BAB I
PENDAHULUAN
Agama adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh seseorang. Salah satunya adalah agama Hindu. Perkembangan Agama Hindu di India dipriodisasikan kedalam beberapa priode, yaitu : Pertama, Perkembangan agama Hindu di India pada Zaman Veda (65002000 SM). Kedua Perkembangan Agama Hindu di India Zaman Brahmana (2000-1500 SM). Ketiga, Perekembangan agama Hindu di India pada zaman Upanisad (1500-500 SM). Kemudian periode selanjutnya perkembangan agama Hindu ke berbagai wilayah di luar India. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada zamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada zaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
Zaman Brahmana merupakan zaman kedua setelah zaman Veda Zaman ini berlangsung sekitar 2000 sampai 1500 sebelum Masehi. Zaman ini ditandai dengan disusunnya buku-buku Brahmana, yaitu buku-buku yang menguraikan dan menjelaskm tentang saji dan upacaranya, apa artinya sesuatu saji, apa syarat-syaratnya, tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Hal yang paling menonjol pada zaman ini adalah upacaranya khususnya upacara korban suci atau yadnya. Sehingga kaum brahmana memiliki peran utama dalam memimpin upacara tersebut dan dianggap memiliki kedudukan tertinggi dari semua golongan masyarakat. Pada paper ini akan dibahas secara rinci periodesasi zaman brahmana
BAB II
PEMBAHASAN
Pada zaman ini ditandai dengan munculnya kitab Brahmana sebagai bagian dari kitab Weda sruti yang disebut karma kanda. Kitab ini memuat himpunan doa-doa serta penjelasan upacara korban dan kewajiban-kewajiban keagamaan. Disusun dalam bentuk prosa yang ditulis sendiri oleh bangsa Arya yang bermukim di bagian timur India utara yaitu sungai gangga.
Perkembangan agama hindu pada zaman Brahmana ini merupakan peralihan dari zaman weda samhita ke zaman Brahmana, kehidupan Brahmana pada zaman Brahmana ini ditandai dengan memusatkan keaktifan pada batin rohani dalam upacara korban. Kedudukan kaum Brahmana mendapatkan pedindungan yang baik karena dapat berpengaruh amat besar. Hal ini dapat dilihat pada masa pemerintahan dinasti Chandragupta maurya (322-298 SM) di kerajaan Magadha berkat bantuan Brahmana Canakya (kautilya). Pada zaman Brahmanaa timbul pula perubahan suasana yang bercirikan antara lain :
1. Korban atau yadnya mendapatkan tekanan berat.
2. Para pendeta menjadi golongan yang berkuasa.
3. Munculnya perkembangan kelompok-kelompok masyarakat dengan beijenis-jenis pasraman.
4. Dewa-dewa berkembang menjadi fungsinya.
5. Timbulnya kitab-kitab sutra.
Ciri-ciri perkembangan beragama pada zaman Brahmana ini hidup manusia dibedakan menjadi empat asrama sesuai dengan warna dan darmanya yaitu :
1. Brahmacari yaitu masa belajar mencari ilmu pengetahuan untuk bekal menjalani kehidupan selanjutnya.
2. Grhasta yaitu tahap hidup berumah tangga dan menjadi keluarga.
3. Wanaprastha yaitu hidup menjadi pertapa.
4. Sanyasin yaitu kewajiban hidup meninggalkan segala sesuatu.
Bersamaan dengan menonjolnya korban-korban tersebut, para brahmana yang menjalani korban itu dengan sendirinya juga menjadi penting bahkan sedemikian penting hingga masyarakat seratus persen menggantungkan diri kepada brahmana-brahmana itu. Timbulah pada zaman ini cerita-cerita yang menguraikan asal mula Brahmana Demikian juga pada zaman ini terjadi pembagian masyarakat dalam empat kasta, yaitu kasta Brahmana (para brahmana), kasta Ksatria (para pemerintah), kasta Waisya (pedagang) dan kasta Sudra (rakyat jelata). Oleh karena itu semua kehidupan masyarakat bersifat ritualistis.
Dilihat dari sudut filsafat zaman Brahmana ini menjadi zaman pendahuluan berpikir yang secara metafisis. Dasar-dasar pemikiran falsafah yang sudah tampak pada zaman weda kuno sekarang ini sudah mualai diluaskan secara konsekuen dalam bentuk yang lebih abstrak dan lebih sintetis, sekalipun belum mendapatkan suatu sistem yang bulat. Bahan-bahan falsafah masih tersebar tak teratur. Penguraian-penguraian yang sistematis baru terjadi pada zaman berikutnya, yaitu Zaman Upanisad.
Zaman Brahmana ditandai dengan munculnya kitab suci Brahmana yaitu bagian weda yang berisi tentang peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban keagamaan. Kitab Brahmana juga disebut karma kanda yang disusun dalam bentuk prosa. Pada zaman Brahmana kehidupan beragama yang lebih ditonjolkan adalah adalah pelaksanaan korban suci atau yadnya. Dengan demikian segala sesuatunya diatur berdasarkan korban suci pelaksanaan upacara yadnya, akibat dari penonjolan yadnya maka fungsi dari peranan Brahmana semakin penting dan masyarakat bergantung sepenuhnya pada para Brahmana.
Dalam pelaksanaan upacara yadnya pada zaman Brahmana selalu disertai dengan ucapan mantra-mantra weda yang dirapalkan oleh Pendeta Catur (sruti). Pendeta yang merapalkan atau mengucapkan Reg Weda disebut Hotr, untuk sama weda disebut Udgatr, untuk Yajur Weda disebut Adwaryu dan untuk Atharwa Weda disebut Brahman. Disamping semaraknya pelaksanaan upacara di india pada zaman itu juga teljadi pengklasifikasian masyarakat sesuai dengan profesinya menjadi empat warna atau golongan.
Pada zaman Brahmana agama hindu berkembang sampai ke India Tengah, yaitu dataran tinggi Dekan dan lembah Yamuna. Ditempat ini pula ditulis peraturan-peraturan mengenai tuntunan tentang kehidupan (tata susila). Peraturan dan tuntunan ini ditulis berdasarkan kitab Weda Sruti sehingga isinya tidak perlu diragukan kebenarannya.
Pada zaman ini kitab sucinya menguraikan masalah yadnya dan upacara-upacaranya yang meliputi ani suatu yadnya serta tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Tiap-tiap yadnya ditetapkan dengan cermat sekali menurut peraturan-peraturannya. Pentimpangan sedikit saja dari peraturan itu dapat menyebabkan batal dan tidak sahnya suatu yadnya. Untuk yadnya yang demikian pentingnya dan upacara-upacam yang begitu nunit diadakanlah kitab-kitab penuntun yang disebut Kalpasutra. Kitab ini ada dua macam sesuai dengan adnya dua macam yadnya, yaitu :
a. Grhya Sutra, yang merupakan penuntun untuk yadnya-yadnya kecil dalam lingkungan keluarga
b. Srauta Sutra, yang merupakan penuntun untuk yadnya-yadnya besar dalam lingkungan raja-raja dan negara.
Pada zaman ini ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji, diantaranya yaitu:
1. Kaum pendeta
Pendeta adalah sesepuh agama atau orang yang mengerti dalam sesuatu hal yang berbau agama. Dalam agama hindu pendeta adalah orang suci sekaligus orang yang paling dekat dengan dewa-dewa.
2. korban
Pergeseran penting dalam hal korban adalah semakin tingginya nilai yang diberikan kepada korban tesebut sehingga berhasil atau tidaknya maksud dan tujuan korban sangat tergantung pada kekuatan yang ada didalam korban itu sendiri. Tidak tergantung pada kemurahan Dewa tetapi pada kekuatan yang ada pada arti dan bunyi mantra-mantra dan perbuatan dalam korban tersebut. Dalam hal ini pemilihan mantra yang tepat akan menjamin keberhasilan dalam hal persembahan dalam sebuah korban. Dalam kitab Brahmana dan kitab weda, korban diterangkan secara panjang lebar. Ada dua macam korban yaitu :
a. korban besar
Korban besar macam itu menggunakan empat macam api suci dan dilakukan olah para pendeta atas permintaan orang yang memerlukannya. Korban terpenting dalam korban besar ini disebut dengan Somayadnya. Salah satu Somayadnya ialah korban kuda (aswameda). Setiap raja berkeinginan untuk melakukan korban ini karena dianggap sebagai ujian bagi kekuasaan dan kekuatannya. Dengan korban ini ia akan menjadi seorang Cakrawartin, raja seluruh alam semesta, pencipta perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan. Seperti halnya dalam agama weda, korban dalam agama brhmana ini juga dilakukan oleh empat orang pendeta yang dibantu oleh pembantu masing-masing. Pendeta adwaryu menyelengarakan korban dengan mengucapkan lafal-Iafal yang diambil dari Yajur Weda. Korban besar diuraikan dalam Smutra Sutra.
b. korban kecil
Korban kecil banyak diuraikan dalam Grhya Sutra. Korban ini hanya memerlukan kelengkapan yang sederhana, cukup dengan api suci yang ditaruh disetiap rumah tangga. Api tersebut dibuat oleh kepala keluarga begitu ia membentuk kepala rumah tangga. Nitya termasuk korban suci yang harus dilakukan pada saat-saat tertentu. Seperti permulaan musim baru, bulan muda, bulan purnama,waktu menyemaikan benih dan waktu permulaan panen, serta korban untuk para pitara. Upacara korban tersebut sebenamya bukan upacara agama yang sebenarnya. Korban disini bukan lagi berpusat pada dewa akan tetapi pada manusia dan hubungan antara manusia dengan dewa sudah merupakan hubungan yang bersifat magis saja.
3. kasta
Agama Brahmana mengenal kasta-kasta yaitu, kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan sudra. Sebenarnya dalam Reg Wedanya ada dua warna saja, yaitu Arya Warna (kulit kuning) dan Dasyu Warna (kulit hitam). Diluar empat kasta ini ada lagi satu warna yang tidak boleh didekati atau disentuh yaitu Kasta Paria. B.A. Gait mengatakan bahwa pada umumnya bangsa Arya tidak suka akan perkawinan antar suku, tidak suka makan bersama dengan suku yang lebih rendah apalagi dengan yang berkth hitam. Akan tetapi akibat peperangan beberapa suku kekurangan istri sehingga terpaksa kawin dengan orang-orang pribumi. Jelas bahwa anak-anak mereka ini akan dianggap lebih renda status sosial mereka. Demikianlah keturunan kedua telah menimbulkan kelas antara bangsa Arya asli dengan pribumi yaitu orang-orang berdarah campuran. Perkembangan seperti ini kemudian menimbulkan adanya prinsip dasar peraturan catur warna. Perpindahan kasta tidak diperbolehkan dan juga tidak mungkin. Artinya seorang anak laki-laki harus menikah dengan wanita dari kasta yang sama, dan anaknya lahir dalam kasta yang sama dengan orang tuanya.
4. Asrama
Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana disebukan adanya empat tingkatan hidup yang harus dilalui setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki keempat tingkatan tersebut setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara Upanayana, yaitu upacara menjadikan seseorang anak menjadi “dwija” dan resmi sebagai anggota kasta, serta siap memasuki tingkatan hidup yang pertama, yaitu kehidupan sebagai Brahmacarin. Anak tadi akan meninggalkan rumah orang tunya dan menetap sebagai siswa (sisya) di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainya. Ia harus tunduk terhadap gurunya dan istri guru, patuh melaksanakan segala perintahnya dan harus mencari makan sendiri dengan cara minta-minta. Sebagai imbalanya dia akan menerima pelajaran dari guru terutama tentang Dharma dalam kitab suci. Kalau sudah selesai, anak segera pulang dan kawin. Mulaiah ia memasuki tingkatan kedua, Grhasta, yang dimulai dengan perkawinan. Upacara perkawinan termasuk upacara terpenting yang diselenggarakan di rumah. Selesai melakukan upacara ini, kedua mempelai melangkah sebanyak tujuh langkah ke timur-laut sambil diperciki air suci. Sambil memegang tangan istrinya, suami sambil mengucapkan mantra-mantra kemudian membawa api suci yang harus tetap dipeliharanya di rumah. Setelah itu mulailah kehidupan sebagai suamiistri. Ia menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab mendidik anak-anaknya dan melaksanakan kewajiban terhadap para dewa dengan menjalankan sesaji dan upacara korban. Ia juga harus melaksanakan kewajibannya yang berhubungan dengan mayasarakat. Tingkatan ketiga adalah Vanaprastha (kehidupan di hutan). Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibanya sebagai kepala keluaraga diserahkan kepada anak laki-laki. Adakalanya ia masuk hutan bersama istrinya supaya memberikan ketenangan dan keheningan berfikir dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup. Segala ikatan duniawi harus dilepaskannya untuk sepenuhnya mengabdikan diri secara keagamaan. Tingkatan terakhir, atau yang keempat, ialah Sanyasin, yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan dunia. Sekalipun ia masih hidup di dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan diri dari permasalah dunia sehingga kesempatan untuk mencapai moksa.
5. Dewa-dewa
Bila kita perhatikan perkembangan pemujaan saat ini dewa-dewa dalam kitab suci Veda, khususnya Indra, Vayu, Aditi dan lain-lain, nampaknya tidak dipuja lagi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal ini tidak lain, karena kedudukan dewa-dewa tersebut di atas, pada zaman kitab-kitab Purana disusun tidak lagi dipuja karena fungsi dan peranannya digantikan oleh Tiga Devata Utama, manifestasi-Nya yang kita kenal dengan Tri Murti. Dewa Agni diidentikan dan digantikan oleh Brahma, Indra dan Vayu diidentikan dan digantikan oleh Visnu, walaupun dalam kitab suci Veda, Visna adalah nama lain dari Surya dan Surya sendiri diidentikan dan digantikan fungsi dan peranannya oleh Siva. Ketiga dewa-dewa ini dengan “parivara devata”-Nya (keluarga dewa-dewa, sakti atau istrinya, putra-putrinya termasuk pula pengiringnya) mendapat pujaan yang khusus.
Penggambaran dewa-dewi dalam wujud tertentu, dimaksudkan untuk lebih mudah membayangkan-Nya, sesuai sifat-sifat yang didambakan oleh umat kepada-Nya. Selanjutnya disampaikan penggambaran dewa-dewa dalam Veda, di antaranya sebagai berikut:
1. Dyaus
Dewa Dyaus adalah dewa langit. Ia merupakan bapak dari para dewa dan merupakan dewa tertua dari seluruh dewa dalam Veda maupun Susastra Hindu. Di dalam mantram Veda dilukiskan sebagai dewa Akasa (langit). Dyaus dikenal sebagai dewa yang paling berkuasa atas surga. Di dalam mantram pujian (stava) Dyaus sering dikaitkan dengan Prithivi sehingga terbaca Dyavaprthivi, sebagai lambang bapak-ibu yang bersifat paternal. Nama Dyaus di dalam Reg Veda terbaca tidak kurang dari 50 kali. la digambarkan sebagai: besar, bijaksana dan energik yang mengajarkan kebajikan kepada penyembahnya. Di dalam berbagai mantra Reg Veda, ia disebut juga sebagai pencipta semua makhluk. Sebagai bapak ia digambarkan dalam bentuk fisik yang kekar, berewok. la disebut Dyaus Pitar yang berarti bapak Sorga. Dalam bahasa Latin dikenal Yupiter, sedang dalam bahasa Yunani Kuno disebut Zeuspitar atau Zeupita. Diduga kata Dyaus berasal dari kata div (memancarkan sinar atau cahaya) yang artinya sama dengan dewa.
2. Prthivi
Dewi Perthivi adalah dewa bumi, digambarkan seorang wanita yang sangat ramah dan merupakan dambaan setiap orang. Dewa ini disebut beberapa kali di dalam kitab Veda (Reg Veda). Parthivi artinya yang mempunyai permukaan lebar, yang dimaksud adalah bumi. Ia dikenal dengan Ibu yang sangat baik. Dalam Pura ia disebut melahirkan seorang putra yang bemama Bhoma (Neraka), dalam Ramayana, ia disebut menjelma sebagai Sita. Nama lainya adalah : Vashundari, Ksitidharani dan lain-lain.
3. Aditi dan Aditiya
Aditi selalu disebut sebagai sorang dewi, Ibu para dewa. Ia disebut sebagai dewi yang memberi kebahagiaan. Aditi merupakan personifikasi dari Ibu alam semesta, Hiranyagarbhah dalam Reg Veda. Ia disebut maha pengampun, melenyapkan dosa manusia. Dalam Reg Weda dinyatakan Aditi lahir dari Daksa, tetapi versi yang lain menyatakan bahwa Daksa adalah putra dewi Aditi. Versi yang lainnya menyatakan lagi bahwa Aditi bersaudara dengan Daksa, ibu dari Vivasit. Aditiya berarti putra Aditi, pada umumnya diartikan sebagai dewa-dewa yang merupakan satu kelompok. Ia dipersonifikasikan sebagai dewa yang mempunyai kekuasaan yang paling tinggi sebagai perwujudan dari hukum yang mengatur peredaran alam semesta. Ia mengatur tata-smya dan mengatur hukum dunia. Ia bersemayam di langit, di alam yang tertinggi, menguasai seluruh hidup dan materi sebagai mantra (elemen).
4. Agni (dewa api)
Agni sering disebut dalam Veda, di samping Indra dan Smya. Di dalam mantram pertama, Sukta pertama dalam Mandala pertama kitab suci Reg Weda, Agni disebut Purohita para devata dan penganugrahkan kemakmuran dan kebahagiaan. la disebut sebagai saksi yang tetap eksis sampai kini dalam setiap pemujaan umat Hindu. Fungsi Agni sebagai pandita, sebagai duta, sebagai pemberi berkah, sebagai akhir Weda, penjaga rumah sebagai saksi dan lain sebagainya menyebabkan Agni tetap dimuliakan.
5. Surya
Surya adalah dewa matahari, ia dipuja sebagai wajah Agni di angkasa (Reg Weda x. 7. 3), matanya Mitra dan Waruna, sebagai dewanya mata atau maha melihat. Dewa Surya seperti telah disebutkan di depan adalah putra Aditi dengan Dyaus, Dewi Usas (fajar) adalah saudaranya perempuan. Savtr sering dihubungkan dengan matahari pagi dan Surya dihubungkan dengan matahari pada siang hari sampai terbenam. Pengercaan dewa Surya berwarna merah tembaga, merah dan coklat. Ia sangat kasih, pemurah, melenyapkan ketakutan, dikelilingi oleh kekuatan hidup, para Rudra, menjadi tempat perlindungan diseluruh penjuru (Nilarudra Upanisad 1.9). Dan masih banyak lagi dewa-dewi dalam Weda di Antaranya: Waruna, Asvin, Usas, Indra, Vayu, Soma, Visvakarma, Yama, Rudra, Sarasvati, Brahma, Visnu, Siva, Parvati, Durga, Ganesa, Sri Laksmi. Dengan uraian-uraian tersebut diatas, maka jelaslah bahwa corak ke Tuhanan Hinduisme adalah poytheisme yang infinitive (tidak terbatas) di dalam mana dewa-dewa digambarkan secara fantastis dalam bentuk manusia biasa atau pun luar biasa, yang dipatungkan.
6. Sutra-sutra
Sutra yang artinya petunjuk. Kitab Sutra sebagai tafsir dari kitab Brahmana yang terdiri dari 2 macam kitab sebagai berikut :
a) Srautra Sutra: berisi petunjuk-petunjuk upacara-upacara/ kurban-kurban yang wajib dikerjakan oleh raja-raja yang dibagi menjadi 3 macam :
1) Raja Surya yaitu upacara dalam pelantikan raja naik tahta.
2) Aswameda ialah kurban kuda yang harus dilakukan sekali setahun, sebagai. tanda kebesaran raja (sabagai maha raja).
3) Purushameda yaitu kurban manusia yang diberikan oleh raja (yang kemudian dihapuskan).
b) Gerhya Sutra : ialah tata cara/kurban untuk setiap kepala keluarga yang terdiri dari:
1) Nitya yaitu kurban wajib diakukan setiap hari oleh kepala kelurga terhadap. roh-roh nenek moyang (pitara).
2) Naimittika ialah kurban yang hanya dilakukan sekali seumur hidup. Kurban yang demikian ini ada hubungannya dengan periode hidup manusia (samskara) misalnya pada saat kelahiran, pemberian nama, makan nasi pertama, memotong rambut pertama dan sebagainya.
3) Upanayana ialah upacara memasuki kasta dengan pemberian Upavita (tali kasta) pada umur 8-12 tahun, setelah itu datanglah upacara perkawinan dan sebagai penutup upacara ialah upacara kematian yang berupa upacara pembakaran mayat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Zaman Brahmana (2000-1500 SM) merupakan peralihan dari Zaman Weda samhrta ke zaman Brahmana, kehidupan pada zaman Brahmana ini ditandai dengan memusatkan keaktifan pada batin rohani dalam upacara korban. Pada zaman ini yang lebih ditonjolkan adalah upacara korban suci atau Yadnya. Hal ini menyebabkan kaum Brahmana memiliki peranan yang sangat penting karena para Brahmana yang menjadi pemimpin untuk korban suci atau Yadnya.
Pada zaman ini kitab sucinya menguraikan masalah yadnya dan upacaraupacaranya yang meliputi arti suatu yadnya serta tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Kitab ini ada dua macam sesuai dengan adnya dua macam yadnya, yaitu Grhya Sutra dan Srauta Sutra. Dalam menjalani kehidupan ada beberapa tingkatan hidup atau Catur Asrama. Dan di dalam masyarakat dibagi menjadi beberapa golongan atau kasta. Pada zaman ini pula banyak dipuja banyak dewa antara lain Dewa Dyaus, Dewi Penhivi. Aditi dan Aditiya, Agni (dewa api) dan Surya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar