Rabu, 10 April 2019

Bhisma Parwa dalam Mahabharata

      Kita tidak asing lagi jika mendengar kata Mahabharata.  Mahabharata merupakan suatu kisah yang sangat panjang. Dan didalamnya penuh dengan pesan moral dan religi. Kisah Mahabharata terdiri dari 18 Parwa antara lain : Adi Parwa, Sabha Parwa,  Wana Parwa,  Wirata Parwa,  Udiyoga Parwa,  Bhisma Parwa,  Drona Parwa,  Karna Parwa,  Salya Parwa,  Soptika Parwa,  Stri Parwa,  Santi Parwa,  Anusana Parwa,  Asmaweda Parwa,  Asrama Wasika Parwa,  Mausala Parwa,  Maha prastanika Parwa,  dan Swarga Parwa. Pada blog ini saya akan menceritakan inti kisah Mahabharata khususnya pada bagian Bhisma Parwa.


>> Bhisma Parwa


      Dari tempat Dewi Kunti, Krishna langsung menuju ke Upaplawiya, melaporkan kegagalan misinya. Dengan gagalnya misi perdamaian tersebut, maka perang besarpun tidak dapat dihindarkan lagi. Pandawa lalu mengatur angkatan perang mereka menjadi tujuh aksoini. Adapun para senapatinya adalah Draupada,Wirata, Drestadyumena, Srikandi, Satiyaki, Chekidana dan Bimasena. Sedangkan yang dipilih menjadi maha senapati adalah Sweta, putra ketiga Raja Wirata. Sementara itu, pihak Korawa memilih Bhisma sebagai maha senapatinya. Kedua belah pihak telah mempersiapkan pasukan dan mendirikan markas di Padang Kuru Ksetra secara berhadapan. pada malam pertama sebelum pertempuran dimulai,  Yudistira tanpa senjata dan tanpa pengawal pergi sendiri ke perkemahan kakek Bhisma.  Dihadapan kakek Bhisma,  Yudistira bersujud dan mohon restu untuk mulai peperangan serta mohon ampun karena dalam perang besok terpaksa berhadapan dengan kakek sebagai musuh. Kakek Bhisma memberikan restunya dan menyampaikan penyesalan karena harus berperang di pihak Korawa. Hal ini disebabkan karena sebagai penduduk Hastina mau tidak mau harus berpihak kepada Hastina. Di samping itu, karena ia pernah bersumpah bahwa ia akan membela Hastina kalau ada serangan dari pihak manapun.
   
      Setelah mendapatkan restu dari kakek Bhisma, Yudistira lalu menghadap guru Drona, guru Kripa, dan paman Salya. Pada prinsipnya semua mereka memberi restu dan menyampaikan penyesalannya karena harus berperang di pihak Korawa. Setelah mendapat restu dari semua tetua, Yudistirapun kembali ke kemahnya.
Pada malam itu juga, Krishna mengajak Arj una untuk naik ke atas bukit dekat perkemahan pihak Korawa. Dari atas bukit tersebut, terlihat siapa-siapa saja yang berada di pihak Korawa. Setelah memperhatikan dengan seksama, Arjuna melihat dengan jelas bahwa yang berdiri di pihak musuh yang akan dihadapinya adalah gurunya, kakeknya, pamannya, saudara-saudaranya, kemenakan-kemenakannya serta handai tolannya. Melihat hal tersebut dia menjadi sedih lalu berkata, “Oh Krishna, setelah melihat bahwa yang akan aku hadapi adalah guru dan sanak keluarga sendiri serta handai tolanku, aku tidak lagi mempunyai Semangat untuk berperang. Apa gunanya mendapat kemuliaan kalau harus membunuh guru dan sanak saudara sendiri?” Setelah berkata demikian, Arjuna lalu menjadi lemas dan semangat berperangnya menjadi bilang sama sekali. Terhadap keragu-raguan Arjuna tersebut, Krishna lalu memberikan wejangan.Wejangan tersebut selanjutnya terkenal dengan sebutan “Bhagawad Gita”. Adapun inti pokok dari Wejangan Bhagawad Gita tersebut antara lain:

1. Janganlah bersedih terhadap orang yang terbunuh. Sebab yang terbunuh itu hanyalah badan kasar. Jiwa tidak bisa dibunuh. Ia membuang badan yang hancur dan mengambil badan lainnya seperti kita membuang baju yang robek dan mengambil baju yang baru.

2. Bertempur dan membunuh dalam pertempuran yang didasarkan atas kewajiban untuk menegakkan Dharma bukanlah dosa.

3. Dengan memandang sama kedukaan dan kebahagiaan, keuntungan dan kerugian, kemenangan dan kekalahan, maka laksanakanlah kewajibanmu. Dalam hal ini, bertempurlah kamu.

4. Hanya dalam pelaksanaan kamu mempunyai hak dan tidak sama sekali pada hasilnya. Janganlah hasil dari perbuatan itu yang menjadi motivasimu berbuat. Juga jangan membiarkan dirimu untuk tidak melaksanakan apapun.

5. Lakukan pekerjaanmu sebagai yadnya. Bebaskan diri dari semua ikatan dan bertempurlah.

     Setelah mendapatkan wejangan Bhagawad Gita tersebut, Arjunapun menyadari kewajibannya sehingga iapun menjadi mantap untuk berperang. Merekapun lalu kembali ke kemah. Keesokan harinya yaitu pada hari pertama setelah matahari terbit, kedua belah pihak sudah siap di medan perang Kuru Ksetra secara berhadapan. Semua senapati dari kedua belah pihak meniupkan terompetnya sebagai tanda bahwa perang sudah siap untuk dimulai. Arjuna meniupkan terompet Dewadata. Setelah meniupkan terompetnya, dengan kereta perangnya yang ditarik oleh empat ekor kuda putih dengan bendera berlukiskan wanaraseta (Hanoman), ia meminta kepada Krishna yang menjadi kusirnya untuk segera maju. Karena tadi malam sudah mendapatkan wejangan secara panjang lebar, dia sudah tidak ragu-ragu lagi menghadapi musuhnya.

      Pertempuran pada hari pertama tersebut, Uttara putra mahkota kerajaan Wirata dikalahkan oleh Salya dan Sangka, putra kedua kerajaan Wirata dikalahkan oleh Drona. Melihat kedua kakaknya telah gugur, Sweta menjadi sangat marah. Iapun mengamuk membalas dendam. Sasaran pertama yang ditujunya adalah Salya. Hampir saja Salya dapat dibunuhnya kalau saja Bhisma tidak segera segera membantu Salya. Terjadilah pertempuran antara Bhisma dengan Sweta. Dalam pertempuran tersebut dada Sweta tertembus oleh panah Bhisma sehingga ia jatuh ke bumi menghembuskan nafas terakhirnya.
   
      Pada waktu matahari terbenam, pertempuranpun dihentikan. Kedua belah pihak kembali ke markas masing-masing. Pada waktu itu, pasukan Korawa pulang dengan gembira karena kemenangan yang diperolehnya pada hari pertama. Sebaliknya, kubu Pandawa menjadi sangat sedih atas kekalahannya pada hari pertama, terutama karena gugurnya tiga pahlawan mereka.Yang paling bersedih adalah Raja Wirata karena ketiga putranya gugur sekaligus. Ketiga jenasah pahlawan tersebut diusung ke perkemahan dan diadakan upacara yang sesuai dengan keadaan darurat perang. Setelah upacara selesai, lalu diadakan perundingan untuk menetapkan strategi perang keesokan harinya. Dalam perundingan tersebut disepakati menunjuk Drestadyumena sebagai maha senapati menggantikan Sweta.

      Pada pertempuran hari kedua dan hari ketiga, secara berturut-turut kemenangan ada di pihak Pandawa. Dalam dua hari pertempuran tersebut tidak ada pahlawan utama yang gugur. Yang banyak gugur hanyalah prajurit-prajurit biasa.

      Pada pertempuran hari keempat, Bima mengamuk dengan gadanya dan berhasil membunuh delapan orang saudara Duryodana. Pada hari ke lima, putra Satyaki terbunuh oleh Burisrawa. Secara keseluruhan pertempuran hari keempat dan kelima tersebut kekalahan ada di pihak Korawa.

      Pada pertempuran hari keenam dan ketujuh, kembali pihak Pandawa secara berturut-turut mendapatkan kemenangan. Dalam pertempuran selama dua hari tersebut tidak ada pahlawan utama yang gugur. Pada pertempuran hari kedelapan, secara umum kembali pihak Pandawa memperoleh kemenangan. Namun, pada pertempuran hari kedelapan tersebut, seorang putra Arjuna dari perkawinannya dengan putri Raja Naga yaitu Irawan, tewas dalam pertempuran melawan Alambasa. Gugurnya Irawan menyebabkan Bima dan Arjuna mengamuk dengan hebatnya sehingga enam belas saudara Duryodana gugur pada hari kedelapan ini.
Pada hari kesembilan kemenangan juga berada di pihak Pandawa.

      Pada hari kesepuluh Srikandi ditugaskan untuk menghadapi Bhisma. Bhisma berusaha menghindari Srikandi. Tetapi, Srikandi terus mengejarnya. Pasukan bantuan di bawah Pimpinan Dursasana dihancurkan oleh Arjuna. Dengan demikian, Srikandi bersama Arjuna berhasil mendekati Bhisma dan menyerangnya secara bersamaan. Akhirnya, Bhisma tersungkur dengan tubuh penuh anak panah.Tubuh Bhisma tidak menyentuh tanah, karena tersangga oleh panah-panah Arjuna dan Srikandi. Ketika Bhisma, putra Dewi Gangga tersungkur, mataharipun terbenam. Pertempuran pada hari kesepuluh tersebut otomatis berhenti. Para kesatriya dari kedua belah pihak tidak langsung pulang ke markas. Mereka semua mendatangi tempat Bhisma berbaring memberi penghormatan. Bhisma berkata, ”Tolong carikan penyangga untuk kepalaku yang terkulai.” Duryodana segera mengambilkan bantal empuk untuk menyangga kepala kakeknya.Tetapi, Bhisma menolak bantal tersebut lalu katanya, “Arjuna, kau tentu mengerti maksudku.” Arjuna lalu menancapkan tiga batang anak panah untuk menyangga kepala Bhisma.

      Bhisma berpesan untuk yang terakhir kalinya kepada Duryodana, agar berdamai dengan Pandawa. Mendapat pesan demikian Duryodana bukannya menurut. Sebaliknya, ia menjadi marah lalu meninggalkan tempat itu bersama adik-adiknya dan pengikutnya. Bhisma lalu berpesan kepada pihak Pandawa bahwa atmannya baru akan meninggalkan jasadnya saat yang baik yaitu ketika matahari bergerak ke utara (utarayana). Bhisma juga berpesan selama menunggu utarayana, agar jasadnya dibiarkan tetap di tempat tersebut karena ia ingin menyaksikan perang yang berlangsung. Pihak Pandawa lalu membuatkan atap pelindung dari kain kemah dan dipagari dengan tombak-tombak. Setelah itu, para Pandawa mohon diri.

      Itulah akhir kisah dari Bhisma Parwa,  untuk Para selanjutnya adalah Drona Parwa yang akan saya bahas di blog selanjutnya.



1 komentar: