AJARAN
KETUHANAN DALAM LONTAR SUNDARIGAMA
Oleh
Deni Hariyanto
Ni Luh Ayu Anugrah Wati
Mahasiswa Teologi Hindu, STAHN MPU KUTURAN SINGARAJA
- PENDAHULUAN
Sebagai
umat yang beragama, sudah sepantasnya tahu akan ajaran agamanya. Ajaran
ketuhanan yang ada dalam agama hindu banyak sekali sumbernya, salah satunya
adalah dalam lontar Sundarigama. Akan tetapi, sumber utamanya terdapat dalam
kitab weda itu sendiri.
Sundarigama
adalah lontar yang bersfiat filosofis-religius karena mendsekripsikan norma,
gagasan, perilaku dan tindakan keagamaan, serta jenis-jenis sesajen persembahan
atau yadnya yang patut dibuat pada saat merayakan hari-hari suci umat hindu di
Bali, mengajarkan kepada umatnya untuk berpegang kepada hari-hari suci
berdasarkan wewaran dan sasih. Ciri khas lontar ini adalah bagaimana umat
manusia khususnya hindu menerapkan ajaran ketuhanan dengan beryadnya sebagai
rasa syukur dan terima kasih. Dalam hal ini tuhan hindu dalam konsep hindu
disimbolkan dengan berbagai wujud atau bentuk yang bertujuan agar memudahkan
umat memfokuskan diri pada saat pemujaan berlangsung.
1. Pengertian Sundarigama :
Mencari pengertian kata sundarigama dalam Kamus tidaklah mudah, meskipun kata termaksud
sudah dipisah menjadi dua bagian yakni sundari
dan gama. Dalam Bahasa Jawa Kuno kata
sundari diartikan sebagai sejenis
serangga bersuara nyaring di pepohonan, sementara dalam bahasa Sanskerta diartikan
sebagai wanita cantik dan kata gama diartikan
sebagai perjalanan atau jalan.
Selanjutnya dalam Kamus Bahasa Bali Indonesia kata sundarigama itu diartikan sebagai nama rontal
tentang hari raya Bali, sedangkan kata sundari
tidak diberikan arti, namun kita diminta melihat kata sunari yang berarti buluh perindu, sementara kata sunar yang boleh jadi dipandang sebagai
asal. Kata sunari diartikan sebagai
sinar.
Dalam “Kamus Bahasa Bali ” oleh Sri Reshi Anandakusuma
dijelaskan bahwa kata “sundarigama” berarti “kitab agama” dan kata “sundar”
yang boleh jadi dianggap sebagai asal kata “sundarigama” diartikan sebagai
“terang,” sedangkan kata “gama” diartikan sebagai “pegangan.” Dari Kamus ini
kita dapat menyatakan bahwa kata “sundarigama” itu ada kaitannya dengan kitab
agama, sebagai pegangan agar umat Hindu menjadi terang dengan ajaran agamanya.
Kemudian dalam “Kamus Kawi Indonesia” oleh Y.B.
Suparlan, kata “sundari” diartikan sebagai “pemandangan, ayam hutan atau mata
air,” sedangkan kata “gama” diartikan sama dengan “agama.” Dalam “Kamus Pepak
Basa Jawa” karya Drs. Slamet Mulyono, kata “sundari” diartikan sebagai
“perempuan yang cantik,” sementara kata “gama” diartikan sama dengan “agama,”
sedangkan kata “sunar” yang tidak ada kaitannya dengan kata “sundari” diartikan
sebagai “sinar.” Dari kedua Kamus ini pengertian kata “sundarigama” dapat dirumuskan
sebagai “sinar agama.”
Dengan menghubungkan semua pengertian kata-kata
menurut berbagai Kamus termaksud diatas, dimana kata “sundari” diberi arti sama
dengan “sunari” yang boleh jadi ditafsirkan berasal dari kata “sunar” dan
berarti “sinar,” sedangkan kata “gama” berani “agama,” maka dapatlah diambil
kesimpulan bahwa kata “sundarigama” itu mempunyai arti yang sama dengan “sunar
agama” atau “sinar agama.” Sundarigama karena itu dapat diartikan sebagai sarana
untuk memberikan penerangan, penyuluhan atau tuntunan tentang agama kepada
masyarakat.
Sementara itu I Made Suandra dalam bukunya berjudul
“Cundarigama " menyatakan bahwa kata “sundarigama” berasal dari kata
“sunar” dan “agama.” “Sunar agama” diartikan sebagai “suluh agama” yang berarti
tuntunan pelaksanaan upacara agama. Dalam buku lain berjudul “Alih Aksara, Alih
Bahasa dan Kajian Lontar Sundarigama” oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali
dijelaskan bahwa naskah Lontar Sundarigama versi Geria Gede Banjarangkan,
Klungkung menguraikan bahwa istilah “sundarigama” itu berasal dari kata
“sundar” dan “ri.” “Sundar” berarti “suluh,” sedangkan “ri” berarti “siddhi”
atau kesempurnaan, kemampuan luar biasa atau kekuatan supernatural, sedangkan
pengertian kata “gama” tidak disinggung. Jadi “sundarigama” disini diartikan
sebagai suluh atau tuntunan untuk tercapainya kekuatan, kemampuan atau
kesempurnaan hidup.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Sundarigama
dapat disamakan dengan suluh agama yang berarti tuntunan pelaksanaan upacara
agama. Lontar Sundarigama dengan demikian dapat dinyatakan sebagai lontar yang
berisi petunjuk atau tuntunan tentang pelaksanaan upacara agama.
2. Tuntunan Upacara Agama Hindu
Dari pengertian sebagaimana diuraikan diatas jelas
bahwa Lontar Sundarigama adalah suluh agama atau sunar agama yang merupakan
petunjuk atau tuntunan dalam melaksanakan upacara Agama Hindu. Upacara
termaksud dilaksanakan pada hari-hari tertentu, dengan berpegang kepada
hari-hari suci berdasarkan Wuku, Wewaran dan Sasih seperti Galungan, Kuningan,
Purnama, Tilem, Kajeng Keliwon, hari-hari Keliwon, Sasih Kapat, Kesanga,
Kedasa, Tumpek dan lain-lain. Lontar Sundarigama mengatur tata cara upacara
suci dan dibenarkan dalam melaksanakan ajaran agama sebagaimana disabdakan oleh
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan patut dilakukan oleh masyarakat.
Tujuannya adalah agar negara dan Pemerintah menjadi
aman dan tenteram, sementara rakyatnya menjadi sejahtera. Lontar Sundarigama
juga merupakan tuntunan pelaksanaan penyucian diri sebagai sarana bagi manusia
untuk menyelamatkan dirinya, sehingga umat manusia dapat menikmati kebahagiaan
dan ketenteraman yang kekal di muka bumi ini. Pada gilirannya menjadi sucilah
dunia ini karena Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah memberikan kedamaian. Itulah
sebabnya umat manusia sepatutnya menyatakan cinta kasih kepada sesamanya
sebagaimana juga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan kasihnya kepada umat
manusia.
Lontar Sundarigama juga menjelaskan berbagai hal
tentang upacara (termasuk banten yang diperlukan) pada waktu Purnama dan Tilem
Sasih Kapat, Sasih dan Tilem Kesanga, melasti dan menyucikan Pratima dan
lain-lain. Disamping itu juga upacara dalam berbagai macam Pawukon seperti Wuku
Sinta yang meliputi Soma Ribek, Sabuh Mas dan Pagerwesi. Juga Tumpek Landep,
Wuku Ukir, Kulantir, Wariga, Sungsang, Dungulan, Kuningan, dan lain-lain.
Kemudian juga upacara pada hari-hari Pancawara, Saptawara, bahkan juga ketika
terjadi Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari.
1. Sebagai Tata Cara Upacara Agama
Naskah Sundarigama oleh penulisnya dinyatakan sebagai tata
cara pelaksanaan upacara agama, yang merupakan sabda suci Ida Sang Hyang Widhi
Wasa kepada para Pendeta yang menjadi penasehat Raja. Karena itu Sundarigama
harus dipandang sebagai tradisi suci yang patut diwariskan secara turun temurun
dan patut disampaikan kepada setiap pejabat yang berwenang. Disamping itu harus
juga dilaksanakan oleh segenap anggota masyarakat, sehingga negara dan bangsa
akan menjadi tenteram dan kehidupan rakyat pun akan menjadi sejahtera.
2. Sebagai Sabda Tuhan
Sundarigama itu dinyatakan pula sebagai ajaran yang
amat rahasia tetapi mulia. Doa dan tata cara pelaksanaan upacaranya dinyatakan
sebagai telah diterima oleh para Dewa dan direstui oleh tiga Dewa pengusa alam
semesta yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Iswara, dipuji oleh para Resi
Sorgawi dan diberkati oleh Dewa Siwa sebagai pemegang Kebenaran Tertinggi.
Dijelaskan pula, beginilah sabda Tuhan kepada para
Pendeta itu. Wahai para Pendeta Istana, baik penganut aliran Siwa maupun Budha,
dengarkanlah ajaran suciku yang disebut Sundarigama ini, karena ia merupakan tata
cara pelaksanaan upacara kesucian, sebagai pedoman bagi masyarakat dalam memuja
Dewa serta menyucikan diri lahir batin.
Pada suatu hari yang baik atau hari suci, Dewa
Penguasa Alam dinyatakan turun ke bumi. Pahalanya bagi orang yang memegang
teguh ajaran suci adalah kesejahteraan masyarakat sebagai akibat dari
kejernihan batin para Pendeta.
Kemudian pada suatu hari yang baik bagi Dewa
menyucikan diri, dengan diiringi oleh para Dewata, Gandarwa Gandarwi, Bidadara
Bidadari, Resi Sorgawi beserta para roh leluhur, maka setelah selesai diberikan
persembahan dalam suatu upacara, beliau pulang kembali ke Sorga. Pada hari yang
baik itulah beliau membersihkan diri, melakukan yoga, dyana dan samadhi dan
mendoakan agar dunia ini sejahtera. Beliau juga memberikan anugrah kepada semua
makhluk.
Itulah sebabnya, maka semua makhluk terutama manusia
di dunia ini wajib memuja Dewa dengan sarana persembahan yang sepantasnya. Tata
caranya ditetapkan berdasarkan hari-hari baik seperti berikut :
Berdasarkan Purnama dan Tilem, berdasarkan Pawukon dan
berdasarkan Wewaran.
- Berdasarkan Purnama dan Tilem :
Purnama merupakan hari dimana bulan terlihat
sepenuhnya yang ditandai dengan sinarnya yang paling cemerlang, sedangkan Tilem
adalah hari dimana bulan tidak terlihat sama sekali dan karena itu dinamakan
bulan mati. Itulah sebabnya maka Purnama diidentikkan dengan kecerahan,
sedangkan Tilem disamakan dengan kegelapan. Purnama dan Tilem datang silih
berganti dengan jarak diantara keduanya adalah 15 hari. Ini berarti bahwa baik
Purnama maupun Tilem masing-masing datang setiap 30 hari.
Bagi umat Hindu, Purnama dan Tilem itu dinyatakan
sebagai hari suci. Hari-hari suci dimaksud selalu dikaitkan dengan Sasih
sebagaimana ditentukan dalam Lontar Sundarigama dibawah ini:
Pada Purnama Kapat yaitu Purnama yang jatuh pada Sasih
Kapat, dinyatakan Bhatara Parameswara atau Sang Hyang Purusangkara (Ida Sang
Hyang Widhi Wasa) beryoga bersama Bhatari, para Dewata, Bidadara Bidadari dan
Resi Sorgawi. Ketika itu para Pendeta wajib melakukan pemujaan tertinggi, juga
menyampaikan persembahan kepada Dewa Ratih dan sesajen kepada leluhur di
Sanggah dan Pura-Pura atau tempat suci lainnya sesuai kemampuan. Kepada Hyang
Kawitan disampaikan sora suci, sedang kepada Sang Hyang Ratih berupa penek
kuning, prayascita luwih, pangresikan dan daging dalarn penek itu adalah ayam,
putih siyungan. Juga kepada Bhutakala patut disampaikan persembahan berupa
Segehan Agung.
Pada waktu Tilem (bulan mati) tanpa memandang
Sasihnya, umat wajib membuang segala bentuk dosa, noda dan kotoran dalam
dirinya dengan mempersembahkan wangi-wangian di sanggah, pura-pura dan diatas
tempat tidur. Pemujaan sebaiknya dilakukan waktu tengah malam dengan melakukan
yoga, sehingga segala dosa dan noda dalam diri menjadi lenyap.
- Berdasarkan Pawukon :
Pawukon berasal dari kata Wuku yang menurut Yayasan
Satya Hindu Dhanna/ Kunci Warida Dewasa berarti Buku atau Kerat, yang berumur 7
hari mulai dari Minggu sampai Sabtu. Dengan kata lain satu Wuku sama dengan 7
hari.
Adapun jumlah Wuku seluruhnya ada 30 terdiri dari
Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbereg, Wariga, Warigadean, Julungwangi,
Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut,
Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menail, Perangbakat, Bala, Ugu,
Wayang, Kelahu, Dukut dan Watugunung.
- Berdasarkan Wewaran :
Wewaran berasal dari kata wara yang berarti hari. Wewaran itu ada 10 macam, yaitu Ekawara,
Dwiwara, Triwara, Caturwara, Pancawara, Sadwara, Saptawara, Astawara, Sangawara
dan Dasawara yang masing-masing terdiri dari satu, dua, tiga sampai sepuluh
macam hari. Yang banyak disinggung dalam Lontar Sundarigama adalah pertemuan
antara Saptawara (Redite, Soma, Anggara, Buda, Wrespati, Sukra dan Saniscara),
Pancawara (Umanis, Pahing, Pon, Wage dan Keliwon). Disamping itu ada juga
pertemuan antara Triwara (Pasah, Beteng dan Kajeng) dengan Pancawara.
Wisesa. Pada hari itu Sang Hyang Antawisesa turun ke
dunia memberikan anugrah. Pada malam harinya umat hendaknya tidak bekerja.
Heningkanlah pikiran agar jernih untuk dapat membangkitkan kesadaran kepada
Sang Hyang Dharma serta kemuliaan semua ajaran suci.
Patut diketahui oleh para Pendeta, baik aliran Siwa
maupun Buddha bahwa ajaran suci sundarigama ini adalah suatu petunjuk tentang
pelaksanaan penyucian atau Widhi Widhana yang dapat digunakan untuk memuja Ida
Sang Hyang Widhi agar dapat tercapai keselamatan, kesempurnaan dan
kesejahteraan serta kebahagian di dunia.
Pada
suatu hari suci, Ida Sang Hyang Widhi Wasa diikuti oleh para Dewata, Gandawara,
Gandawari, Widyadara, Widyadari, semua Pitara yang telah suci, semuanya
melakukan yoga Samadhi untuk keselamatan dunia. Itulah sebabnya, umat manusia
yang ada di dunia ini wajib memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para Dewa
sambil menyampaikan persembahan yang layak.
Dalam ajaran
ketuhanan atau Teologi hindu tidak semata-mata mendasarkan diri pada
rasionalitas, tetapi pada tripramana yaitu tiga cara pandang atau tiga cara
pembuktian terhadap suatu kebenaran termasuk kebenaran teologis. Ketiga cara
pembuktian tersebut yakni dengan agama pramana sumber religius, anumana pramana
sumber logika rasional, dan praktiasa pramana sumber kemampuan
operasional-empirik atau pembuktian langsung dengan pengamatan dan pengalaman
langsung (lab). Jadi Teologi Hindu bukan sebuah konsep yang berada di
awan-awan, tetapi suatu konsep yang menyangkut keseluruhan sekala (materi) dan
niskala (imateri). (Donder, 2006 : 5)
Tuhan dalam agama hindu memiliki 3 aspek:
- Sat, sebagai maha ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau dengan kekuatan-Nya Beliau telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Hal ini juga dijelaskan dalam sloka Bhagavad Gita X.8 yang menyebutkan:
ahaṁ sarvasya prabhavo mattaḥ sarvaṁ pravartate,
iti mattvā bhajante māṁ budhā bhāva-samanvitāḥ
artinya:
aku adalah asal
mula dari semuanya; Dariku keseluruhan (dari penciptaan ini) berasal. Memahami
hal ini, yang memiliki pengetahuan sejati menyembah dan menekuni bhakti sepenuh
hati kepada-Ku.
- Cit, sebagai maha tahu
Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan ilmu
pengetahuan agama, tetapi segala sumber pengetahuan. Dengan pengetahuan maka
dunia ini menjadi berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana
bergerak menuju yang sempurna.
- Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka. Maya yang diciptakan Tuhan menimbulkan ilusi, namun tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kegiatan Tuhan. Pada hakikatnya semua kegembiraan, kesukaran dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh materi bersumber pula pada ananda ini bedanya hanya dalam tingkatan.
Iti Ҫundarigama,
ngaran maka dhrstaning pakrtigama, ling ira Sanghyang Suksma Licin ring
sawateking Purohita kabeh, maka drestaning praja mandhala wenang linaksanan
dening wwang saprajamandhala kabeh, lamakane dhresta praja Ҫri Aji, tekeng
jagathitania, apania prakrti iki, suksma, utama dahat.
Artinya :
Ya Tuhan, semoga
tidak terhalang dan dengan sembahku ini
semoga berhasil. Inilah Ҫundarigama namanya, yang merupakan tata cara yang
dibenarkan dalam melaksanakan ajaran agama, dari sabda Sang Hyang Suksma Licin
(Sang Hyang Widhi nan niskala dan Maha Suci), kepada para Rsi semuanya, sebagai
pelaksana tata cara upacara keagamaan di wilayah suatu Negara, dan yang patut
dilaksanakan oleh masyarakat sewilayah bersangkutan semuanya, dengan tujuan
agar tentramlah Negara dan pemerintahan, demikian pula sejahteralah rakyatnya,
sebab tata cara yang demikian itu, adalah suci dan sangatlah utama.
Tinarima
pujagamania, de prawatek Dewata kabeh, wyoga den ira Sang Hyang Tiga Wisesa,
Brahma, Wisnu, Iҫwara pinuja de prawatek maka Resing langit, inastu denira
Sanghyang Ҫiwadharma, ndyata kalingania, nahan ta ling Bhatara.
Artinya :
Para Dewata
semuanya berkenan, menerima puja persembahan suci itu, Maha kasihlah Sang Hyang
Tiga Wasesa, yaitu Brahma, Wisnu dan Iswara, karena telah dipuja oleh para Maha
Resing Langit. Lalu Sang Hyang Siwa Budha berkenan merestui, betapa sabda-Nya
adalah demikian.
Um, Ranak si
Purohita makabehan, Ҫiwa, Sogata, remgen pawarahkwe kita anakku, an ling ing Aji
Ҫundarigama, pakrtin tikang pawitran, pangisining Wariga Gemet, pacatuning rat
bhawana, watu Wayang ning ngastuti, Sanghyang bunten ing wwang mahayu raga
carira, dadi hawan ing krta nugrahan ira Sanghyang Maha Wisesa, tumurun ring
Bhuana, lwih tinemunia, rahayu hanrus ring Tri Bhuwana, palaning han dadi
wwang, mapageh ikang sundih aji, mening mahening kajagathitan ta purohita
kabeh, byuh bala, byuh sisya, kadyang apa lwir nia, nihan.
Artinya :
Wahai anakku para
Purohita semuanya, Siwa dan Budha, dengarkanlah nasehatku ini umtukmu anakku,
baha dalam ajaran agama dalam Ҫundarigama yang merupakan tutunan pelaksanaan
pensucian isi dari Wariga Gemet, sebagai kehidupan dunia, wujud dalam memuja
Sang Hyang Widhi dan menjadi perantara bagi manusia untuk menyelamatkan
dirinya, yang menjadi jalan/ tuntunan dalam memohon panjat-Nya Hyang Widhi Yang
Maha Kuasa (Ҫundarigama ini) diturunkan di dunia dan diberikan kepada manusia,
agar manusia dapat menikmati kebahagiaan kekal di atas dunia. Makmurlah Negara,
karena menikmati keutamaan, yaitu keselamatan yang terus-menerus di alam tiga
ini (bhur, bwah dan swah). Itulah keutamaan yang amat mulia, bagi manusia dan
itulah yang menyebabkan langgengnya kesucian bagi Negara dan rajanya. Mening,
yaitu murninya kebahagiaan para purohita semuanya dan makmurlah rakyatnya,
bergairah pula para pelajar-pelajarnya betapakah misalnya, adalah sebagai
berikut :
Atta risada kala
wayuttama, sasucen ira Sang Hyang, inuring deprawetek Dewata kabeh, Gandrawa-gandrawi,
Apsara-apsari, Resigana tumuta Dewa Pitara kang wus inangaskara, mantuk ring
swarga loka, nguniweh pitara kang kari ya hamukti ring ptitralaya, ika kabeh
hanayutrena, dewasan ira hareresik hayoga semadi, ngastiti jagat, pramodataya,
nguni nurun maring bhuana akasa. Nglayang ikang praja mandala, asung sukreta
ring manusa kabeh, tekeng sarwa tumitah, samangkana yan inawwang umilu ring
stutin ira Hyang, saha Widhiwidana, haturakna ring Bhatara nahan ta kramania.
Artinya :
Pada saat hari
yang baik yang disebut saucen Hyang, yang diikuti oleh para Dewata semuanya,
para Gandrawa-gandrawi, Widyadara-widyadari, Resilangit dan diikuti oleh para
Hyang Pitara yang telah disucikan, sehingga dapat mencapai alam sorga, demikian
pula para pitara yang masih dalam alam pitra loka kesemuanya itu ikut serta
memanfaatkan waktu bersucian , beryoga semadhi untuk keselamatan dunia,
karenanya bersenanglah beliau, bersemayam di dunia dan angkasa. Maka menjadi
sucilah dunia ini, seakan-akan melimpahkan kententraman, baik terhadap manusia
semuanya maupun terhadap segala makhluk hidup yang ditakdirkan di dunia.
Demikianlah maka manusiapun patutlah ikut serta melaksanakan cinta kasih
seperti yang dilimpahkan oleh Hyang Widhi, berbakti dengan upacara yang
disuguhkan kepada para Bhatara, demikianlah tata caranya.
Daftar Pustaka
Suhardana, K.M.
2010. SUNDARIGAMA Sumber Sastra Rerahinan Hindu Seperti
Galungan, Kuningan, Purnama, Tilem dan lain-lain. Paramita : Surabaya.
Suandra, I Made.
1996. Ҫundarigama. Denpasar : Upada
Sastra.
Subagiasta, I
Ketut. 2006. Teologi, Filsafat Etika dan
Ritual Dalam Susastra Hindu. Surabaya : Paramita.
Donder, I Ketut.
2006. Brahmavidya : Teologi Kasih Semesta
& Kritik Terhadap Epistemologi Teologi, Klaim Kebenaran, Program Misi,
Komparasi Teologi dan Konversi. Surabaya : Paramita.
Mantik, Agus S.
2007. Bhagawad Gita. Surabaya :
Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar