena gunena karmana 

Sebagaimana emas diuji dengan empat cara yaitu digesek-gesek,  digunting, dipanaskan dan dipukul-pukul, seperti ltulah 4 (empat) cara menguji orang, yaitu dengan ketidakterikatan,  tingkah laku,  sifat dan pekerjaannya.


Sloka 3. 

tāvad bhayena bhetavyam 
yāvad bhayam anāgatam 
āgatam tu bhayam viksya 
prahartavyamaśankayā 

Sampai kapan bahaya tidak datang, selama itu orang hendaknya merasa takut/was-was. Begitu bahaya datangnya hendaknya tanpa pikir-pikir lagi dihantam saja. 

Sloka 4. 

ekodarasamudbūtā 
eka naksatra jātakāh 
na bhavanti sama silair 
yathā badari-kantakāh

Walapun orang lahir dari kandungan ibu yang sama, bintang yang sama pula, tetapi watak dan kelakuan pasti berbeda, bagaikan badari (zizyphus jujuba? ) dengan dirinya. 






Atha Sastho'dhyāyah 
BAB VI

Sloka 1. 

Srutvā dharmam vi jānāti 
srutvā tyajati durmatim 
srutvā jñānamavāpnoti 
srutva moksamavapnuyat

Setelah membaca dan mendengar Veda orang bisa mengerti dharma, dengan mendengarkan Veda pikiran-pikiran buruk bisa dihilangkan, dengan mendengarkan Veda orang bisa betul-betul berpengetahuan, hanya dengan mendengarkan Veda orang bisa mendapatkan pembebasan. 

Sloka 2. 

kākah paksisu cāndālah 
pasūnām caiva kukkurah
pāpo munīnām cāndālah 
sarvesām caiva nindakah

Diantara burung,  yang dipandang candala/hina adalah burung gagak.  Diantara binatang,  anjing dipandang candala.  Diantara orang suci,  yang dipandang candala adalah orang-orang berdosa, dan diantara semuanya yang dipandang candala adalah orang yang suka menjelekkan orang lain.

Sloka 3. 

bhasmanā śuddhyate kāmsyām 
tāmramamlena suddhyati
rajasā suddhyate nārī
nadīm vegena śuddhyati

Kuningan dibersihkan dengan abu, lembaga dibersihkan dengan asam, wanita dibersihkan oleh haid atau rajasvala, dan sungai menjadi bersih oleh arus yang deras. 

Sloka 4. 

bhraman sampūyate rājā
bhraman sampūyate dvijah 
bhraman sampūyate yogi 
bhramati strī vinaśyati

Raja yang selalu mengadakan perjalanan dipuji dan dihormati, para pendeta yang mengadakan perjalanan keliling dipuji dan dihormati, Yogi yang mengembara amat dihormati, tetapi kalau wanita yang keliling-keliling pasti mengalami kehancuran.





Atha Saptamo'dhyayah
BAB VII

Sloka 1. 

arthanāsam manastāpam 
grhe duscaritāni ca 
vañcanam cāpamanam ca 
matiman na prakāśayet 

Orang yang bijaksana hendaknya tidak mengatakan kepada orang lain tentang kehancuran harta bendanya, tentang kesedihan pikirannya, tentang kelakuan istrinya yang jelek, tentang penipuan yang dilakukan oleh orang lain kepada dirinya, atau kalau ada orang yang membuatnya malu. 

Sloka 2. 

dhana-dhānya prayogesu
vidyā samgrahānesu ca 
āhāre vyavahāra ca 
tyakta lajjāh sukhī bhavet 

Dalam urusan mencari beras dan dalam hal keuangan, dalam hal menuntut ilmu, dalam hal makan dan dalam hal perdagangan, kalau orang meninggalkan rasa malu,  orang itu akan memperoleh kesukaan.

Sloka 3. 

santosāmrta trptānām 
tat sukham sānta-cetasām 
na ca tad dhana-lubdhānām
itaś cetaś ca dhāvatām

Orang-orang bijaksana berhati damai, yang telah mendapat kepuasan dari amerta rohani, beliaulah yang bisa memperoleh kebahagiaan dan kedamaian pikiran, bukan orang yang pergi ke sana ke mari karena loba mencari kekayaan. 

Sloka 4. 

santosas trisu kartavyah 
svadāre bhojane dhane 
trisucaiva na kartavyo' 
dhyayane japa danāyoh

Hendaknya orang merasa puas terhadap tiga hal ini, yaitu: terhadap istri sendiri, terhadap makanan dan terhadap kekayaan yang didapat dengan cara yang halal. Tetapi terhadap tiga hal, yaitu: mempelajari ilmu





Atha Asamo'dhyayah
BAB VIII

Sloka 1. 

adhamā dhanamicchanti 
dhanam manam  ca madhyamāh
uttamā mānamicchanti 
māno hi mahatām dhanam 

Orang-orang rendah menginginkan harta belaka, orang-orang yang termasuk golongan menengah menginginkan harta dan kehormatan, dan golongan teratas hanya menginginkan kehormatan, karena sesungguhnya kekayaan bagi orang bijaksana adalah kehormatan. 

Sloka 2. 

iksur āpah payo mūlam 
tāmbūlam phalamausadham
 bhaksayitvāpi kartavyāh
snāna dānādikāh kriyāh

Setelah makan tebu, minum air,  minum susu, makan umbi-umbian, sirih, buah-buahan dan obat-obatan,  mandi, berdema dan lain-lain pekerjaan dapat dilakukan. 

Sloka 3. 

dipo bhaksayate dhvāntam
 kajjalam ca prasūyate 
yad annam bhaksyate nityam
jāyate tādrsī prajā

Sebagaimana lampu memakan kegelapan dan menghasilkan asap hitam, seperti itu pula manusia, sebagaimana makanan yang biasa dimakan seperti itu pula keturunan yang akan dilahirkan. 



Atha Navamo'dhydyah 
BAB IX 

Sloka 1.

muktimichasi cettāsa 
visayam visavattyaja 
ksamārjavam dayām saucam 
satvam piyāsaavat piva 

Wahai saudara tercinta ...... , kalau menginginkan moksa atau pembebasan dari roda kelahiran dan kcmatian. tinggalkanlah objek-objek kesenangan indriya dengan mcmandangnya bagaikan racun. Sebaliknya minumlah amerta bcrupa sifat suka mengampuni. tingkah laku yang baik dan benar, cinta kasih pada setiap makhluk, kesucian batin, dan kebenaran. 


Sloka 2. 

parasparasya marmani
ye bhāyante narādhamāh
ta eva vilayam yānti
valmīkodara sarpwsavat 

Orang yang bersifat rendah yang berkumpul membicarakan masalah rahasia/kejelekan orang lain akan menemui kehancuran bagaikan ular masuk ke dalam bukit sarang semut. 


Sloka 3. 

gandhah survarne phalamiksu dande 
nakāri puspam khalu candanasya 

viduān dhani bhūpati dirgha yīvī
dhātuh pursko'pi na buddhido'bhūt 

Pastilah pada mulanya tidak ada yang membelikan nasehat kepada Dewa Brahma supaya emas berbau harum, tebu berbuah, pohon cendana berbunga, supaya orang terpelajar bijaksana tidak menjadi kaya, dan raja tidak berumur panjang. 

Sloka 4. 

sarvausadhināmamrtā pradhānā
sarvesu saukhyesvaśanam pradhānam 
sarvendriyanam mayanam pradhām 
sawegu gātresu sirah pradhānam

 Amerta adalah obat yang paling utama. Di antara kesenangan, makan-makanan yang enak adalah paling utama. Dari seluruh indriya, mata adalah yang paling utama,  dan diantara seluruh anggota badan, kepala adalah yang paling penting. 


Atha Daśamo’dhyāyah
BAB X

Sloka 1.

dhana-hīno na hīnaś ca 
dhanikah sa suniścayah 
vidyaratnena yo hīnah
sa hīnah sarvavastusu 

Orang yang kurang dalam harta benda bukanlah orang miskin. Sebaliknya orang kaya adalah dia yang memiliki ilmu pengetahuan. Dia yang kurang dalam ilmu pengetahuan, sesungguhnya dalam segala keadaan ia disebut orang miskin.

Sloka 2. 

drstipūtam nyasetpādam
vastra-pūtam pibejjalam 
sāstra-pūtam veded-vākyam 
manah-pūtam samācaret 

Lihatlah dengan teliti dulu (jalan dan lain-lain yang akan dilewati), barulah melangkahkan kaki. Minumlah air setelah disaring dengan kain. Sesuaikan dulu dengan sastra/kitab suci barulah kemudian anda boleh berbicara, dan setelah dipikirkan matang-matang barulah melakukan suatu perbuatan. 

Sloka 3. 

sukhārthī cetyajed-vidyām 
vidyārthī cetyajet-sukham 
sukārthinah kuta vidyā
kuto vidyārthinah sukham 

Kalau menginginkan kesenangan buanglah jauh-jauh ilmu pengetahuan. Kalau menginginkan ilmu pengetahuan tinggalkanlah kesenangan. Oleh karena bagi orang yang menginginkan kesenangan indriya-indriya mana mungkin ada ilmu pengetahuan, dan sebaliknya bagi yang mengharapkan ilmu pengetahuan mana mungkin ada kesenangan. 

Sloka 4. 

kavayah kim na pasyanti
kim na kurvanti yositah
madyapāh kim na kalpanti 
kim na khādanti vāyasāh

Apa yang dapat lepas dari pengamatan orang suci? Perbuatan apa yang tidak bisa dilakukan oleh para wanita? Bagi para pemabuk kata-kata apa yang tidak dapat diucapkannya? Dan bagi si burung gagak apa yang tidak dimakan olehnya? 




Atha Ikādaśo'dhyāyah
BAB XI

Sloka 1. 

dātrtvam priya vaktrtvam 
dhīratvamucitajñatā
abhyāsena na labhyante
catvārah sahajā gunāh 

Kedermawanan, berkata-kata manis menyenangkan, keteguhan/kesungguhan dan pengertian/kelakuan yang baik, keempat ini tidak diperoleh dengan membiasakan, melainkan adalah sifat pembawaan adanya. 

Sloka 2. 

ātma vargam parityajya 
para vargam samasrayet 
svayam evamlayam yati 
yatha rajyamardhamatah 

Meninggalkan golongan sendiri dan mencari perlindungan pada golongan orang lain, dengan sendirinya orang tersebut menemui kemusnahan, bagaikan raja yang menempuh jalan adharmah/ketidakbenaran (pasti menemui kehancuran). 

Sloka 4. 

kalau daśa sahastrāni
haris tyajati medinīm 
yadardham  jāhnavī-toyam
yadardham grāma-devatāh

Dalam kaliyuga sepuluh ribu tahun Sri Hari meninggalkan bumi, setengahnya lagi air suci gangga dan setengahnya lagi dewa penguasa desa (gramadevatah). 



Atha Dvadaso'dhyāyah
BAB XII

Sloka 1.

sānandam sadanam sutastu suhidyah kāntā priyālāpinī
icchāpūrtidhanom svayositi rating svājnaparah sevakāh
atithyam  sivapujanam pratidinam mistānapānam grhe 
sādoh sanggamupsate ca satatam dhanyo  grhasthāsramah



Tinggal di dalam rumah penuh dengan kebahagiaan. anak-anak semua cerdas. istri selalu berkata-kata manis. kekayaan cukup untuk memenuhi keinginan, hidup berbahagia dengan istri sendiri, pelayanan-pelayan patuh pada segala apa yang diperintahkan. Tamu-tamu dihormati, setiap hari tekun memuja Tuhan Yang Maha Esa. Semua tersedia makanan dan minuman yang enak. Selalu bergaul dengan orang-orang suci, Grhastha yang demikian adalah grhastha yang amat beruntung adanya. 



Sloka 2.

ārtesu vipresu dayānvitasce 
acchedvana  yā svalpamupaiti dānam 
yaddīyate tanna labhet dvijebhyah

Orang yang mempunyai rasa belas kasihan dengan penuh keyakinan, memberikan sedikit dana kepada seorang brahmana yang sedang memerlukannya, ia akan mendapatkan imbalan yang tak terhingga. Apa yang diberikan kepada brahmana tidak akan kembali sebanyak yang diberikan, tetapi akan kembali berlipat ganda. 





Atha Trayodaso'dhyāyah
BAB  XIII

Sloka 1.

muhūrtamapi jīvecca
narah suklena karmanā 
na kalpamapi kastena
loka-dvaya-virodhinā 

Walaupun hanya sempat menikmati hidup sesaat saja, tetapi kalau dipergunakan untuk berbuat baik, itu masih lebih baik. daripada menikmati hidup satu kalpa tetapi menyebabkan penderitaan bagi kedua dunia, dunia ini dan dunia setelah mati. 

Sloka 2. 

gate'soko na kartavyo
bhavisyam naiva cintayet 
vartamānena kālena 
pravartante vicaksanāh 

Jangan bersedih terhadap apa yang sudah berlalu. jangan pula risau terhadap apa yang akan datang. orang-orang bijaksana hanya melihat masa sekarang dan berusaha sebaik-baiknya. 

Sloka 3.

svabhāvena hi tusyanti 
devāh sat-purusāh pitā
jnātayah snāna-pānābhyām 
vākya dānena panditāh

Para dewa, orang-orang utama dan ayah bisa dibuat senang dengan mempupuk sifat-sifat baik, sanak keluarga dengan memberikan mandi dan minum, dan untuk pendeta dengan mempesembahkan katakata yang menyenangkan. 

Sloka 4.

āyuh karma ca vitañca 
vidyā nidhanameva ca 
pancaitāni ca srjayante 
garbhasthasyaiva dehinah

Umur, pekerjaan, kekayaan, pengetahuan dan kematian, kelima hal ini ditetapkan semasih roh berada di dalam kandungan.



Atha Caturdaso'dhyāyah
BAB  XIV

Sloka 1.

ātmaparādha-vrksasya 
phalāyentāni dehinām 
dāridraya-roga-duhkhāni
bandhanavyasanāni ca

Dari pohon dosa diri sendiri orang mendapatkan buah berupa kemiskinan, penyakit, kedukaan, ikatan dan kebiasaan buruk. 


Sloka 2.

punar-vittam punar-mitram 
punar-bhāryā punar-mahī 
etat sarvam punar-labhayam
na śarīram punah punah

Kekayaan, teman,  istri, kerajaan bisa didapatkan berulangkali. Semua itu dapat diperoleh berkali-kali. Tetapi, badan ini tidak bisa diperoleh berkali-kali. 

Sloka 3.

bahūnām caiva sattvānām 
samavāyo ripuñjayah 
varsādhāro megas 
trnairapi nivāryate

musuh dapat dikalahkan dengan persatuan orang banyak, bagaikan air bah akibat hujan lebat dapat dicegah dengan gabungan  rumput.

Sloka  4.

jale tailam khale guhyam 
paātre danam manāpi 
prajñe sāstra svayam yāti 
vistāram vastu-saktitah

Minyak dalam air, rahasia pada orang jahat, dana punia pada orang yang tepat, ilmu pengetahuan suci pada orang cerdas bijaksana. Pelan-pelan semua ini berkembang meluas dengan sendirinya.


Atha Pancadaso'ddhyāyah
BAB  XV


Sloka  1.

yasya cittamdravī-bhūtam
krpayā sarva jantusu 
yasya jñanena moksena 
kim jatābhasmalepanaih

Bagi orang yang memiliki rasa belas kasihan terhadap setiap makhluk. Apa perlunya pengetahuan, pembebasan,  rambut dikusut di atas kepala dan mengolesi debu di badan?

Sloka  2.

ekamevāksaram yastu 
guru sisyam prabhodayet 
prthivyām nāsti tad-dravyam 
Yadrttvā cānrnī bhavet

Walaupun guru mengajarkan satu huruf saja pada murid, di atas bumi ini tidak ada sesuatu milik/harta yang dapat dipakai melunasi hutang ilmu si muridkepada gurunya. 

Sloka 3.

khalānām kantakānaām ca
dvividhaiva pratikriyā
upanad-mukha-bhamgovā 
dūrato vā visarjanam
Ada dua usaha untuk menghadapi orang jahat dan duri, yaitu pukulan sepatu ke mukanya atau buang saja dia jauh-jauh.

Sloka 4.

kucailinam dantalopadhārinam 
bahvāsinam nisthura-bhāsanam ca 
sūryodaye cāstāmite sayānam
vimuñcati srīryadi cakrapānih

Orang yang berpakaian kotor, digiginya melekat kotoran, makanan terlalu banyak,  yang berkata-kata keras dan kasar, menggunakan waktu antara matahari terbit dan terbenam dengan tidur. Walaupun ia hebat dan agung bagaikan Sang Hyang Cakrapani, tetapi Sri Laksmi akan menjauh darinya. 



Atha Sodaso'dhyāyah
BAB  XVI

Sloka 1.


na dhyātam padamiśvarasya vidhivat samasāra vicchittaye 
svarga dvāra kapātapātanapatuh dharmo'pi nopārjitah 
nārī-pīna-payodharoruyugalam svanepi nālinggitam
mātuh kevalameva yauvanavanacchede kuthārā vayam 

Tidak melakukan pelayanan cinta kasih bhakti kepada Kaki Padma Tuhan Yang Maha Esa untuk membebaskan diri dari kesengsaraan berupa kelahiran dan kematian berulangkali, tidak melakukan dharma atau kewajiban-kewajiban suci yang dapat menyebabkan pintu alam surga terbuka, juga tidak memimpikan untuk memeluk kedua buah dada dan paha indah wanita, kita yang demikian itu hanya merupakan kapak pemotong usia muda ibu kita. 



Sloka 2.

jalpanti sārddha-manyena
paśyantanyam savibhramāh
hrdaye cintayatyanyam 
na strīnāmekano ratih

Saat seorang wanita bercakap-cakap dengan seorang lelaki, dia memandang lelaki lain dengan bernafsu dan pada saat yang sama memikirkan lelaki lain lagi di dalam hatinya. Cinta wanita tidak pernah satu. 

Sloka 3.

yo mohānmanyate mūdho
rakteyam mayi kāminī
sa tasyā vaśago bhūtvā 
nrtyet krida sakuntavat

Lelaki bodoh dalam kebingungan berpikir, “Wanita ini dalam kekuasaanku”. Dalam keadaan demikian dia menjadi budak wanita itu dan menari-nari bagaikan burung Sakuntala bermain-main.



Atha Saptadaso'dhyāyah
BAB XVII

Sloka 1.

pustaka pratyayādhītam 
nādhītam gurusannidhau 
sabhā-madhye na sobhante 
jāra-garbhā iva striyah 

Dia yang hanya belajar dari buku-buku tetapi tidak berguru, orang ini tidak bersinar di masyarakat. Bagaikan benih dan orang jahat di dalam kandungan wanita. 

Sloka 2.

krte pratikrtim kuryāt 
himsane prati-himsanam 
tatra dosī na patati 
duste daustayam samācaret 

Perbuatan baik hendaknya dibalas dengan kebaikan, kejahatan dibalas dengan kekerasan. Dalam hal ini tidak ada dosa. Berhadapan dengan orang jahat kita perlu menggunakan kekerasan. 

Sloka 3.

yad-dūram yad-durārādhyam 
yacca dūre vyavasthitam 
tat-sarvam tapaśa sādhyam 
tapo hi duratikramam

Sesuatu yang jauh, sesuatu yang amat sulit diangankan dan sesuatu yang berada jauh dari kita semua itu bisa didapatkan dengan kekuatan pertapaan. Memang tidak ada yang mengalahkan pertapaan.

Rabu, 10 April 2019

Zaman Brahmana

       Zaman Brahmana                                                        




                                                                       BAB  I
                                                              PENDAHULUAN

         Agama adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh seseorang. Salah satunya adalah agama Hindu. Perkembangan Agama Hindu di India dipriodisasikan kedalam beberapa priode, yaitu : Pertama, Perkembangan agama Hindu di India pada Zaman Veda (65002000 SM). Kedua Perkembangan Agama Hindu di India Zaman Brahmana (2000-1500 SM). Ketiga, Perekembangan agama Hindu di India pada zaman Upanisad (1500-500 SM). Kemudian periode selanjutnya perkembangan agama Hindu ke berbagai wilayah di luar India. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada zamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada zaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
     
         Zaman Brahmana merupakan zaman kedua setelah zaman Veda Zaman ini berlangsung sekitar 2000 sampai 1500 sebelum Masehi. Zaman ini ditandai dengan disusunnya buku-buku Brahmana, yaitu buku-buku yang menguraikan dan menjelaskm tentang saji dan upacaranya, apa artinya sesuatu saji, apa syarat-syaratnya, tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Hal yang paling menonjol pada zaman ini adalah upacaranya khususnya upacara korban suci atau yadnya. Sehingga kaum brahmana memiliki peran utama dalam memimpin upacara tersebut dan dianggap memiliki kedudukan tertinggi dari semua golongan masyarakat. Pada paper ini akan dibahas secara rinci periodesasi zaman brahmana




                                                                       BAB  II
                                                              PEMBAHASAN

      Pada zaman ini ditandai dengan munculnya kitab Brahmana sebagai bagian dari kitab Weda sruti yang disebut karma kanda. Kitab ini memuat himpunan doa-doa serta penjelasan upacara korban dan kewajiban-kewajiban keagamaan. Disusun dalam bentuk prosa yang ditulis sendiri oleh bangsa Arya yang bermukim di bagian timur India utara yaitu sungai gangga.

      Perkembangan agama hindu pada zaman Brahmana ini merupakan peralihan dari zaman weda samhita ke zaman Brahmana, kehidupan Brahmana pada zaman Brahmana ini ditandai dengan memusatkan keaktifan pada batin rohani dalam upacara korban. Kedudukan kaum Brahmana mendapatkan pedindungan yang baik karena dapat berpengaruh amat besar. Hal ini dapat dilihat pada masa pemerintahan dinasti Chandragupta maurya (322-298 SM) di kerajaan Magadha berkat bantuan Brahmana Canakya (kautilya). Pada zaman Brahmanaa timbul pula perubahan suasana yang bercirikan antara lain :

1. Korban atau yadnya mendapatkan tekanan berat.
2. Para pendeta menjadi golongan yang berkuasa.
3. Munculnya perkembangan kelompok-kelompok masyarakat dengan beijenis-jenis pasraman.
4. Dewa-dewa berkembang menjadi fungsinya.
5. Timbulnya kitab-kitab sutra.


      Ciri-ciri perkembangan beragama pada zaman Brahmana ini hidup manusia dibedakan menjadi empat asrama sesuai dengan warna dan darmanya yaitu :
1. Brahmacari yaitu masa belajar mencari ilmu pengetahuan untuk bekal menjalani kehidupan selanjutnya.
2. Grhasta yaitu tahap hidup berumah tangga dan menjadi keluarga.
3. Wanaprastha yaitu hidup menjadi pertapa.
4. Sanyasin yaitu kewajiban hidup meninggalkan segala sesuatu.

       Bersamaan dengan menonjolnya korban-korban tersebut, para brahmana yang menjalani korban itu dengan sendirinya juga menjadi penting bahkan sedemikian penting hingga masyarakat seratus persen menggantungkan diri kepada brahmana-brahmana itu. Timbulah pada zaman ini cerita-cerita yang menguraikan asal mula Brahmana Demikian juga pada zaman ini terjadi pembagian masyarakat dalam empat kasta, yaitu kasta Brahmana (para brahmana), kasta Ksatria (para pemerintah), kasta Waisya (pedagang) dan kasta Sudra (rakyat jelata). Oleh karena itu semua kehidupan masyarakat bersifat ritualistis.
   
         Dilihat dari sudut filsafat zaman Brahmana ini menjadi zaman pendahuluan berpikir yang secara metafisis. Dasar-dasar pemikiran falsafah yang sudah tampak pada zaman weda kuno sekarang ini sudah mualai diluaskan secara konsekuen dalam bentuk yang lebih abstrak dan lebih sintetis, sekalipun belum mendapatkan suatu sistem yang bulat. Bahan-bahan falsafah masih tersebar tak teratur. Penguraian-penguraian yang sistematis baru terjadi pada zaman berikutnya, yaitu Zaman Upanisad.

        Zaman Brahmana ditandai dengan munculnya kitab suci Brahmana yaitu bagian weda yang berisi tentang peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban keagamaan. Kitab Brahmana juga disebut karma kanda yang disusun dalam bentuk prosa. Pada zaman Brahmana kehidupan beragama yang lebih ditonjolkan adalah adalah pelaksanaan korban suci atau yadnya. Dengan demikian segala sesuatunya diatur berdasarkan korban suci pelaksanaan upacara yadnya, akibat dari penonjolan yadnya maka fungsi dari peranan Brahmana semakin penting dan masyarakat bergantung sepenuhnya pada para Brahmana.

         Dalam pelaksanaan upacara yadnya pada zaman Brahmana selalu disertai dengan ucapan mantra-mantra weda yang dirapalkan oleh Pendeta Catur (sruti). Pendeta yang merapalkan atau mengucapkan Reg Weda disebut Hotr, untuk sama weda disebut Udgatr, untuk Yajur Weda disebut Adwaryu dan untuk Atharwa Weda disebut Brahman. Disamping semaraknya pelaksanaan upacara di india pada zaman itu juga teljadi pengklasifikasian masyarakat sesuai dengan profesinya menjadi empat warna atau golongan.

        Pada zaman Brahmana agama hindu berkembang sampai ke India Tengah, yaitu dataran tinggi Dekan dan lembah Yamuna. Ditempat ini pula ditulis peraturan-peraturan mengenai tuntunan tentang kehidupan (tata susila). Peraturan dan tuntunan ini ditulis berdasarkan kitab Weda Sruti sehingga isinya tidak perlu diragukan kebenarannya.

        Pada zaman ini kitab sucinya menguraikan masalah yadnya dan upacara-upacaranya yang meliputi ani suatu yadnya serta tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Tiap-tiap yadnya ditetapkan dengan cermat sekali menurut peraturan-peraturannya. Pentimpangan sedikit saja dari peraturan itu dapat menyebabkan batal dan tidak sahnya suatu yadnya. Untuk yadnya yang demikian pentingnya dan upacara-upacam yang begitu nunit diadakanlah kitab-kitab penuntun yang disebut Kalpasutra. Kitab ini ada dua macam sesuai dengan adnya dua macam yadnya, yaitu :

a. Grhya Sutra, yang merupakan penuntun untuk yadnya-yadnya kecil dalam lingkungan keluarga
b. Srauta Sutra, yang merupakan penuntun untuk yadnya-yadnya besar dalam lingkungan raja-raja dan negara.

    Pada zaman ini ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji, diantaranya yaitu:

1. Kaum pendeta
       Pendeta adalah sesepuh agama atau orang yang mengerti dalam sesuatu hal yang berbau agama. Dalam agama hindu pendeta adalah orang suci sekaligus orang yang paling dekat dengan dewa-dewa.

2. korban
       Pergeseran penting dalam hal korban adalah semakin tingginya nilai yang diberikan kepada korban tesebut sehingga berhasil atau tidaknya maksud dan tujuan korban sangat tergantung pada kekuatan yang ada didalam korban itu sendiri. Tidak tergantung pada kemurahan Dewa tetapi pada kekuatan yang ada pada arti dan bunyi mantra-mantra dan perbuatan dalam korban tersebut. Dalam hal ini pemilihan mantra yang tepat akan menjamin keberhasilan dalam hal persembahan dalam sebuah korban. Dalam kitab Brahmana dan kitab weda, korban diterangkan secara panjang lebar. Ada dua macam korban yaitu :

     a. korban besar
        Korban besar macam itu menggunakan empat macam api suci dan dilakukan olah para pendeta atas permintaan orang yang memerlukannya. Korban terpenting dalam korban besar ini disebut dengan Somayadnya. Salah satu Somayadnya ialah korban kuda (aswameda). Setiap raja berkeinginan untuk melakukan korban ini karena dianggap sebagai ujian bagi kekuasaan dan kekuatannya. Dengan korban ini ia akan menjadi seorang Cakrawartin, raja seluruh alam semesta, pencipta perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan. Seperti halnya dalam agama weda, korban dalam agama brhmana ini juga dilakukan oleh empat orang pendeta yang dibantu oleh pembantu masing-masing. Pendeta adwaryu menyelengarakan korban dengan mengucapkan lafal-Iafal yang diambil dari Yajur Weda. Korban besar diuraikan dalam Smutra Sutra.
      b. korban kecil
         Korban kecil banyak diuraikan dalam Grhya Sutra. Korban ini hanya memerlukan kelengkapan yang sederhana, cukup dengan api suci yang ditaruh disetiap rumah tangga. Api tersebut dibuat oleh kepala keluarga begitu ia membentuk kepala rumah tangga. Nitya termasuk korban suci yang harus dilakukan pada saat-saat tertentu. Seperti permulaan musim baru, bulan muda, bulan purnama,waktu menyemaikan benih dan waktu permulaan panen, serta korban untuk para pitara. Upacara korban tersebut sebenamya bukan upacara agama yang sebenarnya. Korban disini bukan lagi berpusat pada dewa akan tetapi pada manusia dan hubungan antara manusia dengan dewa sudah merupakan hubungan yang bersifat magis saja.

3. kasta
         Agama Brahmana mengenal kasta-kasta yaitu, kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan sudra. Sebenarnya dalam Reg Wedanya ada dua warna saja, yaitu Arya Warna (kulit kuning) dan Dasyu Warna (kulit hitam). Diluar empat kasta ini ada lagi satu warna yang tidak boleh didekati atau disentuh yaitu Kasta Paria. B.A. Gait mengatakan bahwa pada umumnya bangsa Arya tidak suka akan perkawinan antar suku, tidak suka makan bersama dengan suku yang lebih rendah apalagi dengan yang berkth hitam. Akan tetapi akibat peperangan beberapa suku kekurangan istri sehingga terpaksa kawin dengan orang-orang pribumi. Jelas bahwa anak-anak mereka ini akan dianggap lebih renda status sosial mereka. Demikianlah keturunan kedua telah menimbulkan kelas antara bangsa Arya asli dengan pribumi yaitu orang-orang berdarah campuran. Perkembangan seperti ini kemudian menimbulkan adanya prinsip dasar peraturan catur warna. Perpindahan kasta tidak diperbolehkan dan juga tidak mungkin. Artinya seorang anak laki-laki harus menikah dengan wanita dari kasta yang sama, dan anaknya lahir dalam kasta yang sama dengan orang tuanya.

4. Asrama
        Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana disebukan adanya empat tingkatan hidup yang harus dilalui setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki keempat tingkatan tersebut setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara Upanayana, yaitu upacara menjadikan seseorang anak menjadi “dwija” dan resmi sebagai anggota kasta, serta siap memasuki tingkatan hidup yang pertama, yaitu kehidupan sebagai Brahmacarin. Anak tadi akan meninggalkan rumah orang tunya dan menetap sebagai siswa (sisya) di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainya. Ia harus tunduk terhadap gurunya dan istri guru, patuh melaksanakan segala perintahnya dan harus mencari makan sendiri dengan cara minta-minta. Sebagai imbalanya dia akan menerima pelajaran dari guru terutama tentang Dharma dalam kitab suci. Kalau sudah selesai, anak segera pulang dan kawin. Mulaiah ia memasuki tingkatan kedua, Grhasta, yang dimulai dengan perkawinan. Upacara perkawinan termasuk upacara terpenting yang diselenggarakan di rumah. Selesai melakukan upacara ini, kedua mempelai melangkah sebanyak tujuh langkah ke timur-laut sambil diperciki air suci. Sambil memegang tangan istrinya, suami sambil mengucapkan mantra-mantra kemudian membawa api suci yang harus tetap dipeliharanya di rumah. Setelah itu mulailah kehidupan sebagai suamiistri. Ia menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab mendidik anak-anaknya dan melaksanakan kewajiban terhadap para dewa dengan menjalankan sesaji dan upacara korban. Ia juga harus melaksanakan kewajibannya yang berhubungan dengan mayasarakat. Tingkatan ketiga adalah Vanaprastha (kehidupan di hutan). Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibanya sebagai kepala keluaraga diserahkan kepada anak laki-laki. Adakalanya ia masuk hutan bersama istrinya supaya memberikan ketenangan dan keheningan berfikir dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup. Segala ikatan duniawi harus dilepaskannya untuk sepenuhnya mengabdikan diri secara keagamaan. Tingkatan terakhir, atau yang keempat, ialah Sanyasin, yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan dunia. Sekalipun ia masih hidup di dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan diri dari permasalah dunia sehingga kesempatan untuk mencapai moksa.

5. Dewa-dewa
       Bila kita perhatikan perkembangan pemujaan saat ini dewa-dewa dalam kitab suci Veda, khususnya Indra, Vayu, Aditi dan lain-lain, nampaknya tidak dipuja lagi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal ini tidak lain, karena kedudukan dewa-dewa tersebut di atas, pada zaman kitab-kitab Purana disusun tidak lagi dipuja karena fungsi dan peranannya digantikan oleh Tiga Devata Utama, manifestasi-Nya yang kita kenal dengan Tri Murti. Dewa Agni diidentikan dan digantikan oleh Brahma, Indra dan Vayu diidentikan dan digantikan oleh Visnu, walaupun dalam kitab suci Veda, Visna adalah nama lain dari Surya dan Surya sendiri diidentikan dan digantikan fungsi dan peranannya oleh Siva. Ketiga dewa-dewa ini dengan “parivara devata”-Nya (keluarga dewa-dewa, sakti atau istrinya, putra-putrinya termasuk pula pengiringnya) mendapat pujaan yang khusus.
Penggambaran dewa-dewi dalam wujud tertentu, dimaksudkan untuk lebih mudah membayangkan-Nya, sesuai sifat-sifat yang didambakan oleh umat kepada-Nya. Selanjutnya disampaikan penggambaran dewa-dewa dalam Veda, di antaranya sebagai berikut:

1. Dyaus
      Dewa Dyaus adalah dewa langit. Ia merupakan bapak dari para dewa dan merupakan dewa tertua dari seluruh dewa dalam Veda maupun Susastra Hindu. Di dalam mantram Veda dilukiskan sebagai dewa Akasa (langit). Dyaus dikenal sebagai dewa yang paling berkuasa atas surga. Di dalam mantram pujian (stava) Dyaus sering dikaitkan dengan Prithivi sehingga terbaca Dyavaprthivi, sebagai lambang bapak-ibu yang bersifat paternal. Nama Dyaus di dalam Reg Veda terbaca tidak kurang dari 50 kali. la digambarkan sebagai: besar, bijaksana dan energik yang mengajarkan kebajikan kepada penyembahnya. Di dalam berbagai mantra Reg Veda, ia disebut juga sebagai pencipta semua makhluk. Sebagai bapak ia digambarkan dalam bentuk fisik yang kekar, berewok. la disebut Dyaus Pitar yang berarti bapak Sorga. Dalam bahasa Latin dikenal Yupiter, sedang dalam bahasa Yunani Kuno disebut Zeuspitar atau Zeupita. Diduga kata Dyaus berasal dari kata div (memancarkan sinar atau cahaya) yang artinya sama dengan dewa.

2. Prthivi
      Dewi Perthivi adalah dewa bumi, digambarkan seorang wanita yang sangat ramah dan merupakan dambaan setiap orang. Dewa ini disebut beberapa kali di dalam kitab Veda (Reg Veda). Parthivi artinya yang mempunyai permukaan lebar, yang dimaksud adalah bumi. Ia dikenal dengan Ibu yang sangat baik. Dalam Pura ia disebut melahirkan seorang putra yang bemama Bhoma (Neraka), dalam Ramayana, ia disebut menjelma sebagai Sita. Nama lainya adalah : Vashundari, Ksitidharani dan lain-lain.

3. Aditi dan Aditiya
       Aditi selalu disebut sebagai sorang dewi, Ibu para dewa. Ia disebut sebagai dewi yang memberi kebahagiaan. Aditi merupakan personifikasi dari Ibu alam semesta, Hiranyagarbhah dalam Reg Veda. Ia disebut maha pengampun, melenyapkan dosa manusia. Dalam Reg Weda dinyatakan Aditi lahir dari Daksa, tetapi versi yang lain menyatakan bahwa Daksa adalah putra dewi Aditi. Versi yang lainnya menyatakan lagi bahwa Aditi bersaudara dengan Daksa, ibu dari Vivasit. Aditiya berarti putra Aditi, pada umumnya diartikan sebagai dewa-dewa yang merupakan satu kelompok. Ia dipersonifikasikan sebagai dewa yang mempunyai kekuasaan yang paling tinggi sebagai perwujudan dari hukum yang mengatur peredaran alam semesta. Ia mengatur tata-smya dan mengatur hukum dunia. Ia bersemayam di langit, di alam yang tertinggi, menguasai seluruh hidup dan materi sebagai mantra (elemen).

4. Agni (dewa api)
        Agni sering disebut dalam Veda, di samping Indra dan Smya. Di dalam mantram pertama, Sukta pertama dalam Mandala pertama kitab suci Reg Weda, Agni disebut Purohita para devata dan penganugrahkan kemakmuran dan kebahagiaan. la disebut sebagai saksi yang tetap eksis sampai kini dalam setiap pemujaan umat Hindu. Fungsi Agni sebagai pandita, sebagai duta, sebagai pemberi berkah, sebagai akhir Weda, penjaga rumah sebagai saksi dan lain sebagainya menyebabkan Agni tetap dimuliakan.

5. Surya
       Surya adalah dewa matahari, ia dipuja sebagai wajah Agni di angkasa (Reg Weda x. 7. 3), matanya Mitra dan Waruna, sebagai dewanya mata atau maha melihat. Dewa Surya seperti telah disebutkan di depan adalah putra Aditi dengan Dyaus, Dewi Usas (fajar) adalah saudaranya perempuan. Savtr sering dihubungkan dengan matahari pagi dan Surya dihubungkan dengan matahari pada siang hari sampai terbenam. Pengercaan dewa Surya berwarna merah tembaga, merah dan coklat. Ia sangat kasih, pemurah, melenyapkan ketakutan, dikelilingi oleh kekuatan hidup, para Rudra, menjadi tempat perlindungan diseluruh penjuru (Nilarudra Upanisad 1.9). Dan masih banyak lagi dewa-dewi dalam Weda di Antaranya: Waruna, Asvin, Usas, Indra, Vayu, Soma, Visvakarma, Yama, Rudra, Sarasvati, Brahma, Visnu, Siva, Parvati, Durga, Ganesa, Sri Laksmi. Dengan uraian-uraian tersebut diatas, maka jelaslah bahwa corak ke Tuhanan Hinduisme adalah poytheisme yang infinitive (tidak terbatas) di dalam mana dewa-dewa digambarkan secara fantastis dalam bentuk manusia biasa atau pun luar biasa, yang dipatungkan.

6. Sutra-sutra
       Sutra yang artinya petunjuk. Kitab Sutra sebagai tafsir dari kitab Brahmana yang terdiri dari 2 macam kitab sebagai berikut :
  a) Srautra Sutra: berisi petunjuk-petunjuk upacara-upacara/ kurban-kurban yang wajib dikerjakan oleh raja-raja yang dibagi menjadi 3 macam :

        1) Raja Surya yaitu upacara dalam pelantikan raja naik tahta.
        2) Aswameda ialah kurban kuda yang harus dilakukan sekali setahun, sebagai. tanda kebesaran raja (sabagai maha raja).
        3) Purushameda yaitu kurban manusia yang diberikan oleh raja (yang kemudian dihapuskan).

  b) Gerhya Sutra : ialah tata cara/kurban untuk setiap kepala keluarga yang terdiri dari:
       1) Nitya yaitu kurban wajib diakukan setiap hari oleh kepala kelurga terhadap.   roh-roh nenek moyang (pitara).
       2) Naimittika ialah kurban yang hanya dilakukan sekali seumur hidup. Kurban yang demikian ini ada hubungannya dengan periode hidup manusia   (samskara) misalnya pada saat kelahiran, pemberian nama, makan nasi pertama, memotong rambut pertama dan sebagainya.
      3) Upanayana ialah upacara memasuki kasta dengan pemberian Upavita (tali kasta) pada umur 8-12 tahun, setelah itu datanglah upacara perkawinan dan sebagai penutup upacara ialah upacara kematian yang berupa upacara pembakaran mayat.





                                                                BAB  III
                                                              PENUTUP

Kesimpulan

       Zaman Brahmana (2000-1500 SM) merupakan peralihan dari Zaman Weda samhrta ke zaman Brahmana, kehidupan pada zaman Brahmana ini ditandai dengan memusatkan keaktifan pada batin rohani dalam upacara korban. Pada zaman ini yang lebih ditonjolkan adalah upacara korban suci atau Yadnya. Hal ini menyebabkan kaum Brahmana memiliki peranan yang sangat penting karena para Brahmana yang menjadi pemimpin untuk korban suci atau Yadnya.
 
         Pada zaman ini kitab sucinya menguraikan masalah yadnya dan upacaraupacaranya yang meliputi arti suatu yadnya serta tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Kitab ini ada dua macam sesuai dengan adnya dua macam yadnya, yaitu Grhya Sutra dan Srauta Sutra. Dalam menjalani kehidupan ada beberapa tingkatan hidup atau Catur Asrama. Dan di dalam masyarakat dibagi menjadi beberapa golongan atau kasta. Pada zaman ini pula banyak dipuja banyak dewa antara lain Dewa Dyaus, Dewi Penhivi. Aditi dan Aditiya, Agni (dewa api) dan Surya.


Bhisma Parwa dalam Mahabharata

      Kita tidak asing lagi jika mendengar kata Mahabharata.  Mahabharata merupakan suatu kisah yang sangat panjang. Dan didalamnya penuh dengan pesan moral dan religi. Kisah Mahabharata terdiri dari 18 Parwa antara lain : Adi Parwa, Sabha Parwa,  Wana Parwa,  Wirata Parwa,  Udiyoga Parwa,  Bhisma Parwa,  Drona Parwa,  Karna Parwa,  Salya Parwa,  Soptika Parwa,  Stri Parwa,  Santi Parwa,  Anusana Parwa,  Asmaweda Parwa,  Asrama Wasika Parwa,  Mausala Parwa,  Maha prastanika Parwa,  dan Swarga Parwa. Pada blog ini saya akan menceritakan inti kisah Mahabharata khususnya pada bagian Bhisma Parwa.


>> Bhisma Parwa


      Dari tempat Dewi Kunti, Krishna langsung menuju ke Upaplawiya, melaporkan kegagalan misinya. Dengan gagalnya misi perdamaian tersebut, maka perang besarpun tidak dapat dihindarkan lagi. Pandawa lalu mengatur angkatan perang mereka menjadi tujuh aksoini. Adapun para senapatinya adalah Draupada,Wirata, Drestadyumena, Srikandi, Satiyaki, Chekidana dan Bimasena. Sedangkan yang dipilih menjadi maha senapati adalah Sweta, putra ketiga Raja Wirata. Sementara itu, pihak Korawa memilih Bhisma sebagai maha senapatinya. Kedua belah pihak telah mempersiapkan pasukan dan mendirikan markas di Padang Kuru Ksetra secara berhadapan. pada malam pertama sebelum pertempuran dimulai,  Yudistira tanpa senjata dan tanpa pengawal pergi sendiri ke perkemahan kakek Bhisma.  Dihadapan kakek Bhisma,  Yudistira bersujud dan mohon restu untuk mulai peperangan serta mohon ampun karena dalam perang besok terpaksa berhadapan dengan kakek sebagai musuh. Kakek Bhisma memberikan restunya dan menyampaikan penyesalan karena harus berperang di pihak Korawa. Hal ini disebabkan karena sebagai penduduk Hastina mau tidak mau harus berpihak kepada Hastina. Di samping itu, karena ia pernah bersumpah bahwa ia akan membela Hastina kalau ada serangan dari pihak manapun.
   
      Setelah mendapatkan restu dari kakek Bhisma, Yudistira lalu menghadap guru Drona, guru Kripa, dan paman Salya. Pada prinsipnya semua mereka memberi restu dan menyampaikan penyesalannya karena harus berperang di pihak Korawa. Setelah mendapat restu dari semua tetua, Yudistirapun kembali ke kemahnya.
Pada malam itu juga, Krishna mengajak Arj una untuk naik ke atas bukit dekat perkemahan pihak Korawa. Dari atas bukit tersebut, terlihat siapa-siapa saja yang berada di pihak Korawa. Setelah memperhatikan dengan seksama, Arjuna melihat dengan jelas bahwa yang berdiri di pihak musuh yang akan dihadapinya adalah gurunya, kakeknya, pamannya, saudara-saudaranya, kemenakan-kemenakannya serta handai tolannya. Melihat hal tersebut dia menjadi sedih lalu berkata, “Oh Krishna, setelah melihat bahwa yang akan aku hadapi adalah guru dan sanak keluarga sendiri serta handai tolanku, aku tidak lagi mempunyai Semangat untuk berperang. Apa gunanya mendapat kemuliaan kalau harus membunuh guru dan sanak saudara sendiri?” Setelah berkata demikian, Arjuna lalu menjadi lemas dan semangat berperangnya menjadi bilang sama sekali. Terhadap keragu-raguan Arjuna tersebut, Krishna lalu memberikan wejangan.Wejangan tersebut selanjutnya terkenal dengan sebutan “Bhagawad Gita”. Adapun inti pokok dari Wejangan Bhagawad Gita tersebut antara lain:

1. Janganlah bersedih terhadap orang yang terbunuh. Sebab yang terbunuh itu hanyalah badan kasar. Jiwa tidak bisa dibunuh. Ia membuang badan yang hancur dan mengambil badan lainnya seperti kita membuang baju yang robek dan mengambil baju yang baru.

2. Bertempur dan membunuh dalam pertempuran yang didasarkan atas kewajiban untuk menegakkan Dharma bukanlah dosa.

3. Dengan memandang sama kedukaan dan kebahagiaan, keuntungan dan kerugian, kemenangan dan kekalahan, maka laksanakanlah kewajibanmu. Dalam hal ini, bertempurlah kamu.

4. Hanya dalam pelaksanaan kamu mempunyai hak dan tidak sama sekali pada hasilnya. Janganlah hasil dari perbuatan itu yang menjadi motivasimu berbuat. Juga jangan membiarkan dirimu untuk tidak melaksanakan apapun.

5. Lakukan pekerjaanmu sebagai yadnya. Bebaskan diri dari semua ikatan dan bertempurlah.

     Setelah mendapatkan wejangan Bhagawad Gita tersebut, Arjunapun menyadari kewajibannya sehingga iapun menjadi mantap untuk berperang. Merekapun lalu kembali ke kemah. Keesokan harinya yaitu pada hari pertama setelah matahari terbit, kedua belah pihak sudah siap di medan perang Kuru Ksetra secara berhadapan. Semua senapati dari kedua belah pihak meniupkan terompetnya sebagai tanda bahwa perang sudah siap untuk dimulai. Arjuna meniupkan terompet Dewadata. Setelah meniupkan terompetnya, dengan kereta perangnya yang ditarik oleh empat ekor kuda putih dengan bendera berlukiskan wanaraseta (Hanoman), ia meminta kepada Krishna yang menjadi kusirnya untuk segera maju. Karena tadi malam sudah mendapatkan wejangan secara panjang lebar, dia sudah tidak ragu-ragu lagi menghadapi musuhnya.

      Pertempuran pada hari pertama tersebut, Uttara putra mahkota kerajaan Wirata dikalahkan oleh Salya dan Sangka, putra kedua kerajaan Wirata dikalahkan oleh Drona. Melihat kedua kakaknya telah gugur, Sweta menjadi sangat marah. Iapun mengamuk membalas dendam. Sasaran pertama yang ditujunya adalah Salya. Hampir saja Salya dapat dibunuhnya kalau saja Bhisma tidak segera segera membantu Salya. Terjadilah pertempuran antara Bhisma dengan Sweta. Dalam pertempuran tersebut dada Sweta tertembus oleh panah Bhisma sehingga ia jatuh ke bumi menghembuskan nafas terakhirnya.
   
      Pada waktu matahari terbenam, pertempuranpun dihentikan. Kedua belah pihak kembali ke markas masing-masing. Pada waktu itu, pasukan Korawa pulang dengan gembira karena kemenangan yang diperolehnya pada hari pertama. Sebaliknya, kubu Pandawa menjadi sangat sedih atas kekalahannya pada hari pertama, terutama karena gugurnya tiga pahlawan mereka.Yang paling bersedih adalah Raja Wirata karena ketiga putranya gugur sekaligus. Ketiga jenasah pahlawan tersebut diusung ke perkemahan dan diadakan upacara yang sesuai dengan keadaan darurat perang. Setelah upacara selesai, lalu diadakan perundingan untuk menetapkan strategi perang keesokan harinya. Dalam perundingan tersebut disepakati menunjuk Drestadyumena sebagai maha senapati menggantikan Sweta.

      Pada pertempuran hari kedua dan hari ketiga, secara berturut-turut kemenangan ada di pihak Pandawa. Dalam dua hari pertempuran tersebut tidak ada pahlawan utama yang gugur. Yang banyak gugur hanyalah prajurit-prajurit biasa.

      Pada pertempuran hari keempat, Bima mengamuk dengan gadanya dan berhasil membunuh delapan orang saudara Duryodana. Pada hari ke lima, putra Satyaki terbunuh oleh Burisrawa. Secara keseluruhan pertempuran hari keempat dan kelima tersebut kekalahan ada di pihak Korawa.

      Pada pertempuran hari keenam dan ketujuh, kembali pihak Pandawa secara berturut-turut mendapatkan kemenangan. Dalam pertempuran selama dua hari tersebut tidak ada pahlawan utama yang gugur. Pada pertempuran hari kedelapan, secara umum kembali pihak Pandawa memperoleh kemenangan. Namun, pada pertempuran hari kedelapan tersebut, seorang putra Arjuna dari perkawinannya dengan putri Raja Naga yaitu Irawan, tewas dalam pertempuran melawan Alambasa. Gugurnya Irawan menyebabkan Bima dan Arjuna mengamuk dengan hebatnya sehingga enam belas saudara Duryodana gugur pada hari kedelapan ini.
Pada hari kesembilan kemenangan juga berada di pihak Pandawa.

      Pada hari kesepuluh Srikandi ditugaskan untuk menghadapi Bhisma. Bhisma berusaha menghindari Srikandi. Tetapi, Srikandi terus mengejarnya. Pasukan bantuan di bawah Pimpinan Dursasana dihancurkan oleh Arjuna. Dengan demikian, Srikandi bersama Arjuna berhasil mendekati Bhisma dan menyerangnya secara bersamaan. Akhirnya, Bhisma tersungkur dengan tubuh penuh anak panah.Tubuh Bhisma tidak menyentuh tanah, karena tersangga oleh panah-panah Arjuna dan Srikandi. Ketika Bhisma, putra Dewi Gangga tersungkur, mataharipun terbenam. Pertempuran pada hari kesepuluh tersebut otomatis berhenti. Para kesatriya dari kedua belah pihak tidak langsung pulang ke markas. Mereka semua mendatangi tempat Bhisma berbaring memberi penghormatan. Bhisma berkata, ”Tolong carikan penyangga untuk kepalaku yang terkulai.” Duryodana segera mengambilkan bantal empuk untuk menyangga kepala kakeknya.Tetapi, Bhisma menolak bantal tersebut lalu katanya, “Arjuna, kau tentu mengerti maksudku.” Arjuna lalu menancapkan tiga batang anak panah untuk menyangga kepala Bhisma.

      Bhisma berpesan untuk yang terakhir kalinya kepada Duryodana, agar berdamai dengan Pandawa. Mendapat pesan demikian Duryodana bukannya menurut. Sebaliknya, ia menjadi marah lalu meninggalkan tempat itu bersama adik-adiknya dan pengikutnya. Bhisma lalu berpesan kepada pihak Pandawa bahwa atmannya baru akan meninggalkan jasadnya saat yang baik yaitu ketika matahari bergerak ke utara (utarayana). Bhisma juga berpesan selama menunggu utarayana, agar jasadnya dibiarkan tetap di tempat tersebut karena ia ingin menyaksikan perang yang berlangsung. Pihak Pandawa lalu membuatkan atap pelindung dari kain kemah dan dipagari dengan tombak-tombak. Setelah itu, para Pandawa mohon diri.

      Itulah akhir kisah dari Bhisma Parwa,  untuk Para selanjutnya adalah Drona Parwa yang akan saya bahas di blog selanjutnya.