Senin, 20 April 2020

RSI YAJNA UNTUK KESEIMBANGAN KOSMOS


BAB   I

PENDAHULUAN





1.1   Latar Belakang

Agama hindu terdiri dari bermacam-macam yajna yang dikelompokkan menjadi lima macam yaitu, Dewa Yajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Manusa Yajna Dan Bhuta Yajna. Dalam pelaksanaan yajna senatisa mengandung makna filosofis maupun makna religius yang sangat mandalam, guna dapat terwujudnya suatu harapan yang utama sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam hakikat dan tujuan agama hindu yakni tiada lain dapat terwujudnya suatu ketentraman, kesejahteraan, keselamatan, kebahagiaan dan keharmonisan hidup dan kehidupan di alam semesta ini maupun di khirat kelak. Sejalan denag harapan diatas, maka dalam hal ini dapat ditegaskan dengan sloka yang berbunyi “moksartham jagadhitaya ya ca iti dharma”. Yang maksudnya mewujudkan adanya tingkat kehidupan yang seimbang antara tuntutan jasmaniah, maupun rohaniah atau dengan perkataan lain yakni tercapainya kebahagiaan secara nyata dengan terpenuhinya kebutuhan material serta tercapainya ketentraman dan kesejahteraan spiritual yang tangguh, utuh serta berbudi pekerti yang luhur.

Salah satu yajna yang dari yang disebutkan diatas adalah rsi yajna, dimana yajna ini ditujukan untuk para rsi ataupun pinandita/sulinggih. Yajna pada hakikatnya adalah untuk terwujudnya keharmonisan dan kedamaian di alam semesta ini. Bagaimana Rsi Yajna memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap keseimbangan alam semesta sehingga dapat menyababkan keharmonisan dan kedamaian. Untuk dasar itulah penulis membuat makalah ini agar pertayaan tersebut bisa dijawab. Dan dalam makalah ini akan dijelasakan apa itu Rsi Yajna, mengapa Rsi Yajna itu penting dilaksanakan, bagaimana pelakanaan Rsi Yajna dan bagaiamana Pengaruh Rsi Yajna terhadap keseimbangan kosmos. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan dibawah.








 

BAB   II

PEMBAHASAN



2.1   Pengertian Rsi Yajna

Rsi Yajna adalah korban suci yang tulus ikhlas untuk kesejahteraan para rsi atau punia yang berjiwa suci serta mengamalkan segala ajaran rsi. Rsi Yajna juga sering disebut Brahma Yajna, intinya adalah yajna yang ditujukan kepada Rsi atau Brahma yaitu bagi mereka yang dianggap sebagai penerima wahyu dan penggubah Weda. Setiap umat Hindu berpegang kepada Weda dan memiliki pandangan hidup berdasarkan Weda. Umat Hindu menjadi manusia yang berbudaya dan berbudi pekerti yang luhur atau manusia Indonesia seutuhnya adalah juga karena Weda.

Oleh karena itu, maka setiap umat Hindu merasakan memiliki hutang (rsi rnam) kepada para maha rsi atau para Brahma. Brahma adalah dewa yang dianggap berkuasa atas weda serta menyampaikan ajaran itu melalui para maha rsi, oleh karena itu bahwa brahma atau maha rsi sangat besar jasanya terhadap kemajuan dan peningkatan taraf hidup umat manusia. Dari jasa-jasa para rsi itulah kita wajib untuk memberikan persembahan atau penghormatan sebagai balas budi yang baik dengan selalu ingat akan kewajiban untuk melaksanakan Yajna kepada para maha rsi. Hal-hal inilah yang mendorong umat Hindu untuk tetap hormat dan memberikan persembahannya dengan melaksanakan Rsi Yajna.

Para Rsi juga menciptakan berbagai kitab-kitab Susastra yang menyebarkan ajaran suci Veda. Kitab-kitab Susastra yang menyebarkan ajaran suci Veda itu banyak dmikmati oleh umat. Dari mendalami ajaran Susatra itu banyak orang atau masyarakat mendapatkan berbagai kemajuan hldup lahir batin. Dari slmlah banyak umat yang timbul rasa berhutang budhi pada para Rsi. Hutang moral yang didasarkan oleh umat inilah yang disebut Rsi Rnam. Untuk mewujudkan rasa berhutang moral ini umat membalas budhi kepada para Rsi yang disebut dengan Rsi Yajna (Suhandana, 2007 : 46). 

Rsi adalah orang suci yang telah memberikan tuntutan hidup untuk menuju kebahagiaan lahir batin baik di dunia dan di akhirat. Orang suci yang demikian, secara berkesinambungan turun ke dunia untuk memberikan tuntutan kepada umat manusia. Pemujaan dan penghormatan tidak hanya terbatas kepada para rsi yang telah lampau, tetapi dilaksanakan pula kepada yang meneruskan tugas dan ajaran beliau. Dengan demikian bahwa Rsi Yajna adalah upacara penghormatan serta pemujaan yang ditujukan kepada para rsi atau orang-orang suci agama Hindu (Sukrawati, 2010 : 62-63).



2.2   Pentingnya Rsi Yajna Untuk Dilaksanakan

Segala sesuatu yang dilaksanakan yang berkaitan dengan persembahan atau pengorbanan yang suci dan tulus ikhlas, maka sudah tentu mempunyai makna tertentu pula. Persembahan itu merupakan sesuatu yang bersifat kebaikan atau yang menyenangkan orang lain yang kita persembahkan seperti halnya kepada para rsi atau orang-orang suci. Apapun wujudnya persembahan itu baik yang mempunyai nilai materi maupun yang mengandung nilai spiritual yang dilandai oleh dharma, hal demikian dapat dikatakan sebagai suatu Yajna. Seperti yang disampaikan sukrawati dalam bukunya (hal 61) “Dengan melakukan brata seseorang memperoleh diksa. Dengan diksa seseorang memperoleh daksina. Dengan daksina seseorang melakukan sraddha. Dan dengan sraddha seseorang memperoleh satya”.

Pelaksanaan berbagai Yajna tentunya mempunyai tujuan. Secara umum tujuan pelaksanaan. Yajna adalah untuk menebus atau membayar utang (kewajiban) kita sebagai umat Hindu. Sebagaimana yang ditegaskan dalam ajaran agama Hindu bahwa kelahiran kita sebagai manusia mempunyai tiga kewajiban atau utang yang tentunya hendaknya ditunaikan atau ditebus sesuai dengan swadharmanya masing-masing serta situasi dimana kita berada. Adapun ketiga utang yang dimaksudkan yang dikenal dengan nama Tri Rnam (tiga hutang/kewajiban) yaitu:



1.      Dewa Rnam yaitu merupakan utang/kewajiban yang ditujukan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, atas terciptanya dunia ini beserta isinya, juga atas perlindungan dan pemeliharaan-Nya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Yajna, biasanya Dewa Rnam ini ditebus dengan pelaksanaan Dewa Yajna dan Bhuta Yajna.

2.       Pitra Rnam yaitu kewajiban atas utang jasa dan pemeliharaan secara lahiriah kepada para leluhur. Pitra Rnam dapat ditunaikan atau dibayar melalui pelaksanaan Pitra Yajna dan Bhuta yajna.

3.       Rsi Rnam yaitu utang berupa ilmu pengetahuan kepada maha rsi atau pandita (pedanda) yang senantiasa mengabdikan diri demi kesejahteraan umat dan membentuk manusia yang berkepribadian luhur, cakap, dan memiliki etika (susila). Rsi Rnam dapat ditunaikan dengan melaksanakan Rsi yajna yaitu suatu korban suci yang tulus ikhlas untuk kesejahteraan para rsi (pembina rohani) serta dengan mempelajari dan mengamalkan ajaran kebenaran (Sukrawati, 2010 : 64-65).

Mengingat Rsi Rnam merupakan utang kepada para maha rsi dan orang-orang suci agama Hindu yang dibayar dengan pelaksanaan rsi yajna, maka dari itu tujuan melaksanakan upacara rsi Yajna adalah untuk membayar utang kepada para maha rsi/orang suci agama Hindu .

Kalau kita kenang jasa-jasa atau pengabdian para maha rsi atau orang suci agama Hindu yang begitu mulianya dalam upaya untuk menyelamatkan umat dari berbagai bencana maka betapa pentingnya dan sangat mulianya usaha umat Hindu untuk dapat beryajna dengan tulus guna terwujudnya jalan yang terang, manusia yang cerdas, tercapainya kesejahteraan, mencapai usaha-usaha yang benar/ kebajikan, serta mencapai kebahagiaan lahir dan batin.



2.3   Pelaksanaan  Rsi Yadnya

Persembahan yang ditujukan kehadapan para Rsi banyak dijumpai dalam kehidupan beragama bagi umat Hindu. Persembahan yang tulus ikhlas tersebut disebut Yajna. Kewajiban beryajna bagi umat Hindu kehadapan para rsi dan juga orang suci pelaksanannya dapat ditempuh dengan berbagai cara, seperti : 


a. Menobatkan calon sulinggih (mediksa) menjadi orang suci agama (sulinggih)

Sebagaimana telah diungkapkan secara sekilas di depan bahwa diksa atau madiksa adalah pensucian atau penyucian, yang juga dikenal dengan nama pentasbihan atau inisasi. Diksa atau mediksa merupakan suatu cara untuk melewati satu fase kehidupan yang baru, dari fase yang belum sempurna ke dalam dunia yang telah sempurna. Dengan diksa itulah seseorang itu akan dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan, karena dengan melalui diksa itu akan dapat mempelajari sifat Tuhan itu.

Dengan telah didiksanya seseorang maka ia menjadi diksita yang berwenang untuk melakukan upacara loka pala sraya yaitu sebagai orang suci tempat mohon petunjuk-petunjuk kerohanian dan sebagai orang sui yang dimohon untuk menyelesaikan upacara agama Hindu. Secara umum gelar atau sebutan orang yang telah mediksa dan ngeloka pala sraya dikenal dengan nama Pedanda, Rsi dan Mpu.

Pendeta atau pandita berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya orang pandai, cendekiawan, orang bijaksana, saljana, sujana dan pendeta. Jadi pendeta atau pandita adalah orang suci atau rohaniawan Hindu yang telah madwijati melalui upacara diksa. Dwijati artinya lahir dua kali, pertama dilahirkan oleh ibu bapak (guru rupaka), kedua dilahirkan pula dan diakui anak oleh seorang guru pengajian (nabhe) (Sukrawati, 2010 : 67).

Oleh karena diksa itu merupakan penyucian seorang walaka menjadi pandita, maka pandita/sulinggih itu hendaknya menaati dan memiliki sesana dan brata tertentu yang mesti ditaati dalam hidupnya. Adanya upacara diksa-pariksa ini membuktikan bahwa pandita itu telah menjadi orang suci dengan diksanya (penyuciannya) dan adanya pantangan-pantangan/brata Pandita (pariksa).


b. Dengan membangun tempat pemujaan para sulinggih

Suatu cara atau jalan untuk menghormati para orang suci agama Hindu memang ditempuh dengan berbagai pelaksanaan yang mengarah pada kesucian dan kebenaran. Cara yang dapat dibenarkan dalam pelaksanaan Rsi Yajna misalnya dengan membangun tempat pemujaan untuk para sulinggih atau orang suci agama Hindu.

Sebagaimana diketahui bahwa tempat pemujaan itu merupakan suatu areal tertentu dimana terdapat beberapa pelinggih atau bangunan suci untuk melakukan pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi, Dewa-dewa atau roh suci leluhur. Pendirian suatu tempat pemujaan beserta dengan pelinggih-pelinggihnya dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan agama. Misalnya menentukan arealnya, tata letak pelinggih-pelinggih di dalamnya, upacara penyuciannya dan lain-lainnya. Ketentuan agama dalam mendirikan suatu tempat pemujaan harus dipenuhi sehingga suatu tempat pemujaan layak digunakan sebagai tempat memuja Tuhan dan manifestasinya serta roh suci leluhur (Sukrawati, 2010 : 76-77).

Dengan demikian bahwa dengan membangun tempat pemujaan untuk para sulinggih berarti telah memberikan penghormatan dan rasa bakti kehadapan para sulinggih / pandita sebagai wujud pelaksanaan Rsi Yajna


c. Dengan menghaturkan dana punia kepada para sulinggih

Sesuai dengan ajaran agama Hindu bahwa setiap umat Hindu diwajibkan untuk melakukan dana punia. Dana punia berasal dari kata dana artinya pemberian, punia artinya selamat, baik, bahagia, indah, dan suci. Jadi dana punia artinya pemberian yang baik dan suci. Oleh usaha berdana punia itu merupakan peebuatan yang mulia dan terpuji, maka tidak salahnya kita sebagai sedharma untuk melaksanakan dana punia tersebut dengan penuh keikhlasan dan hati yang tulus kehadapan para pandita/sulinggih/rsi/orang suci dan juga kepada siapapun yang membutuhkan (Sukrawati, 2010 : 78-79).


d. Mentaati dan mengamalkan ajaran-ajaran para sulinggih.

Sebagai yang telah diuraikan di depan bahwa wujud pelaksanaan Rsi Yajna memang dapat dilaksanakan dengan berbagai pelaksanaan, seperti juga halnya untuk menaati dan mengamalkan segala ajaran-ajaran pada sulinggih. Para sulinggih tersebut merupakan guru kerohanian bagi segenap umat Hindu. Guru kerohanian ini nantinya memberikan petunjuk-petunjuk yang benar dalam mengarungi samudera kehidupan. Tanpa adanya guru kerohanian, maka hidup ini menjadi gelap tanpa arah sehingga apa yang menjadi harapannya senantiasa terbengkelai.

Sama juga halnya di sini bahwa umat Hindu semestinya dapat menaati, menghormati, mengamalkan ajaran-ajaran dari para sulinggih. Mengingat sulinggih itu adalah orang suci umat Hindu. Kapan lagi swadharma kita sebagai umat Hindu untuk menghormati dan menaati ajaran sulinggih itu. Karena usaha untuk menaati dan menghormati tersebut juga merupakan wujud pelaksanaan rsi yajna. Selanjutnya hormat dan taat serta bakti kepada guru temasuk juga sulinggih dilakukan dengan jalan tunduk, patuh, mengikuti pelajaran yang telah diberikan oleh sulinggih (Sukrawati, 2010 : 83).



2.4   Pengaruh Rsi Yajna Terhadap Keseimbangan Kosmis

Rsi Yajna dalam prakateknya diwujudkan dalam bentuk pemberian pelayanan sebagai keperluan hidup para rsi, porohita, atau pandita. Karena swadharma uttama para pandita adalah melayani umat dalam upaya meningkatkan pemahaman akan ajaran suci Veda, maka untuk kelancaran tugas-tugasnya itu dibutuhkan kepedulian umat dalam meringankan tugas-tugas beliau. Tugas pandita untuk menanamkan nilai-nilai suci ajaran Veda tidaklah mudah, dibutuhkan kecerdasan, keuletan, kesabaran, pengetahuan, kesehatan dan ketenangan batin.

Itulah sebabnya Rsi Yajna itu dapat diwujudkan dalam bentuk Rsi Bhojana yaitu upacara keagamaan yang dilaksanakan dengan cara menjamu para pandita dengan menyuguhkan makanan dan minuman yang pantas. Makanan yang pantas bagi para pandita adalah makanan yang tergolong makanan satvika. Dalam perkembangan pemahaman masyarakat, maka dalam Rsi Yajna juga (disertai) dengan pemberian dana, punia (daksina) atau uang. Kalaupun pemberian dana, punia, atau daksina ini dinilai tidak sepenuhnya sama dengan pengertian Rsi Yajna sebagaimana pengertian yang diberikan oleh definisinya, namun motif yang mendorong untuk dapat memberikan sesuatu kepada orang yang disucikan merupakan hal yang positif.

Kedudukan maharsi, rsi, porohita, pandita, guru, dan orang suci dalam agama Hindu sangat penting, karena orang-orang itu-dipandang sebagai perwujudan Tuhan itu sendiri. Bahkan kata “guru” itu sendiri dalam bahasa Sanskerta artinya sama dengan “Tuhan”. Rsi atau guru merupakan perwujudan Tuhan sebagaimana disebut acarya devobhava (Taittirya Upanisad I.11.2). Para rsi atau para guru menjalankan peran Tuhan di bumi, sehingga setiap orang yang sungguh-sungguh menghormati para guru, pandita atau orang-orang suci (guru bhakti, guru susrusa) secara tulus hati sebagai perwujudan Tuhan, maka ia akan diseberangkan dari Samudera sengsara sebagaimana ada kalimat suci mengatakan "manasah bhajare guru charanam dhustarah bhava sagara tharanam" barang siapa yang memuji padma kaki guru sejati dengan segenap hati, maka niscala ia akan ciiseberangkan dari samudera sengsara (Donder, 2007 : 370).

Penghormatan secara tulus kepada para guru menyebabkan para guru senang dan Tuhan pun senang.  Dengan adanya perilaku manusia yang memiliki rasa terimakasih kepada guru sama artinya berterimakasih pda Tuhan. Hal itu menghantarkan manusia untuk menemukan identitas atau jati dirinya sebagai atman yang merupakan bagian dari Tuhan dan guru. Hubungan antara manusia dengan guru dan Tuhan. membuat manusia hidup bahagia, kehidupan yang bahagia memancarkan vibrasi aura anandam yang turut mempengaruhi keseimbangan kosmis. Kosmis akan cepat beraksi secara replektif secepat pikiran, hal ini dapat dibuktikan ketika pagi-pagi buta (subuh) pada saat udara masih dingin, namun begitu ada orang marah-marah, maka ruangan kamar dan halaman yang dingin itu spontan mendadak menjadi panas. Peristiwa itu sebagai bukti bahwa telah terjadi ketidakstabilan gelombang kosmis yang semula pada level rendah namun tersuperposisi akibat gelombang pikiran seseorang yang sedang marah-marah (Donder, 2007 : 370-371).

Dengan membiasakan berbuat rendah hati di depan para rsi , guru, atau orang suci, maka secara evolusif akan terbentuk perilaku otak yang selalu memancarkan pola gelombang alpha. Hal itu akan menyebabkan tubuhnya memancarkan gelombang rendah yang membuat orang lain kerkesan atau simpati melihatnya. Apalagi jika seorang guru itu benar-benar spiritualnya mapan, maka pancaran gelombang mata dan sikap tangan abhaya mudra akan mampu menstranfer energi-energi gelombang untuk mewujudkan kedamaian hati bagi setiap orang yang ada di dekatnya. Dengan pancaran kedamaian dari setiap orang itu, maka kosmis pun ikut damai.

Rsi Yajna sebagaimana diuraikan di atas dapat juga dilaksanakan dengan pemberian daksina yaitu pemberian dana, uang, atau materi secara tulus iklas kepada para rsi atau guru sebagai ungkapan rasa terima kasih atas tugas sucinya dalam mendidik masyarakat. Jika para guru atau rsi tidak melaksanakan tugasnya untuk mendidik umat manusia, maka manusia akan mengalami avidya atau kebodohan. Bila kebodohan yang melanda manusia, maka tirani, kebatilan, atau adharma yang akan menguasai manusia. Bila adharma menguasai manusia maka hilanglah kemanusiaan dalam diri manusia, dan hal itu sama dengan kehancuran umat manusia. Peranan para guru atau rsi sangat menentukan karma (tidak sama dengan nasib) alam semesta. Rsi Yajna akan membentuk ikatan spiritual antara guru, masyarakat, dan Tuhan. Dengan ajaran-ajaran para rsi atau guru itu, manusia mampu menengok ke dalam dirinya bahwa apa yang ada di luar dirinya ternyata ada juga di dalam dirinya. Hal ini akan menciptakan kedewasaan spiritual, kedewasaan spiritual akan mendewasakan emosi, dan kedewasaan emosi akan memperbaiki cara berpikir yang baik. Pikiran yang baik akan memancarkan gelombang alpha, gelombang pikiran alpha akan mempengaruhi keseimbangan kosmis (Donder, 2007 : 371).

Kewajiban pandita yang paling berat justru melakukan hayu hayuning bhuana yaitu menciptakan harmonisasi alm semesta. Oleh sebab itu, seorang pandita setiap harinya harus melakukan surya sevana, sebagaimana (Donder ,2007 : 372).





Konsep Panca Sradha dalam Tattwa Jnana


BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang

 Lontar Tattwa Jnana ini merupakan teks lontar yang berbahasakan Jawa Kuno yang dimana ini dari lontar ini merupakan ajaran hindu bernuansa Siwaistis. Tattwa Jnana ini terbentuk dari dua kata yaitu dari kata Tattwa dan Jnana. Kata Tattwa ini berasal dari kata “Tat” yang berarti hakikat, kebenaran, kenyataan dan twa berarti yang bersifat . Sedangkan Jnana yang berarti pengetahuan. Jadi dari kata tersebut kita dapat ambil kesimpulan bahwa Tattwa Jnana adalah Pengetahuan yang bersifat kebenaran, kenyataan atau pengetahuan tentang kebenaran mutlak.

Kebenaran mutlak yang dimaksud dalam pembahasan kali ini yaitu kebenaran mutlak tentang lima dasar keyakinan Agama Hindu atau yang biasa disebut dengan Panca Sradha. Dalam lontar Tattwa Jnana kita dapat menemukakan dua istilah yaitu Cetana dan Acetana. Acetana ialah lupa, bingung tak memiliki kesadaran. Cetana dan Acetana itulah yang disebut Siwatattwa. Cetana adalah Siwatattwa dan Acetana adalah Mayatattwa. Sama-sama kecil dan halusnya. Ajaran Tattwa Jnana atau Siwatattwa ini dijabarkan dalam konsep Panca Sradha yaitu lima dasar keyakinan Agama Hindu yang lebih tepat dikategorikan sebagai Tattwa atau kebenaran.

Dalam hal ini, panca sradha tidak hanya dimaksud dengan konsep-konsep melainkan juga dogma-dogma ketuhanan (Brahman), jiwa (Atma), hukum karmaphala, punarbhawa dan moksa sebagai bentuk keimanan umat hindu. Sederhananya seorang disebut agama hindu bila percaya dengan adanya tuhan, adanya Atma, adanya karmaphala, adanya punarbhawa dan adanya moksa. Nah dengan adanya itu semua akan muncul pertanyaan, bagaimana sih konsep ketuhanan dalam lontar Tattwa Jnana? Bagaimana sih konsep Brahman dalam lontar Tattwa Jnana? Bagaimana konsep Atma, karmaphala, punarbhawa dan moksa dalam lontar Tattwa Jnana? Nah dari pertanyaan-pertanyaan itulah kami menyusun materi ini dengan judul “konsep panca sradha dalam lontar Tattwa Jnana”.



Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa Tattwa Jnana ini berasal dari Bahasa Sanskrta yaitu dari kata Tattwa yang artinya yang bersifat  kebenaran dan Jnana yang artinya mengetahui, ingat, ingat akan kesadaran yang tidak berubah menjadi lupa. Dari kata tersebut dapat kita simpulkan bahwa Tattwa Jnana merupakan sesuatu hal yang harus diingat dan sadar bahwa ingatan itu tidak akan berubah menjadi lupa yang bersifat benar atau kebenaran. Tattwa Jnana ini merupakan salah satu lontar yang isinya tentang hal yang bernuansa Siwaistis. Dalam Tattwa Jnana kita menemukan dua istilah yaitu Cetana dan Acetana. Acetana berarti ketidaksadaran atau ketidaktahuan. Cetana merupakan asas roh yang menjadi jiwa semesta, sifatnya murni dan selalu sadar. Sedangkan Acetana merupakan asas materi dari alam semesta yang sifatnya tidak sadar dan serba lupa. Cetana merupakan Siwatattwa yang posisinya berada di atas dan Acetana adalah Mayatattwa tempatnya di bawah. Walaupun keduanya sama-sama bebas dari suka duka namun hanya Cetana/Siwatattwa yang mampu menyusup dan menembus tattwa yang di bawahnya sedangkan Acetana tidak mampu mempengaruhi tattwa yang di atasnya. Cetana/Siwatattwa dipilah menjadi tiga, yang di dalam Tattwa Jnana menyebutkan:

“Tutur prakaśa pwa swabhawa nikang śiwatattwa, ikang sinangguh śiwatattwa, tiga prabhedanya lwirnya, paramaśiwatattwa, sadaśiwatattwa, atmikatattwa”. Artinya: Śiwatattwa mempunyai sifat-sifat sadar jernih bercahaya. Yang disebut Śiwatattwa ada tiga macamnya yaitu: Paramaśiwatattwa, Sadaśiwatattwa, Atmikatattwa. ( Sura, 1998 : 2).



 



BAB II

PEMBAHASAN





2.1   Konsep Ajaran Widhi Tattwa dalam Lontar Tattwa Jnana

     

Tattwa Jnana membahas mengenai ajaran yang dimulai dengan dua unsur universal yang ada di alam raya ini yaitu Cetana dan Acetana. Cetana adalah adalah unsur kesadaran yang disebut dengan berwujud bersih-hening, cerdas, selalu ingat, tidak pernah lupa, selalu sadar, tanpa putus dan tanpa akhir. Itu berkedudukan diatas. Sedangkan Acetana berkedudukan dibawah. Berwujud lupa, tidak pernah ingat. Bagaikan gumpalan batu dan yang sejenisnya walaupun sama kerahasiaannya, dan keutamaanya dan sama-sama luput dari suka duka tetapi karena cetana itu yang menyusup-masuk-menembus-melingkupi asas yang ada dibawah tidak dapat masuk azas yang ada di atas, maka asas yang diatas dikatakan lebih utama.



Ketika cetana dan Acetana tersebut bertemu, maka lahirlah semua yang ada ini. Tetapi jika kedua azas itu berpisah, alam semuanya pun tidak ada, bagai lenyapnya mimpi di saat bangun tidur pisah dengan kantuk. Cetana dan Acetana itulah yang disebut Siva Tattwa dan Maya Tattwa. Yang disebut Siwatattwa ada tiga macamnya, yaitu Paramaśiwatattwa, Sadaśiwatattwa, Atmikatattwa.



Paramasiwa tattwa adalah kesadaran yang ke pertama, paling luhut dan paling utama. Itualh yang sesungguhnya bersih hening dan tidak tercemar oleh sesuatu apapun. Ia langgeng karena tidak ada perubahan, tidak lahir, tua, dan mati seta tidak ada masa lalu dan masa yang akan datang. Tenang tidak ada gerak tidak kocak tidak mengalir, dan tidak berjalan, bukan sabda dan juga bukan rabaan, bukan rupa, bukan rasa, dan juga bukan bau. Ia juga bulan prihal, maka tidak dapat mendengar, merasakan, melihat mencium dan memikirka-Nya. Sungguh sempurna karena keterbatasan, karena penyakit dan umur.






Jika cetana atau tuhan Paramasiwa (nirguna brahma) itu mulai mengambil atau kena imbas dari Acetana atau maya, maka Dia mulai mempunyai sifat, aktivitas, dan fungsi. Dalam keadaan begini beliau bergelar Sadasiwa atau Saguna Brahman. Adapun pengaruh maya ini belumlah besar, hanya berupa guna atau hukum kemahakuasaan-Nya sendiri yang disebut : sakti atau prakerti sehingga sadaran asli – nya yang suci murni itu masih lebih besar dan lebih berkuasa atas guna atau unsur Maya tersebut. Oleh karena demikian Sadasiwa sering juga disebut sebagai saguna brahma yaitu Tuhan serba guna, atau Siwa Sawyaparah yaitu Parama Siwa yang telah bersenyawa dengan sakti atau hukum kemahakuasaan-Nya



Adapun kemahakuasaan dan kemahasempurnaan – Nya Hyang Sadasiwa antara lain : “Guna, Sakti, Swabhawa.

1.      Guna dari Tuhan (Sadasiwa)

Guna atau sifat mulia dari Tuhan (Sadasiwa) ada 3 yaitu :

a.       Durasrawana (berpendngaran serba jauh ), mampu mendegarkan suara yang dekat dan jauh atau suara keras maupun bisikan hati.

b.      Durasarwajna (berpengertian / berpengetahuan serba sempurna), dapat mengetahui segalanya baik yang terdekat maupun yang terjauh, maupun yang terjadi di masa lampau (atita), sekarang (wartamana) dan yang akan terjadi (nagata).

c.       Duradrsana (berpenglihatan / berpandangan serba luas), maksudnya : dapat melihat baik yang berwujud maupun semu baik yang belum ada, yang sudah ada maupun yang akan ada dari tingkat terbesar hingga terkecil.

2.      Sakti dari Tuhan (Sadasiwa)

Sadasiwa atau Saguna Brahma mempunyai empat macam kesaktian utama yang disebut dengan cadu sakti yaitu :

a.       Wibhusakti (maha ada), artinya beliau ada dalam segalnya dn dimana-mana, tetapi keadaannya tidak terpengaruh oleh apa-apa namun tetap suci murni selalu. Serta berada dimana-mana atau wyapi-wyapaka.

b.      Prabhusakti ( mahakuasa ), yakni menguasai segala-galanya, seperti rajadirajadan tidak ada yang memadi kekuasaannya. Segala sesuatunya tetap ada dibawah perintah – Nya. Dalam hal ini beliau sering digelari : Iswara, atau Maheswara. Beliau berkuasa menciptakan, memelihara dan mempralina. Atau berkuasa menjalankan proses tri kona yaitu utpeti (penciptaan), sthiti (memelihara) dan pralina (mengembalikan ke asalnya)

c.       Jnanasakti ( maha tahu ) sebagai sumber dari segal wiweka ( pertimbangan akal / pikiran dan kebujaksanaan. Jnana sakti ini ada tiga jenisnya yaitu duradarsana yang artinya melihat yang jauh dan yang dekat, durasrawana yang artinya mendengar suara yang jauh dan yang dekat dan durAtmaka yang artinya mengetahui perbuatan yang jauh dan yang dekat. Beliau juga mengetahui sesuatu pada masa lampau (atita), masa sekarang (wartamana) dan masa yang akan datang (anagata).

d.      Kriya sakti ( maha karya ) dapat mngerjakan segalanya dengan sukses dan sempurna. Kriya sakti yang mengadakan seluruh alam semesta ini, terlebih-lebih para dewata semuanya. Seperti brahma, wisnu, iswara, pancarsi, saptarsi, dewarsi, indra, yama, waruna, kubera, wesrawana, widyadhara, gandharwa, danawa, daitya, raksasa, bhutayaksa, bhutadengen, bhutakala, bhutapicasa. Selain para dewata beliau juga menciptakan semua unsur yang ada di dunia ini yang disebut dengan panca mahabuta. (Subagiasta, 2006 : 15)



3. Swabhawa dari Tuhan (Sadasiwa)

Disamping guna dan cadu sakti seperti diatas, Sadasiwa juga memiliki kewibawaan dan kemahakuasaan yang disebut “Astaiswarya” ( 8 kewibawaan/keistimewaan yang dimiliki oleh Hyang WidhI), yaitu :

a.       Anima (kecil-sekecil kecilnya)

b.      Laghima (ringan seringan-ringannya)

c.       Mahima (maha besar)

d.      Prapti (dapat mencapai segala-galanya )

e.       Prakamya ( berhasil segla hal yang dikehendaki )

f.        Isitwa ( merajai segalanya )

g.      Wasitwa ( maha kuasa )

h.      Yatrakamawasayitwa (hendak kemana, ketika sampi dn berkuasa )



Demikianlah karya Bhatara Sadasiwatattwa. Ia berkuasa atas seluruh alam ini. Ialah yang memiliki alam sakala dan niskala. Ialah Bhatara Adipramana namanya, Bhatara Jagatnatha, Bhatara Karana, Bhatara Parameswara, Bhatara Guru, Bhatara Mahulun, Bhatara Wasawasitwa. Ia menciptakan, namun ia sendiri tidak diciptakan. Ialah yang berkuasa untuk mengadakan dan meniadakan. Tidak ada yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Ialah Bhatara Gurunya guru.

Demikianlah sifat-sifat Bhatara Sadasiwatatwa.




2.2   Konsep Atma Tattwa Dalam Lontar Tattwa Jnana



Atmikatattwa adalah Bhatara  Sadaśiwattwa dengan ciri-cirinya : Utaprota. Uta ialah tak tampak tak ketahuan. Ia mengembang memenuhi mayatattwa. Prota ialah tak  dan tak dapat  dikenal lagi ia memenuhi mayatattwa.Itulah Sadaśiwattwa. Sifat Mayatattwa itu kotor (mala). Itulah yang dipandang dan dihiasi dan dilekati  oleh kotor (mala). Itulah sebabnya  seperti  hilangnya sakti Bhatara  akhirnya namun tidak demikian, karena  Sadaśiwattwa tidak dapat dikotori  hanya saja  cetananya  yang terlekati  oleh mala, dihiasi dan diselimuti  oleh mayatattwa. Akhirnya cetana itu tidak aktif, tidak lagi sarwajna, tidak lagi sarwakaryakartha, sehingga cetana itu kesadarannya amat kecil.  Maka  disebutlah  Atmikatattwa, Sanghyang Atmawisesa, Bhatara  Dharma yang memenuhi alam semesta ialah jiwanya alam semesta  jiwa semua makhluk.



Anak Mayatattwa adalah Pradhanatattwa sifatnya lupa tak ingat apapun. Bertemunya  ingat-lupa  disebut Pradhana purusa. Bertemunya pradhana dengan purusa  melahirkan Cita  dan Guna. Cita adalah wujud kasarnya  purusa. Guna adalah hasil  pradhanatattwa yang diberi  kesadaran  oleh purusa. Guna ada tiga yang disebut dengan Triguna yaitu : Sattwa, Rajah, Tamah. Triguna ini menentukan akan mendapatkan  apa Atma itu. Satwa, rajah, tamah yang melekat pada alam pikiran (cita) itulah yang menyebabkan Atma  itu menjelma berulang-ulang.  Sattwa  terang bercahaya besar pada alam pikiran itulah yang menyebabkan Atma  mencapai kelepasan (kamoksan). Satwa bertemu dengan  rajah menyebabkan Atma datang di sorga. Bila sattwa bertemu dengan rajah, tamah Atma itu menjadi manusia, karena  sattwa, rajah dan tamah tidak sejalan kehendaknya. Pertemuan Triguna dengan citta melahirkan buddhi. Buddhi  itu adalah  bentuk kasarnya triguna yang diberi kesadaran oleh citta. Dari buddhi lahirlah angakara.

            Bhatara  yang dijunjung  memberi kesadaran pada Sanghyang Atma. Sanghyang Atma  memberi kesadaran  pada citta. Citta memberi kesadaran pada ahangkara. Itulah yang disusupi oleh kriyaśakti Bhatara yang memberi kekuatan. Itulah yang disebut  hidupnya hidup. Kriyaśakti   Bhatara Pramana sebagai  hidupnya ahangkara sebagai hidupnya buddhi. Ahangkara  yang sifatnya mengaku-aku. Ada tiga jenis ahangkara  yaitu :

1.      Ahangkara si waikrta adalah buddhi sattwa

2.      Ahangkara si taijasa adalah buddhi rajah

3.      Ahangkara si bhutadi adalah buddhi tamah.



Ahangkara si waikreta menyebabkan adanya  manah dan 10 indriya yaitu  caksu (mata), srota (telinga), ghrana ( hidung ), jihwa (lidah), twak (kulit), wuk (mulut), pani (tangan), pada (kaki), upastha (kelamin laki-laki), payu (pelesan). Itulah  pancakarmendriya  dengan pancendriya yang disebut dengan Dasendrya.

Ahangkara si bhutadi ialah yang menyebabkan adanya pancatanmatra yaitu :

1.      Sabdatanmatra artinya suara yang halus,

2.      Rupatanmatra artinya  udara yang halus.

3.      Rasatanmatra artinya rasa yang halus.

4.      Gandatanmatra artinya  bau yang halus.

Dari panca tanmatra, lahirlah  Panca mahabhūtha yaitu:

1.      Akasa lahir dari sabdatanmatra

2.      Wayu lahir dari sparsatanmatra

3.      Teja lahir dari rupatanmatra

4.      Apah lahir dari rasatanmatra.

5.      Pertiwi lahir  dari  gandhatanmatra




Gandha ada tiga jenis yaitu :

1.      Surabhi  adalah bau  wanga

2.      Asurabhi adalah bau busuk

3.      Gandhasadharanah  adalah bau yang  tidak wangi dan bau yang tidak busuk. (Sura, 1998 : 16-18)

Berpadunya panca mahabhūta  dengan guna membentuk Andhabhuwana yaitu :  Saptaloka, bertempat  di puncak  yang tertinggi. Saptapatala, bertempat di bawah yang disebut dengan Bhuwana Sarira. Satya loka bertempat  paling di atas, kemudian dibawahnya, Mahaloka, Janaloka, Tapaloka, Swarloka, Bhuwarloka, Bhurloka. Bhurloka tempat berkumpulnya semua tattwa  yaitu : saptaparwa, saptanawa, saptadwipa, dasabayu, dasendriya. Disamping alam atas terdapat alam  bawah disebut  saptapatala : patala, witala, nitala, mahaloka, sutala, tala-tala, rasatala dibawah saptapatala adalah Balagadarba yaitu  mahaneraka dibawah  mahaneraka terdapat  Sang Kalagnirudra yaitu apa yang senantiasa menyala 100.000 yajna jauh menyala  berkobar-kobar.



      Ahangkara si Taijasa adalah  buddhi raja,  yaitu sifatnya beristri dua orang  yaitu membantu si waikrta dan si bhutadi. Ahangkara  itu ada tiga  sifatnya  lahir dari  buddhi menserasikan sattwa, rajah, dan tamah. Yang mensrasikan itu adalah  Sanghyang Pramana  untuk mengaku, merencanakan  perbuatan baik atau buruk.

Perbedaan Pramana dan Wisesa yaitu :

1.      Sanghyang Pramana lebih rendah dari pada Sanghyang Wisesa.

2.      Sanghyang Pramana aktif dalam perbuatan baik atau buruk.



Namun Sanghyang Wisesa tidak aktif, tidak berkata tanpa tujuan, tidak mengetahui akan baik dan buruk. Hanya tetap diam  tenang, tak bergerak, tidak terguncang, tidak berjalan, tidak mengalir.

a.       Atma itu berada di Turyapada, Jarapada, Suptapada.

b.      Atma berada di Turyapada disebut  Pramana Wisesa

c.       Atma berada di Jarapada disebut Pramana

d.      Atma berada si Suptapada disebut Wisesa.



Yang menyebabkan  Ahangkara itu  disebut  Pramana ialah sebagai  sarana untuk mengaku  untuk menentukan sehingga atam itu mengalami sengsara  atau  Atma itu menjelma berkali-kali.  Ahangkara  itu ada tiga macamnya yaitu :  tempatnya pada buddhi : ada buddhi sattwa,  buddhi rajah, buddhi  tamah. Itulah yang  mengikuti apa yang diingini oleh  Yoninya sebagai penjelmaannya. Yoni  itulah yang menyebabkan kemoksan, sorga, demikian pula penjelmaan yang  berulang-ulang.

Bertemunya  Bhutayaksa dengan dewarsi, saptarsi, pancarsi, tripurusa  terang bercahaya  buddhi itu, itulah  Atma mencapai Kamoksaan.  Adapun bhuta dengan  hanya daitya bertemu dengan daitya, wedyadhara, dewata, terang bercahaya  besar buddhi itu, itulah yang menyebabkan Atma mencapai sorga.  Bhutakala bertemu dengan raksasa, gandharwa, terang bercahaya buddhi itu, itulah  yang menyebabkan lahirnya  sebagai manusia.  Bhutapisaca bertemu dengan raksasa, terang bercahaya buddhi itu, itulah  menyebabkan Atma itu  jatuh ke Neraka. Bhutapisaca, terang  bercahaya besar buddhi itu, maka Atma  menjelma sebagai Binatang.  Tripurusa  ialah Bhatara Brahma, Wisnu, Iswara, bila ia kurang hati-hati, kurang  yoga, pancarsi  jadinya.

Apabila dengan baik dapat  memahami  Sanghyang  Tattwajnana, oleh masyarakat yaitu dari kesadarannya untuk melaksanakan Prayogasandhi, dengan  penerangan Samyagjnana, dengan berdasarkan brata,  tapa, yoga, Samadhi, itulah obat dari Atma yang sengsara. Atma bagaimanakah yang menaggung  sengsara ? tempat  Sanghyang  Atma di Turyapada, telah lebih dulu dikatakan Bhatara jungjungan disebut wyapi wyapaka. Ia berada di alam niskala kriyasaktinya  Bhatara  merasuki ahangkara. Ahangkara  merasuki wayu. Wayu  meresap pada  nadi. Nadi itu  merasuki tubuh dengan halus. Tubuh itulah  yang menanggung  pancagati (lima kesengsaraan ) itu. Ketika  Atma memberi kesadaran  pada pradhanatattwa maka pada saat itulah Sanghyang  Atma yang  terbagi dua yaitu  ada yang wyapara  dan yang tidak wyapara. Wyapara adalah ketika  Atma pada saat memberikan kesadaran pada pradhanatattwa. Tidak Wyapara adalah  Bhatara junjungan berhenti diam tidak lagi menyuruh memberi kesadaran.

Atma tetap  tinggal diam tak begerak dan tak terguncang, ialah yang disebut  Atmawisesa dan ia  pulalah yang  disebut Bhatara Dharma. Ketika Atma itu aktif memberi kesadaran di sebut dengan Pramana. Atma yang disebut  Sanghyang pramana  dan Sanghyang Atma Wisesa hanya tetap  akan di Turyapada, Begitu juga Atma yang berada di Jagrapada ia juga tunggal sifatnya hanya saja perbedaan  halus dan kasar. Atma yang berada di Jagrapada sebab cetana sifatnya. Cetana adalah wujud kasar Atma yang berada di Turyapada yang  disebut citta yang dilekati  oleh Triguna. Citta   ialah  tutur  Wyapara  kesadaran  yang kacau yang tahu baik dan buruk. Tutur adalah  ketika  tetap  diam tak bergerak.  Atma yang  berada di Jagrapada berkeadaan sama pada tutur wyapara dan tanpa  waypara. Atma yang diberi nama Ahangkara si Waikrtha, ialah  dibuat oleh bhatara untuk membuat  pancatanmatra dan pancamahabhuta. Adapun  manah (pikiran)  itu diwujudkan lagi menjadi tattwa lawölawö (kelopak bunga). Atma lawölawö adalah Atma pari wara. Atma Pariwara  adalah pancatma yaitu, Atma, paratma,  niratma, antaratma dan suksmatma. Itulah  yang disebut dengan inti wujud kasarnya Atma  ialah yang sesungguhnya  mengalami baik dan buruk  perbuatannya, tidak habis-habisnya.

               Atma disebut  Ahangkara si waikrta adalah buddhi sattwa, ialah  yang menanggung  sengsara. Atma yang dinamai  Ahangkara  si tejasa, ia adalah buddhi rajah, ialah yang menyakiti. Atma yang disebut si bhutadi  ialah buddhi  tamah, ia sebagai kesengsaraan orang yang ditempati oleh bhatara  Siwa memiliki Atma wisesa. Walaupun Atma worang Atma wisesa ia  harus melaksanakan  tapa, brata,  samadhi. Pada waktu samadhi Bhatara Siwa akan menyatakan dirinya. Pada  binatang  tidak ada Atma  wisesa itu, ia lebih  namyak digerakkan  oleh wayu, idep dan sabda. Sabda, wayu dan idep itu meresapi  seluruh  tubuh manusia yang dibei kesadaran  oleh Atma dalam kadar yang  berbeda-beda yang menyebabkan perbedaan itu ialah  Subhasubha Karma. Atma yang berada  dijagrapada dan tūriapada adalah Atma yang luput dari  subhasubha karma karena kesuciannya. Sedangkan  Atma yang berada di suptapada adalah Atma sengsara karena  terus menerus lahir menjadi dewata, manusia dan binatang. Ia selalu  diombang-ambing oleh pikiran yang berangan-angan. Adapun  turyapada dan  tūryantapada  itu sukar  dijangkau oleh pikiran  manusia  yang begitu  halusnya. Untuk menentukan sesuatu  itu dapat  dipergunakan Tri Pramana,  yaitu  Praktiyasa, Anumana dan Agama pramana. Turyantapada  hanya dapat dibayangkan dengan Agama, pramana. Atma-Atma itulah yang lahir  menjadi manusia, tinggal dalam  badan manusia meresap dalam sadrasa, yang membangun  tubuh manusia. Adapun  Sadrasa (enam rasa) itu adalah : Amla (asam), Kesaya (sepet), Tikta ( pahit ), Katuka (pedas ), Lawana (asin), Madhura (manis). Namun tubuh  itu dasarnya dibangun dari Panca Mahabhuta yaitu : tanah dijadikan kulit,  air dijadikan  darah,  teja dijadikan daging, angin dijadikan tulang, udara dijadikan sumsum. Dan pancatanmatra  yaitu : sabda tanmatra menjadi telinga. Sparsatanmatra menjadi kulit, rupatanmatra menjadi mala, rasatanmatra menjadi lidah, gandhatanmatra  menjadi hidup. Sebenarnya tubuh  itu juga merupakan  tiruan alam besar karena bagian-bagian tubuh itu bagaikan  bagian-bagian alam  besar. Demikianlah  bagian-bagian  tubuh itu  dapat dibandingkan dengan sapta bhuwana, sapta patala, sapta parwata, sapta arnawa, sapta dwipa.

1.      Sapta Buwana ialah : bhur loka adalah perut,  bhuwarloka adalah ati, swarloka adalah dada, tapaloka adalah kepala,  janarloka adalah lidah, mahaloka adalah hidung dan  satyaloka adalah mata.

2.      Sapta Patala ialah : patala adalah dubur, waitala adalah  paha, nitala adalah lutut, mahatala  adalah betis, sutala adalah pergelangan kaki,  tala-tala adalah telapak kaki, rasatala adalah telapaknya  yang dibawah.Sapta Parwata  ialah  buah pelir  adalah gunung Malyawan, pelir adalah  gunung Nisada, limpa adalah  gunung Gandhamadana, paru-paru adalah gunung  Malayamahidhara, empedu adalah gunung Trisrengga, hati adalah gunung Windhya, jantung adalah gunung Mahameru.

3.      Sapta Arnawa, ialah : air kemih  adalah  lautan tuak, darah adalah lautan gula tebu, keringat adalah lautan garam,  lemak adalah  lautan minyak,   air liur adalah lautan madu,  sumsum adalah  lautan susu, otak adalah lautan santan.

4.      Sapta  Dwipa,  ialah : tulang adalah pulau jambu, otot adala pulau kusa, daging adalah pulau sangka, kulit adalah pulau samali, bulu adalah pulau  gomedha, sendawa adalah  pulau puskara dan gigi adalah pulau  kraunca. (Sura, 1998 : 61)

Semuanya itu di hidupi oleh Sanghyang Atma yang membagi-bagi dirinya dalam menghidupi bagian-bagian tubuh itu. Akibat dari  pembagian itu, maka Atma membagi  dirinya menjadi Panca Atma yaitu :

a.       Atma  adalah idep (pikiran ) yang berada dalam  hati. Gunanya  untuk berpikir.

b.      Paratma ialah pikiran yang berada pada mata. Gunanya  untuk melihat.

c.       Antaratma ialah pikiran yang berada di ubun-ubun. Gunanya  sebagai  antara jaga dan tertidur.

d.      Suksmatma ialah  pikiran yang berada  pada telinga. Gunanya untuk mendengar.

e.       Niratma ialah pikiran yang berada dalam kulit. Gunanya untuk  merasakan  rasa panas dan dingin.



2. 3 konsep karmaphala tattwa dalam lontar tattwa jnana

               Ahangkara si Taijasa adalah  buddhi raja,  yaitu sifatnya beristri dua orang  yaitu membantu si waikrta dan si bhutadi. Ahangkara  itu ada tiga  sifatnya  lahir dari  buddhi menserasikan sattwa, rajah, dan tamah. Yang mensrasikan itu adalah  Sanghyang Pramana  untuk mengaku, merencanakan  perbuatan baik atau buruk.

Perbedaan Pramana dan Wisesa yaitu :

·         Sanghyang Pramana lebih rendah dari pada Sanghyang Wisesa.

·         Sanghyang Pramana aktif dalam perbuatan baik atau buruk.



Namun Sanghyang Wisesa tidak aktif, tidak berkata tanpa tujuan, tidak mengetahui akan baik dan buruk. Hanya tetap diam  tenang, tak bergerak, tidak terguncang, tidak berjalan, tidak mengalir.

a.       Atma itu berada di Turyapada, Jarapada, Suptapada.

b.      Atma berada di Turyapada disebut  Pramana Wisesa

c.       Atma berada di Jarapada disebut Pramana

d.      Atma berada si Suptapada disebut Wisesa.



Yang menyebabkan  Ahangkara itu  disebut  Pramana ialah sebagai  sarana untuk mengaku  untuk menentukan sehingga atma itu mengalami sengsara  atau  Atma itu menjelma berkali-kali.  Ahangkara  itu ada tiga macamnya yaitu :  tempatnya pada buddhi : ada buddhi sattwa,  buddhi rajah, buddhi  tamah. Itulah yang  mengikuti apa yang diingini oleh  Yoninya sebagai penjelmaannya. Yoni  itulah yang menyebabkan kemoksan, sorga, demikian pula penjelmaan yang  berulang-ulang.

a.       Bila ada  buddhi  sattwa sangat menekankan kepada hakekat kebijaksanaan, mengamati baik-baik sastra, melaksanakan kesamyagjanan, maka kelahirannya Sanghyang Tripurusa. Kelahiran sattwa.

b.      Bila buddhi sattwa sangat menekankan  pada hakekat  brata, tapa,  yoga samadhi, maka pancarsi kelahiran sattwa yang demikian .

c.       Bila buddhi  sattwa menekankan  pada hakekat  puja, arcana, japa, mantra dan puji-pujian terhadap  bhatara, maka saptarsi kelahiran sattwa yang demikian.

d.      Bila buddhi satwa  tidak mengindahkan  baik dan buruk, namun  kasih – sayang pada  segala makhluk ; dewarsi kelahiran  sattwa yang demikian.

e.       Apabila buddhi  sattwa sangat  menekankan pada  hakekat dharma, kirti, yasa, kebijakan maka kelahiran dewa sattwa yang  demikan.

f.        Apabila buddhi  sattwa, sangat menekankan  pada hakekat keberanian, keperwiraan, ketangkasan, tidak memperdulikan bahaya, sangat rela ikhlas pada jiwanya, sombong hendak membunuh mengalahkan dirinya sendiri dengan kasih sayangnya, bhaktinya, tak bingung dalam  berperilaku, hanya  tenang pikirannya, pikirannya semata-mata  jernih,  bila akan melaksanakan  ketetapan  hatinya, keberaniannya, widhyadhara  kelahiran sattwa yang demikian.

g.      Apabila buddhi  sattwa, sangat menekankan pada hakekat  keindahan, ia senang mendengarkan  bunyi-bunyian yang menyebabkan  senangnya telinga, cinta pada tari-tarian, kidung, cinta  bercengkrama,  setiap yang  indah menawan  didatanginya, ia senang memandang bunga yang  harum. Gandharwa  kelahiran sattwa yang demikian. Adapun  yang dijadikan dasar oleh para  arif bijaksana  untuk mencapai  kemoksan oleh  para rsi, dewarsi, saptarsi,  terutama oleh sanghyang Tripurusa ialah, buddhi  sattwa yang  kenista, madhyama, uttama     

                     

Budhi Rajah

a.       Ada buddhi rajah, diberi kata-kata yang tak layak, menjadi marahlah ia, maka tak mampu  menahan, tidak keluar dalam penampilannya, karena sesungguhnya ada orang lain. Maka itu ia diam saja menahan  dirinya. Karena sesak hatinya maka mengalir  keluar dalam wujud  tangis. Jika demikian kelahirannya  Denawa rajah yang demikian.

b.      Ada buddhi rajah, diberi kata yang tak baik menjadi  marah,  tetapi ia tidak tinggal diam, seketika ia  menjauh dan berkata, katanya : “paling hebatlah padaku, ia  kira aku orang penakut, hanya karena enggan untuk  bertengkar karena aku sayang akan kebaikanku.  Itulah  kelahiran Daitya rajah yang demikian.

c.       Ada buddhi rajah diberi kata-kata yang tidak baik, menjadi marah gemetar  badannya, seketika ia  menyerang, lancang. Kata-katanya :  lancang tangan, lancang kaki, menjerit, meraung, berkata seenaknya saja, Raksasa kelahiran  rajah yang demikian.  Dewa kris pencabut nyawa  adalah Raksasa. Daitya menjadi dewanya  keris yang menjadi senjata seorang petani. Danawa adalah dewanya keris yang menjadi senjata seorang pendeta.



Buddhi Tamah

Tidak resah pada apa yang dimakan, ia merasa kenyang dengan secabik sayur, sekepal nasi, seteguk air, seteguk tuak, puaslah hatinya. Itulah kelahiran Bhutayaksa tamah yang demikian. Bhutayaksa  tempat tinggalnya di desa sebagai dewanya logam, tinggal pada lingga pratima, arca pujaan.

·         Bila ada buddhi tamah, memilih apa yang di makan, bukan  emas yang diinginkannya yaitu  yang paling  tidak ditolaknya, apa saja yang   gemerlapan tidak diingininya. Tidak masuk dihatinya, namun bila ia  menemukan makanan, sejuklah hatinya. Kelahiran  Bhuta dengen tamah yang demikian. Bhuta dengen tempat tinggalnya  di wanglu, sebagai dewanya kayu  banaspati (beringin).

·         Bila buddhi tamah, sama saja apa yang dimakan, tidak memilih  apa yang diingininya, semua  daging yang dipandang orang haram dimakannya saja, asalkan membuat kenyang, katanya, kelahiran bhutakala tamah yang demikian. Bhutakala tamah  tempat tinggal  di kuburan, perbatasan  pemakaman, simpang empat.

·         Bila  ada buddhi tamah, mau saja ia makan  yang tidak enak yang  menyebabkan ia  kemudian gelisah resah, ke barat ke timur, tidak mengenal  letih, kemudian sadarlah ia  tertipu  barang  orang, yang menyebabkan ia menjadi manggul dan lesu  namun masih tergila-gila. Dipasang juga telinganya, bila  mendengar ada makanan kelahiran  Bhutapisaca tamah yang demikian. Bhutapisaca tamah  tempat tinggalnya di angkasa, berjalan-jalan, tidak bergerak (sasabawuh).



Bertemunya  Bhutayaksa dengan dewarsi, saptarsi, pancarsi, tripurusa  terang bercahaya  buddhi itu, itulah  Atma mencapai Kamoksaan.  Adapun bhuta dengan  hanya daitya bertemu dengan daitya, wedyadhara, dewata, terang bercahaya  besar buddhi itu, itulah yang menyebabkan Atma mencapai sorga.  Bhutakala bertemu dengan raksasa, gandharwa, terang bercahaya buddhi itu, itulah  yang menyebabkan lahirnya  sebagai manusia.  Bhutapisaca bertemu dengan raksasa, terang bercahaya buddhi itu, itulah  menyebabkan Atma itu  jatuh ke Neraka. Bhutapisaca, terang  bercahaya besar buddhi itu, maka Atma  menjelma sebagai Binatang.  Tripurusa  ialah Bhatara Brahma, Wisnu, Iswara, bila ia kurang hati-hati, kurang  yoga, pancarsi  jadinya.

·         Pancarsi   kurang yoga Saptrsi jadinya

·         Saptarsi   kurang yoga Dewarsi jadinya

·         Dewarsi kurang yoga Dewata jadinya

·         Dewata   kurang yoga Widyadhara jadinya

·         Widyadhara   kurang yoga Gandharwa jadinya

·         Gandharwa   kurang yoga Danawa jadinya

·         Danawa kurang yoga Daitya jadinya

·         Daitya kurang yoga Raksasa jadinya

·         Raksasa kurang  yoga  Bhutadengan jadinya

·         Bhutadengan kurang yoga bhutakala jadinya

·         Bhutaka kurang yoga Bhutapisacajadinya

·         Bhutapisaca kurang yoga Manusia jadinya

·         Manusia kurang yoga  menjadi binatang

Binatang ada lima :

a.       Pasu (binatang) yang lahir di desa.

b.      Mrga ialah binatang yang lahir di hutan

c.       Paksi ialah  segala  yang terbang

d.      Mina ialah yang  lahir di air

e.       Pipilika ialah nama binatang yang berjalan-jalan  dengan dadanya. (Sura, 1998 :  30)





2.4 Konsep Punarbhawa dalam Lontar Tattwa Jnana

Sengsara benar sanghyang atma, terus tenggelam hilang tak dapat kembali ke jati dirinya. Bagaikan tanpa pikiran Sanghyang Atma. Sama seperti halnya biji jawawut satu butir, yang dipotong-potong menjadi beribu-ribu ditenggelamkan disamudra. Amatlah sulitnya akan menemukan hakekat juwawut itu. Demikian pula Sanghyang Atma, apabila telah menjadi binatang liar. Masih lebih baik menjadi binatang ternak, sabab itu bisa sebagai sarana untuk membuat baik.

Ada yang menjadi semut, tetek, lintah, wedit, warayang, hiris poh, segala mahluk yang dibenci oleh manusia, lebih-lebih bila ia hendak bergerak dan pula binatang itu ada yang ditakuti, ada yang dibenci. Apa yang menyebabkan demikian? Perbuatan yang tidak baik, kanistha madhyama uttama yang berlalu itu dalam berbuat. Manakah perbuatan jelek yang paling kecil? Orang yang terhindar dari kemarahan, namun keras, lancing. Demikianlah orang lalu menikmati perbuatannya yang buruk lalu jatuh ke neraka. Setelah lepas dari sana, ia itu baru diberi menjelma menjadi manusia oleh Yamabala. Tidak sama rupanya dengan orang sadhu. Ia itulah manusia cacat namanya. Ia memiliki cacat, segala macam cacat, sebagai hasil perbuatan buruknya yang paling kecil.



Inilah orang yang perbuatan buruknya sedang lantaran keadaannya menyedihkan, tidak ada yang dimakannya dan yang dipakainya. Hal itulah yang menyebabkan ia berbuat jahat, menjadi maling, berbuat curang pada milik orang sadhu yang menyebabkan bisa makan. Matilah ia itu, perbuatannya yang demikian itu, mendorongnya untuk menuju neraka. Setelah lepas dari neraka, diberinyalah ia menjelma menjadi binatang liar oleh Sang Yamabala. Adapun binatang itu  isa dimakan, bisa dimakan sebagai sarana meaksanakan yajna tawur. Diberi pahala demikian pada akhirnya.


Inilah perbuatan buruk yang terbesar, yang disebabkan oleh keakuannya oleh lobanya, oleh kebingungannya, oleh ketamakannya, maupun oleh iri hatinya. Tak tersucikan, betul-betul kotor penjelmaannya, porapuri olehnya berbuat jahat. Menyerang orang tidak berdosa, merampas dagangan orang yang tidak berdosa, membuat pikiran orang susah, makan makanan teman. Orang yang demikian itu sifatnya, tentu dibenci, ditakuti oleh sesama manusia. Setiap yang didatanginya dimanapun ia berada akan dikesampingkan orang, dan orang merasa terganggu. Ketika mati orang yang demikian itu perbuatannya tak jauh akan menuju neraka. Setela terlapas dari sana lalu diberinya ia menjelma menjadi binatang liar oleh Sang Yamabala. Nah demikianlah jadinya segala jenis binatang yang dibenci, didengki, ditakuti oleh manusia. Itulah merupakan penjelmaannya. Demikian pahala perbuatan buruk yang besar. Sangat besar kesalahannya tanpa bentuk yang benar kelahirannya Sanghyang Atma. Apalagi akan mengetahui asal-usul penjelmaannya. Jika seandainya ada tindakan yang akan dilakukannya bisa akan menanyakannya tentang keterangan kebodohannya pada sang pandita. Apakah yang menyebabkan adanya panca triyak itu? Segala prilaku manusia yang berbuat buruk padanya. Itulah sebabnya perbuatannya berlawanan dengan manusia, perbuatan binatang itu.



Punarbhawa atau kelahiran kembali secara berulang-ulang dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya sangat sulit dibuktikan secara rasional. Hal itu merupakan suatu kejadian di luar batas kemampuan berpikir manusia. Karena itu Punarbha hanya dapat diterima melalui suatu keyakinan sesuai dengan ajaran agama hindu. Punarbhawa itu terjadi karena adanya Atman dengan berbagai karmanya pada setiap makhluk. Atman itu tetap hidup ketika tubuh manusia meninggal. Tubuh manusia yang meninggal kembali keasalnya yaitu panca maha bhuta, sedangkan Atman kembali kepada Brahman. Atman yang kembali ke sumbernya itulah yang menyebabkan terjadinya Punarbhawa. Selama manusia tidak dapat membebaskan diri dari keterikatan duniawi, maka selama itu pula Atmanya akan terkena selubung Maya. yang mengakibatkan tidak dapat mencapai kelepasan dank arena itu akan terus lahir kembali. (Suhardana. 2011:21)



2.5 Konsep Moksa Tattwa dalam Lontar Tattwa Jnana



Bersatunya Atma dengan Brahman akan tercapai keadaan Sa Cit Ananda yaitu kebahagiaan yang abadi, hal itulah yang dinamakan dengan Moksa. Moksa merupakan salah satu bagian dari panca sradha yang merupakan pokok keimanan dalam agama Hindu. Dalam agama Hindu istilah moksa disamakan artinya dengan Mukti atau kelepasan.



Moksa artinya bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari karma phala. Moksa bukan saja diperoleh secara kematian, namun juga bisa diperoleh ketika masih hidup dengan catatan mampu melepaskan ikatan-ikatan duniawi. Hal ini disebut Jiwan mukti, seperti para maha rsi maupun prabhu janaka. Para maha rsi telah mengaktifkan dirinya kepada masyarakat luas dan kedamaian dunia tanpa pamrih. Orang-orang suci berbakti kepada Tuhan dengan menjalankan dharma dalam arti seluas-luasnya. (Suraba, 2013: 53) Usaha-usaha untuk menuju Moksa itu adalah dimulai dari sifat ajaran agama, seperti berprilaku yang baik, berdana beryajna dan bertirta yatra. Semua usaha-usaha ini dapat dilakukan secara bertahap yang didasari oleh niat yang baik, sehingga pada akhirnya seseorang dapat melepaskan dirinya dari keterikatan yang mengarah kepada Adharma. Adapun tingakan Moksa dibedakan menjadi empat jenis yaitu Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini, sarupya adalah suatu kebebasa yang didapat seseorang di dunia ini  karena kelahirannya, salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh atman, dimana Atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan dan Sayujya adalah suatu tingkatan kebebasan yang tertinggi dimana Atman telah dapat bersatu dengan Brahman.



Adapun jalan yang dapat ditempuh untuk menuju Moksa dapat dilakukan dalam bentuk Bhakti, Yadnya dan Tirta Yatra serta Samadhi. Semua usaha ini akan berhasil bila ada anugerah Tuhan. Ada beberapa jalan yang ditunjuk oleh sastra agama salah satunya yaitu dengan Catur Marga Yoga. Catur marga yoga ini terdiri dari empat bagian yaitu Bhakti Marga Yoga yang dimana jalan ini merupakan jalan yang amat mudah, maka itu banyak dipergunakan oleh umat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun pengertian dari Bhakti Marga Yoga itu adalah jalan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk bhakti kepada-Nya. Karma Marga Yoga adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mencapai kebahagiaan yang tertinggi yang didasarkan pada kerja yang tidak terikat akan hasilnya, senantiasa berbuat kebajikan. Yang selanjutnya yaitu Jnana Marga Yoga yaitu cara untuk mencapai kebahagiaan dengan menggunakan penngetahuan yang benar, dengan berusaha menyatukan dirinya yang sejatio dengan Brahman melalui jalan pengetahuan kerohanian yang dinamakan jnanin. Dan yang terakhir yaitu Raja Marga Yoga adalah jalan untuk menyatukan Atman dengan Brahman melalui tapa, brata yoga dan Samadhi. Yang dimana  ini juga disebutkan dalam lontar Tattwa Jnana yang menyebutkan bahwa “Dengan Bhumibrata, tapa, yoga dan Samadhi sebagai penuntun samyagjnana, dengan perantara prayogasandhi maka dia yang demikian itulah yang dapat mewujudkan keutamaan ketuhanan” . (Sura, 1998 : 73) Keutamaan ketuhanan yang dimaksud di sini adalah dapat menyatukan Sang Hyang Atma dengan Sang Hyang Brahman.



Namun ketika dalam proses penyatuan tersebut tanpa peranan dari pengetahuan yang tinggi atau tanpa menggunakan pengetahuan maka dalam proses Samadhi, yoga, tapa dan brata akan terasa berat, maka orang yang demikian itu adalah orang yang bingung, tidak tahu kemana sasaran jiwanya, karena tidak tahu Tattwa Jnana, tanpa tuntunan dari pengetahuan itu sendiri. Tentu saja meluncur dengan bebas, salah sasaran Samadhi sang yogiswara bila demikian. Buahnya brata saja yang menuntun, minta dinikmati, lurus menuju sorga sanghyang atma bila begitu. Bila buah bratanya habis dinikmati oleh sanghyang atma di sorga, maka sanghyang atma itupun akan turun ke dunia lagi/bereinkarnasi lagi menjelma menjadi manusi kembali.








BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan



Dari materi yang telah dijelaskan tersebut kita dapat simpulkan bahwa dalam lontar Tattwa Jnana ternyata terdapat konsep ajaran dari Panca Sradha yaitu lima dasar keyakinan agama Hindu. Mulai dari konsep Widi Tattwa, Atma Tattwa, Karma Phala Tattwa, Punarbhawa Tattwa dan Moksa Tattwa. Nah mulai dari Konsep Widi Tattwa yang dijelaskan dalam lontar ini yaitu keagungan Tuhan, kebesaran Tuhan yang tak bersifat tanpa bentuk, tak mengalir, tak ada asal, dan bagaimana kemahakuasaan-Nya yang disebut dengan Cadhu Sakti yang terdiri dari Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Yang selanjutnya yaitu konsep ajaran Atma Tattwa yang merupakan percikan terkecil dari Tuhan yang merupakan jiwa alam semesta, jiwanya semua makhluk yang diliputi oleh Mayatattwa/cetana yang kemudian membentuk Tri Guna. Kemudian konsep Karma Phala Tattwa dalam lontar ini yaitu sifat Tri Guna ini: Sattwam, Rajas dan Tamas tidak mengalami keserasian maka akan membuat makhluk hidup dapat menerima karma baik maupun karma buruk sesuai dengan perbuatan. Ketika karma baik dan buruk ini imbang akan menyebabkan Punarbhawa atau menyebabkan atma menjelma berkali-kali sesuai dengan Karma Phalanya. Yang terakhir yaitu konsep moksa dalam lontar ini adalah bagaimana seseorang itu mampu mencapai tujuan tertinggi atau membebaskan atma dari kelahiran kembali dengan memahami dengan baik Sanghyang Tattwajnana yaitu dri kesadarannya untuk melaksanakan prayogasandh, dengan penerangan samyagjnana, dengan berdasarkan brata, tapa, yoga Samadhi.



3.2   Saran

Dengan terbentuk makalah ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat maupun kalangan pelejar tentang konsep Panca Sradha dalam lontar Tattwa Jnana. Penulis menyadari dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu mohon saran dan kritiknya agar dalam penyusunan makalah yang selanjutnya bisa lebih baik lagi. Dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis, mohon untuk memberikan wawasan dan pengetahuannya sehingga makalah yang nantinya akan disusun oleh penulis akan lebih baik.



DAFTAR   PUSTAKA





Subagiasta, I Ketut. 2006. TATTWA HINDU. Surabaya: PĀRAMITA.

Suhardana, Drs. K.M. 2011. PUNARBHAWA Reinkarnasi, Samsara atau Penitisa. Surabaya: PĀRAMITA.

Sura, I Gede dkk. 1998. TATTWA JNĀNA. Surabaya: PĀRAMITA.

Suraba, I wayan. 2013. Cara Praktis Untuk Memahami Agama HINDU melalui Kumpulan Dharmawacana. Surabaya: PĀRAMITA