Senin, 20 April 2020

AJARAN KETUHANAN DALAM LONTAR SUNDARIGAMA


AJARAN KETUHANAN DALAM LONTAR SUNDARIGAMA

Oleh

Deni Hariyanto

Ni Luh Ayu Anugrah Wati

Mahasiswa Teologi Hindu, STAHN MPU KUTURAN SINGARAJA














  1. PENDAHULUAN



Sebagai umat yang beragama, sudah sepantasnya tahu akan ajaran agamanya. Ajaran ketuhanan yang ada dalam agama hindu banyak sekali sumbernya, salah satunya adalah dalam lontar Sundarigama. Akan tetapi, sumber utamanya terdapat dalam kitab weda itu sendiri.

Sundarigama adalah lontar yang bersfiat filosofis-religius karena mendsekripsikan norma, gagasan, perilaku dan tindakan keagamaan, serta jenis-jenis sesajen persembahan atau yadnya yang patut dibuat pada saat merayakan hari-hari suci umat hindu di Bali, mengajarkan kepada umatnya untuk berpegang kepada hari-hari suci berdasarkan wewaran dan sasih. Ciri khas lontar ini adalah bagaimana umat manusia khususnya hindu menerapkan ajaran ketuhanan dengan beryadnya sebagai rasa syukur dan terima kasih. Dalam hal ini tuhan hindu dalam konsep hindu disimbolkan dengan berbagai wujud atau bentuk yang bertujuan agar memudahkan umat memfokuskan diri pada saat pemujaan berlangsung.


1. Pengertian Sundarigama :
Mencari pengertian kata sundarigama dalam Kamus tidaklah mudah, meskipun kata termaksud sudah dipisah menjadi dua bagian yakni sundari dan gama. Dalam Bahasa Jawa Kuno kata sundari diartikan sebagai sejenis serangga bersuara nyaring di pepohonan, sementara dalam bahasa Sanskerta diartikan sebagai wanita cantik dan kata gama diartikan sebagai perjalanan atau jalan.  
Selanjutnya dalam Kamus Bahasa Bali Indonesia kata sundarigama itu diartikan sebagai nama rontal tentang hari raya Bali, sedangkan kata sundari tidak diberikan arti, namun kita diminta melihat kata sunari yang berarti buluh perindu, sementara kata sunar yang boleh jadi dipandang sebagai asal. Kata sunari diartikan sebagai sinar.
Dalam “Kamus Bahasa Bali ” oleh Sri Reshi Anandakusuma dijelaskan bahwa kata “sundarigama” berarti “kitab agama” dan kata “sundar” yang boleh jadi dianggap sebagai asal kata “sundarigama” diartikan sebagai “terang,” sedangkan kata “gama” diartikan sebagai “pegangan.” Dari Kamus ini kita dapat menyatakan bahwa kata “sundarigama” itu ada kaitannya dengan kitab agama, sebagai pegangan agar umat Hindu menjadi terang dengan ajaran agamanya.
Kemudian dalam “Kamus Kawi Indonesia” oleh Y.B. Suparlan, kata “sundari” diartikan sebagai “pemandangan, ayam hutan atau mata air,” sedangkan kata “gama” diartikan sama dengan “agama.” Dalam “Kamus Pepak Basa Jawa” karya Drs. Slamet Mulyono, kata “sundari” diartikan sebagai “perempuan yang cantik,” sementara kata “gama” diartikan sama dengan “agama,” sedangkan kata “sunar” yang tidak ada kaitannya dengan kata “sundari” diartikan sebagai “sinar.” Dari kedua Kamus ini pengertian kata “sundarigama” dapat dirumuskan sebagai “sinar agama.”
Dengan menghubungkan semua pengertian kata-kata menurut berbagai Kamus termaksud diatas, dimana kata “sundari” diberi arti sama dengan “sunari” yang boleh jadi ditafsirkan berasal dari kata “sunar” dan berarti “sinar,” sedangkan kata “gama” berani “agama,” maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa kata “sundarigama” itu mempunyai arti yang sama dengan “sunar agama” atau “sinar agama.” Sundarigama karena itu dapat diartikan sebagai sarana untuk memberikan penerangan, penyuluhan atau tuntunan tentang agama kepada masyarakat.
Sementara itu I Made Suandra dalam bukunya berjudul “Cundarigama " menyatakan bahwa kata “sundarigama” berasal dari kata “sunar” dan “agama.” “Sunar agama” diartikan sebagai “suluh agama” yang berarti tuntunan pelaksanaan upacara agama. Dalam buku lain berjudul “Alih Aksara, Alih Bahasa dan Kajian Lontar Sundarigama” oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali dijelaskan bahwa naskah Lontar Sundarigama versi Geria Gede Banjarangkan, Klungkung menguraikan bahwa istilah “sundarigama” itu berasal dari kata “sundar” dan “ri.” “Sundar” berarti “suluh,” sedangkan “ri” berarti “siddhi” atau kesempurnaan, kemampuan luar biasa atau kekuatan supernatural, sedangkan pengertian kata “gama” tidak disinggung. Jadi “sundarigama” disini diartikan sebagai suluh atau tuntunan untuk tercapainya kekuatan, kemampuan atau kesempurnaan hidup.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Sundarigama dapat disamakan dengan suluh agama yang berarti tuntunan pelaksanaan upacara agama. Lontar Sundarigama dengan demikian dapat dinyatakan sebagai lontar yang berisi petunjuk atau tuntunan tentang pelaksanaan upacara agama.

2. Tuntunan Upacara Agama Hindu
Dari pengertian sebagaimana diuraikan diatas jelas bahwa Lontar Sundarigama adalah suluh agama atau sunar agama yang merupakan petunjuk atau tuntunan dalam melaksanakan upacara Agama Hindu. Upacara termaksud dilaksanakan pada hari-hari tertentu, dengan berpegang kepada hari-hari suci berdasarkan Wuku, Wewaran dan Sasih seperti Galungan, Kuningan, Purnama, Tilem, Kajeng Keliwon, hari-hari Keliwon, Sasih Kapat, Kesanga, Kedasa, Tumpek dan lain-lain. Lontar Sundarigama mengatur tata cara upacara suci dan dibenarkan dalam melaksanakan ajaran agama sebagaimana disabdakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan patut dilakukan oleh masyarakat.
Tujuannya adalah agar negara dan Pemerintah menjadi aman dan tenteram, sementara rakyatnya menjadi sejahtera. Lontar Sundarigama juga merupakan tuntunan pelaksanaan penyucian diri sebagai sarana bagi manusia untuk menyelamatkan dirinya, sehingga umat manusia dapat menikmati kebahagiaan dan ketenteraman yang kekal di muka bumi ini. Pada gilirannya menjadi sucilah dunia ini karena Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah memberikan kedamaian. Itulah sebabnya umat manusia sepatutnya menyatakan cinta kasih kepada sesamanya sebagaimana juga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan kasihnya kepada umat manusia.  
Lontar Sundarigama juga menjelaskan berbagai hal tentang upacara (termasuk banten yang diperlukan) pada waktu Purnama dan Tilem Sasih Kapat, Sasih dan Tilem Kesanga, melasti dan menyucikan Pratima dan lain-lain. Disamping itu juga upacara dalam berbagai macam Pawukon seperti Wuku Sinta yang meliputi Soma Ribek, Sabuh Mas dan Pagerwesi. Juga Tumpek Landep, Wuku Ukir, Kulantir, Wariga, Sungsang, Dungulan, Kuningan, dan lain-lain. Kemudian juga upacara pada hari-hari Pancawara, Saptawara, bahkan juga ketika terjadi Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari.

1. Sebagai Tata Cara Upacara Agama
Naskah Sundarigama oleh penulisnya dinyatakan sebagai tata cara pelaksanaan upacara agama, yang merupakan sabda suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada para Pendeta yang menjadi penasehat Raja. Karena itu Sundarigama harus dipandang sebagai tradisi suci yang patut diwariskan secara turun temurun dan patut disampaikan kepada setiap pejabat yang berwenang. Disamping itu harus juga dilaksanakan oleh segenap anggota masyarakat, sehingga negara dan bangsa akan menjadi tenteram dan kehidupan rakyat pun akan menjadi sejahtera.

2. Sebagai Sabda Tuhan
Sundarigama itu dinyatakan pula sebagai ajaran yang amat rahasia tetapi mulia. Doa dan tata cara pelaksanaan upacaranya dinyatakan sebagai telah diterima oleh para Dewa dan direstui oleh tiga Dewa pengusa alam semesta yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Iswara, dipuji oleh para Resi Sorgawi dan diberkati oleh Dewa Siwa sebagai pemegang Kebenaran Tertinggi.
Dijelaskan pula, beginilah sabda Tuhan kepada para Pendeta itu. Wahai para Pendeta Istana, baik penganut aliran Siwa maupun Budha, dengarkanlah ajaran suciku yang disebut Sundarigama ini, karena ia merupakan tata cara pelaksanaan upacara kesucian, sebagai pedoman bagi masyarakat dalam memuja Dewa serta menyucikan diri lahir batin.
Pada suatu hari yang baik atau hari suci, Dewa Penguasa Alam dinyatakan turun ke bumi. Pahalanya bagi orang yang memegang teguh ajaran suci adalah kesejahteraan masyarakat sebagai akibat dari kejernihan batin para Pendeta.
Kemudian pada suatu hari yang baik bagi Dewa menyucikan diri, dengan diiringi oleh para Dewata, Gandarwa Gandarwi, Bidadara Bidadari, Resi Sorgawi beserta para roh leluhur, maka setelah selesai diberikan persembahan dalam suatu upacara, beliau pulang kembali ke Sorga. Pada hari yang baik itulah beliau membersihkan diri, melakukan yoga, dyana dan samadhi dan mendoakan agar dunia ini sejahtera. Beliau juga memberikan anugrah kepada semua makhluk.
Itulah sebabnya, maka semua makhluk terutama manusia di dunia ini wajib memuja Dewa dengan sarana persembahan yang sepantasnya. Tata caranya ditetapkan berdasarkan hari-hari baik seperti berikut :
Berdasarkan Purnama dan Tilem, berdasarkan Pawukon dan berdasarkan Wewaran.

  1. Berdasarkan Purnama dan Tilem :
Purnama merupakan hari dimana bulan terlihat sepenuhnya yang ditandai dengan sinarnya yang paling cemerlang, sedangkan Tilem adalah hari dimana bulan tidak terlihat sama sekali dan karena itu dinamakan bulan mati. Itulah sebabnya maka Purnama diidentikkan dengan kecerahan, sedangkan Tilem disamakan dengan kegelapan. Purnama dan Tilem datang silih berganti dengan jarak diantara keduanya adalah 15 hari. Ini berarti bahwa baik Purnama maupun Tilem masing-masing datang setiap 30 hari.
Bagi umat Hindu, Purnama dan Tilem itu dinyatakan sebagai hari suci. Hari-hari suci dimaksud selalu dikaitkan dengan Sasih sebagaimana ditentukan dalam Lontar Sundarigama dibawah ini:
Pada Purnama Kapat yaitu Purnama yang jatuh pada Sasih Kapat, dinyatakan Bhatara Parameswara atau Sang Hyang Purusangkara (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) beryoga bersama Bhatari, para Dewata, Bidadara Bidadari dan Resi Sorgawi. Ketika itu para Pendeta wajib melakukan pemujaan tertinggi, juga menyampaikan persembahan kepada Dewa Ratih dan sesajen kepada leluhur di Sanggah dan Pura-Pura atau tempat suci lainnya sesuai kemampuan. Kepada Hyang Kawitan disampaikan sora suci, sedang kepada Sang Hyang Ratih berupa penek kuning, prayascita luwih, pangresikan dan daging dalarn penek itu adalah ayam, putih siyungan. Juga kepada Bhutakala patut disampaikan persembahan berupa Segehan Agung.
Pada waktu Tilem (bulan mati) tanpa memandang Sasihnya, umat wajib membuang segala bentuk dosa, noda dan kotoran dalam dirinya dengan mempersembahkan wangi-wangian di sanggah, pura-pura dan diatas tempat tidur. Pemujaan sebaiknya dilakukan waktu tengah malam dengan melakukan yoga, sehingga segala dosa dan noda dalam diri menjadi lenyap.
  1. Berdasarkan Pawukon :
Pawukon berasal dari kata Wuku yang menurut Yayasan Satya Hindu Dhanna/ Kunci Warida Dewasa berarti Buku atau Kerat, yang berumur 7 hari mulai dari Minggu sampai Sabtu. Dengan kata lain satu Wuku sama dengan 7 hari.
Adapun jumlah Wuku seluruhnya ada 30 terdiri dari Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbereg, Wariga, Warigadean, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menail, Perangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Kelahu, Dukut dan Watugunung.

  1.  Berdasarkan Wewaran :
Wewaran berasal dari kata wara yang berarti hari. Wewaran itu ada 10 macam, yaitu Ekawara, Dwiwara, Triwara, Caturwara, Pancawara, Sadwara, Saptawara, Astawara, Sangawara dan Dasawara yang masing-masing terdiri dari satu, dua, tiga sampai sepuluh macam hari. Yang banyak disinggung dalam Lontar Sundarigama adalah pertemuan antara Saptawara (Redite, Soma, Anggara, Buda, Wrespati, Sukra dan Saniscara), Pancawara (Umanis, Pahing, Pon, Wage dan Keliwon). Disamping itu ada juga pertemuan antara Triwara (Pasah, Beteng dan Kajeng) dengan Pancawara.
Wisesa. Pada hari itu Sang Hyang Antawisesa turun ke dunia memberikan anugrah. Pada malam harinya umat hendaknya tidak bekerja. Heningkanlah pikiran agar jernih untuk dapat membangkitkan kesadaran kepada Sang Hyang Dharma serta kemuliaan semua ajaran suci.
Patut diketahui oleh para Pendeta, baik aliran Siwa maupun Buddha bahwa ajaran suci sundarigama ini adalah suatu petunjuk tentang pelaksanaan penyucian atau Widhi Widhana yang dapat digunakan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi agar dapat tercapai keselamatan, kesempurnaan dan kesejahteraan serta kebahagian di dunia.
Pada suatu hari suci, Ida Sang Hyang Widhi Wasa diikuti oleh para Dewata, Gandawara, Gandawari, Widyadara, Widyadari, semua Pitara yang telah suci, semuanya melakukan yoga Samadhi untuk keselamatan dunia. Itulah sebabnya, umat manusia yang ada di dunia ini wajib memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para Dewa sambil menyampaikan persembahan yang layak.


Dalam ajaran ketuhanan atau Teologi hindu tidak semata-mata mendasarkan diri pada rasionalitas, tetapi pada tripramana yaitu tiga cara pandang atau tiga cara pembuktian terhadap suatu kebenaran termasuk kebenaran teologis. Ketiga cara pembuktian tersebut yakni dengan agama pramana sumber religius, anumana pramana sumber logika rasional, dan praktiasa pramana sumber kemampuan operasional-empirik atau pembuktian langsung dengan pengamatan dan pengalaman langsung (lab). Jadi Teologi Hindu bukan sebuah konsep yang berada di awan-awan, tetapi suatu konsep yang menyangkut keseluruhan sekala (materi) dan niskala (imateri). (Donder, 2006 : 5)

 Tuhan dalam agama hindu memiliki 3 aspek:
  1. Sat, sebagai maha ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau dengan kekuatan-Nya Beliau telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Hal ini juga dijelaskan dalam  sloka Bhagavad Gita X.8 yang menyebutkan:
ahaṁ sarvasya prabhavo mattaḥ sarvaṁ pravartate,
iti mattvā bhajante māṁ budhā bhāva-samanvitāḥ

artinya:
aku adalah asal mula dari semuanya; Dariku keseluruhan (dari penciptaan ini) berasal. Memahami hal ini, yang memiliki pengetahuan sejati menyembah dan menekuni bhakti sepenuh hati kepada-Ku.
  1. Cit, sebagai maha tahu
Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan ilmu pengetahuan agama, tetapi segala sumber pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju yang sempurna.
  1. Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka. Maya yang diciptakan Tuhan menimbulkan ilusi, namun tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kegiatan Tuhan. Pada hakikatnya semua kegembiraan, kesukaran dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh materi bersumber pula pada ananda ini bedanya hanya dalam tingkatan.


Iti Ҫundarigama, ngaran maka dhrstaning pakrtigama, ling ira Sanghyang Suksma Licin ring sawateking Purohita kabeh, maka drestaning praja mandhala wenang linaksanan dening wwang saprajamandhala kabeh, lamakane dhresta praja Ҫri Aji, tekeng jagathitania, apania prakrti iki, suksma, utama dahat.

Artinya :
Ya Tuhan, semoga tidak terhalang dan dengan sembahku  ini semoga berhasil. Inilah Ҫundarigama namanya, yang merupakan tata cara yang dibenarkan dalam melaksanakan ajaran agama, dari sabda Sang Hyang Suksma Licin (Sang Hyang Widhi nan niskala dan Maha Suci), kepada para Rsi semuanya, sebagai pelaksana tata cara upacara keagamaan di wilayah suatu Negara, dan yang patut dilaksanakan oleh masyarakat sewilayah bersangkutan semuanya, dengan tujuan agar tentramlah Negara dan pemerintahan, demikian pula sejahteralah rakyatnya, sebab tata cara yang demikian itu, adalah suci dan sangatlah utama.


Tinarima pujagamania, de prawatek Dewata kabeh, wyoga den ira Sang Hyang Tiga Wisesa, Brahma, Wisnu, Iҫwara pinuja de prawatek maka Resing langit, inastu denira Sanghyang Ҫiwadharma, ndyata kalingania, nahan ta ling Bhatara.

Artinya :
Para Dewata semuanya berkenan, menerima puja persembahan suci itu, Maha kasihlah Sang Hyang Tiga Wasesa, yaitu Brahma, Wisnu dan Iswara, karena telah dipuja oleh para Maha Resing Langit. Lalu Sang Hyang Siwa Budha berkenan merestui, betapa sabda-Nya adalah demikian.

Um, Ranak si Purohita makabehan, Ҫiwa, Sogata, remgen pawarahkwe kita anakku, an ling ing Aji Ҫundarigama, pakrtin tikang pawitran, pangisining Wariga Gemet, pacatuning rat bhawana, watu Wayang ning ngastuti, Sanghyang bunten ing wwang mahayu raga carira, dadi hawan ing krta nugrahan ira Sanghyang Maha Wisesa, tumurun ring Bhuana, lwih tinemunia, rahayu hanrus ring Tri Bhuwana, palaning han dadi wwang, mapageh ikang sundih aji, mening mahening kajagathitan ta purohita kabeh, byuh bala, byuh sisya, kadyang apa lwir nia, nihan.

Artinya :
Wahai anakku para Purohita semuanya, Siwa dan Budha, dengarkanlah nasehatku ini umtukmu anakku, baha dalam ajaran agama dalam Ҫundarigama yang merupakan tutunan pelaksanaan pensucian isi dari Wariga Gemet, sebagai kehidupan dunia, wujud dalam memuja Sang Hyang Widhi dan menjadi perantara bagi manusia untuk menyelamatkan dirinya, yang menjadi jalan/ tuntunan dalam memohon panjat-Nya Hyang Widhi Yang Maha Kuasa (Ҫundarigama ini) diturunkan di dunia dan diberikan kepada manusia, agar manusia dapat menikmati kebahagiaan kekal di atas dunia. Makmurlah Negara, karena menikmati keutamaan, yaitu keselamatan yang terus-menerus di alam tiga ini (bhur, bwah dan swah). Itulah keutamaan yang amat mulia, bagi manusia dan itulah yang menyebabkan langgengnya kesucian bagi Negara dan rajanya. Mening, yaitu murninya kebahagiaan para purohita semuanya dan makmurlah rakyatnya, bergairah pula para pelajar-pelajarnya betapakah misalnya, adalah sebagai berikut :

Atta risada kala wayuttama, sasucen ira Sang Hyang, inuring deprawetek Dewata kabeh, Gandrawa-gandrawi, Apsara-apsari, Resigana tumuta Dewa Pitara kang wus inangaskara, mantuk ring swarga loka, nguniweh pitara kang kari ya hamukti ring ptitralaya, ika kabeh hanayutrena, dewasan ira hareresik hayoga semadi, ngastiti jagat, pramodataya, nguni nurun maring bhuana akasa. Nglayang ikang praja mandala, asung sukreta ring manusa kabeh, tekeng sarwa tumitah, samangkana yan inawwang umilu ring stutin ira Hyang, saha Widhiwidana, haturakna ring Bhatara nahan ta kramania.

Artinya :
Pada saat hari yang baik yang disebut saucen Hyang, yang diikuti oleh para Dewata semuanya, para Gandrawa-gandrawi, Widyadara-widyadari, Resilangit dan diikuti oleh para Hyang Pitara yang telah disucikan, sehingga dapat mencapai alam sorga, demikian pula para pitara yang masih dalam alam pitra loka kesemuanya itu ikut serta memanfaatkan waktu bersucian , beryoga semadhi untuk keselamatan dunia, karenanya bersenanglah beliau, bersemayam di dunia dan angkasa. Maka menjadi sucilah dunia ini, seakan-akan melimpahkan kententraman, baik terhadap manusia semuanya maupun terhadap segala makhluk hidup yang ditakdirkan di dunia. Demikianlah maka manusiapun patutlah ikut serta melaksanakan cinta kasih seperti yang dilimpahkan oleh Hyang Widhi, berbakti dengan upacara yang disuguhkan kepada para Bhatara, demikianlah tata caranya.








Daftar Pustaka



Suhardana, K.M. 2010. SUNDARIGAMA Sumber Sastra Rerahinan Hindu Seperti Galungan, Kuningan, Purnama, Tilem dan lain-lain. Paramita : Surabaya.



Suandra, I Made. 1996. Ҫundarigama. Denpasar : Upada Sastra.



Subagiasta, I Ketut. 2006. Teologi, Filsafat Etika dan Ritual Dalam Susastra Hindu. Surabaya : Paramita.



Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya : Teologi Kasih Semesta & Kritik Terhadap Epistemologi Teologi, Klaim Kebenaran, Program Misi, Komparasi Teologi dan Konversi. Surabaya : Paramita.



Mantik, Agus S. 2007. Bhagawad Gita. Surabaya : Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar