BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lontar Tattwa Jnana ini merupakan teks lontar
yang berbahasakan Jawa Kuno yang dimana ini dari lontar ini merupakan ajaran
hindu bernuansa Siwaistis. Tattwa Jnana ini terbentuk dari dua kata yaitu dari
kata Tattwa dan Jnana. Kata Tattwa ini berasal dari kata “Tat” yang berarti
hakikat, kebenaran, kenyataan dan twa berarti yang bersifat . Sedangkan Jnana
yang berarti pengetahuan. Jadi dari kata tersebut kita dapat ambil kesimpulan
bahwa Tattwa Jnana adalah Pengetahuan yang bersifat kebenaran, kenyataan atau
pengetahuan tentang kebenaran mutlak.
Kebenaran mutlak yang dimaksud dalam
pembahasan kali ini yaitu kebenaran mutlak tentang lima dasar keyakinan Agama
Hindu atau yang biasa disebut dengan Panca Sradha. Dalam lontar Tattwa Jnana
kita dapat menemukakan dua istilah yaitu Cetana dan Acetana. Acetana ialah
lupa, bingung tak memiliki kesadaran. Cetana dan Acetana itulah yang disebut
Siwatattwa. Cetana adalah Siwatattwa dan Acetana adalah Mayatattwa. Sama-sama
kecil dan halusnya. Ajaran Tattwa Jnana atau Siwatattwa ini dijabarkan dalam
konsep Panca Sradha yaitu lima dasar keyakinan Agama Hindu yang lebih tepat
dikategorikan sebagai Tattwa atau kebenaran.
Dalam hal ini, panca sradha tidak hanya
dimaksud dengan konsep-konsep melainkan juga dogma-dogma ketuhanan (Brahman),
jiwa (Atma), hukum karmaphala, punarbhawa dan moksa sebagai bentuk keimanan
umat hindu. Sederhananya seorang disebut agama hindu bila percaya dengan adanya
tuhan, adanya Atma, adanya karmaphala, adanya punarbhawa dan adanya moksa. Nah
dengan adanya itu semua akan muncul pertanyaan, bagaimana sih konsep ketuhanan
dalam lontar Tattwa Jnana? Bagaimana sih konsep Brahman dalam lontar Tattwa
Jnana? Bagaimana konsep Atma, karmaphala, punarbhawa dan moksa dalam lontar
Tattwa Jnana? Nah dari pertanyaan-pertanyaan itulah kami menyusun materi ini
dengan judul “konsep panca sradha dalam lontar Tattwa Jnana”.
Seperti yang telah dijelaskan diawal
bahwa Tattwa Jnana ini berasal dari Bahasa Sanskrta yaitu dari kata Tattwa yang
artinya yang bersifat kebenaran dan
Jnana yang artinya mengetahui, ingat, ingat akan kesadaran yang tidak berubah
menjadi lupa. Dari kata tersebut dapat kita simpulkan bahwa Tattwa Jnana
merupakan sesuatu hal yang harus diingat dan sadar bahwa ingatan itu tidak akan
berubah menjadi lupa yang bersifat benar atau kebenaran. Tattwa Jnana ini
merupakan salah satu lontar yang isinya tentang hal yang bernuansa Siwaistis.
Dalam Tattwa Jnana kita menemukan dua istilah yaitu Cetana dan Acetana. Acetana
berarti ketidaksadaran atau ketidaktahuan. Cetana merupakan asas roh yang
menjadi jiwa semesta, sifatnya murni dan selalu sadar. Sedangkan Acetana merupakan
asas materi dari alam semesta yang sifatnya tidak sadar dan serba lupa. Cetana
merupakan Siwatattwa yang posisinya berada di atas dan Acetana adalah
Mayatattwa tempatnya di bawah. Walaupun keduanya sama-sama bebas dari suka duka
namun hanya Cetana/Siwatattwa yang mampu menyusup dan menembus tattwa yang di
bawahnya sedangkan Acetana tidak mampu mempengaruhi tattwa yang di atasnya.
Cetana/Siwatattwa dipilah menjadi tiga, yang di dalam Tattwa Jnana menyebutkan:
“Tutur prakaśa pwa swabhawa nikang śiwatattwa, ikang
sinangguh śiwatattwa, tiga prabhedanya lwirnya, paramaśiwatattwa, sadaśiwatattwa,
atmikatattwa”. Artinya: Śiwatattwa
mempunyai sifat-sifat sadar jernih bercahaya. Yang disebut Śiwatattwa ada tiga
macamnya yaitu: Paramaśiwatattwa, Sadaśiwatattwa, Atmikatattwa. ( Sura, 1998 :
2).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Ajaran
Widhi Tattwa dalam Lontar Tattwa Jnana
Tattwa Jnana membahas mengenai ajaran yang dimulai dengan
dua unsur universal yang ada di alam raya ini yaitu Cetana dan Acetana. Cetana
adalah adalah unsur kesadaran yang disebut dengan berwujud bersih-hening,
cerdas, selalu ingat, tidak pernah lupa, selalu sadar, tanpa putus dan tanpa
akhir. Itu berkedudukan
diatas. Sedangkan Acetana berkedudukan dibawah. Berwujud lupa, tidak pernah
ingat. Bagaikan gumpalan batu dan yang sejenisnya walaupun sama kerahasiaannya,
dan keutamaanya dan sama-sama luput dari suka duka tetapi karena cetana itu
yang menyusup-masuk-menembus-melingkupi asas yang ada dibawah tidak dapat masuk
azas yang ada di atas, maka asas yang diatas dikatakan lebih utama.
Ketika cetana dan Acetana tersebut bertemu, maka lahirlah
semua yang ada ini. Tetapi jika kedua azas itu berpisah, alam semuanya pun
tidak ada, bagai lenyapnya mimpi di saat bangun tidur pisah dengan kantuk.
Cetana dan Acetana itulah yang disebut Siva Tattwa dan Maya Tattwa. Yang
disebut Siwatattwa ada tiga macamnya, yaitu Paramaśiwatattwa, Sadaśiwatattwa, Atmikatattwa.
Paramasiwa tattwa adalah kesadaran yang ke pertama,
paling luhut dan paling utama. Itualh yang sesungguhnya bersih hening dan tidak
tercemar oleh sesuatu apapun. Ia langgeng karena tidak ada perubahan, tidak
lahir, tua, dan mati seta tidak ada masa lalu dan masa yang akan datang. Tenang
tidak ada gerak tidak kocak tidak mengalir, dan tidak berjalan, bukan sabda dan
juga bukan rabaan, bukan rupa, bukan rasa, dan juga bukan bau. Ia juga bulan
prihal, maka tidak dapat mendengar, merasakan, melihat mencium dan
memikirka-Nya. Sungguh sempurna karena keterbatasan, karena penyakit dan umur.
Jika cetana atau tuhan Paramasiwa
(nirguna brahma) itu mulai mengambil atau kena imbas dari Acetana atau maya,
maka Dia mulai mempunyai sifat, aktivitas, dan fungsi. Dalam keadaan begini
beliau bergelar Sadasiwa atau Saguna Brahman. Adapun pengaruh maya ini belumlah
besar, hanya berupa guna atau hukum kemahakuasaan-Nya sendiri yang disebut :
sakti atau prakerti sehingga sadaran asli – nya yang suci murni itu masih lebih
besar dan lebih berkuasa atas guna atau unsur Maya tersebut. Oleh karena
demikian Sadasiwa sering juga disebut sebagai saguna brahma yaitu Tuhan serba
guna, atau Siwa Sawyaparah yaitu Parama Siwa yang telah bersenyawa dengan sakti
atau hukum kemahakuasaan-Nya
Adapun kemahakuasaan dan kemahasempurnaan – Nya Hyang Sadasiwa
antara lain : “Guna, Sakti, Swabhawa.
1. Guna
dari Tuhan (Sadasiwa)
Guna atau sifat mulia dari Tuhan (Sadasiwa) ada 3 yaitu :
a. Durasrawana
(berpendngaran serba jauh ), mampu mendegarkan suara yang dekat dan jauh atau
suara keras maupun bisikan hati.
b. Durasarwajna (berpengertian
/ berpengetahuan serba sempurna), dapat mengetahui segalanya baik yang terdekat
maupun yang terjauh, maupun yang terjadi di masa lampau (atita), sekarang
(wartamana) dan yang akan terjadi (nagata).
c. Duradrsana (berpenglihatan
/ berpandangan serba luas), maksudnya : dapat melihat baik yang berwujud maupun
semu baik yang belum ada, yang sudah ada maupun yang akan ada dari tingkat
terbesar hingga terkecil.
2. Sakti
dari Tuhan (Sadasiwa)
Sadasiwa atau Saguna Brahma mempunyai empat macam kesaktian
utama yang disebut dengan cadu sakti yaitu :
a.
Wibhusakti (maha ada), artinya beliau ada dalam segalnya dn
dimana-mana, tetapi keadaannya tidak terpengaruh oleh apa-apa namun tetap suci
murni selalu. Serta berada dimana-mana atau wyapi-wyapaka.
b.
Prabhusakti ( mahakuasa ), yakni menguasai segala-galanya,
seperti rajadirajadan tidak ada yang memadi kekuasaannya. Segala sesuatunya
tetap ada dibawah perintah – Nya. Dalam hal ini beliau sering digelari :
Iswara, atau Maheswara. Beliau berkuasa menciptakan, memelihara
dan mempralina. Atau berkuasa menjalankan proses tri kona yaitu utpeti
(penciptaan), sthiti (memelihara) dan pralina (mengembalikan ke asalnya)
c.
Jnanasakti ( maha tahu ) sebagai sumber dari segal wiweka (
pertimbangan akal / pikiran dan kebujaksanaan. Jnana sakti ini
ada tiga jenisnya yaitu duradarsana yang artinya melihat yang jauh dan yang
dekat, durasrawana yang artinya mendengar suara yang jauh dan yang dekat dan
durAtmaka yang artinya mengetahui perbuatan yang jauh dan yang dekat. Beliau
juga mengetahui sesuatu pada masa lampau (atita), masa sekarang (wartamana) dan
masa yang akan datang (anagata).
d. Kriya sakti ( maha karya ) dapat mngerjakan segalanya
dengan sukses dan sempurna. Kriya
sakti yang mengadakan seluruh alam semesta ini, terlebih-lebih para dewata
semuanya. Seperti
brahma, wisnu, iswara, pancarsi, saptarsi, dewarsi, indra, yama, waruna,
kubera, wesrawana, widyadhara, gandharwa, danawa, daitya, raksasa, bhutayaksa,
bhutadengen, bhutakala, bhutapicasa. Selain para dewata beliau juga menciptakan
semua unsur yang ada di dunia ini yang disebut dengan panca mahabuta.
(Subagiasta, 2006 : 15)
3. Swabhawa dari Tuhan (Sadasiwa)
Disamping guna dan cadu sakti seperti diatas, Sadasiwa juga
memiliki kewibawaan dan kemahakuasaan yang disebut “Astaiswarya” ( 8
kewibawaan/keistimewaan yang dimiliki oleh Hyang WidhI), yaitu :
a. Anima (kecil-sekecil kecilnya)
b. Laghima (ringan
seringan-ringannya)
c. Mahima (maha besar)
d. Prapti (dapat
mencapai segala-galanya )
e. Prakamya ( berhasil
segla hal yang dikehendaki )
f.
Isitwa ( merajai segalanya )
g. Wasitwa ( maha kuasa
)
h. Yatrakamawasayitwa
(hendak kemana, ketika sampi dn berkuasa )
Demikianlah karya Bhatara Sadasiwatattwa. Ia berkuasa atas
seluruh alam ini. Ialah yang memiliki alam sakala dan niskala. Ialah Bhatara
Adipramana namanya, Bhatara Jagatnatha, Bhatara Karana, Bhatara Parameswara,
Bhatara Guru, Bhatara Mahulun, Bhatara Wasawasitwa. Ia menciptakan, namun ia
sendiri tidak diciptakan. Ialah yang berkuasa untuk mengadakan dan meniadakan.
Tidak ada yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Ialah Bhatara Gurunya guru.
Demikianlah
sifat-sifat Bhatara Sadasiwatatwa.
2.2 Konsep Atma Tattwa Dalam Lontar Tattwa Jnana
Atmikatattwa adalah Bhatara
Sadaśiwattwa dengan ciri-cirinya : Utaprota. Uta ialah tak tampak tak
ketahuan. Ia mengembang memenuhi mayatattwa. Prota ialah tak dan tak
dapat dikenal lagi ia memenuhi mayatattwa.Itulah Sadaśiwattwa. Sifat
Mayatattwa itu kotor (mala). Itulah yang dipandang dan dihiasi dan
dilekati oleh kotor (mala). Itulah sebabnya seperti hilangnya
sakti Bhatara akhirnya namun tidak demikian, karena Sadaśiwattwa
tidak dapat dikotori hanya saja cetananya yang
terlekati oleh mala, dihiasi dan diselimuti oleh mayatattwa.
Akhirnya cetana itu tidak aktif, tidak lagi sarwajna, tidak lagi
sarwakaryakartha, sehingga cetana itu kesadarannya amat kecil. Maka
disebutlah Atmikatattwa, Sanghyang Atmawisesa, Bhatara Dharma yang
memenuhi alam semesta ialah jiwanya alam semesta jiwa semua makhluk.
Anak Mayatattwa adalah Pradhanatattwa sifatnya lupa tak
ingat apapun. Bertemunya ingat-lupa disebut Pradhana purusa.
Bertemunya pradhana dengan purusa melahirkan Cita dan Guna. Cita
adalah wujud kasarnya purusa. Guna adalah hasil pradhanatattwa yang
diberi kesadaran oleh purusa. Guna ada tiga yang disebut dengan
Triguna yaitu : Sattwa, Rajah, Tamah. Triguna ini menentukan akan mendapatkan
apa Atma itu. Satwa, rajah, tamah yang melekat pada alam pikiran (cita) itulah
yang menyebabkan Atma itu menjelma berulang-ulang. Sattwa
terang bercahaya besar pada alam pikiran itulah yang menyebabkan Atma
mencapai kelepasan (kamoksan). Satwa bertemu dengan rajah menyebabkan Atma
datang di sorga. Bila sattwa bertemu dengan rajah, tamah Atma itu menjadi
manusia, karena sattwa, rajah dan tamah tidak sejalan kehendaknya.
Pertemuan Triguna dengan citta melahirkan buddhi. Buddhi itu adalah
bentuk kasarnya triguna yang diberi kesadaran oleh citta. Dari buddhi lahirlah
angakara.
Bhatara
yang dijunjung memberi kesadaran pada Sanghyang Atma. Sanghyang Atma
memberi kesadaran pada citta. Citta memberi kesadaran pada ahangkara.
Itulah yang disusupi oleh kriyaśakti Bhatara yang memberi kekuatan. Itulah yang
disebut hidupnya hidup. Kriyaśakti Bhatara Pramana
sebagai hidupnya ahangkara sebagai hidupnya buddhi. Ahangkara yang
sifatnya mengaku-aku. Ada tiga jenis ahangkara yaitu :
1. Ahangkara si waikrta
adalah buddhi sattwa
2. Ahangkara si taijasa
adalah buddhi rajah
3. Ahangkara si bhutadi
adalah buddhi tamah.
Ahangkara si waikreta
menyebabkan adanya manah dan 10 indriya yaitu caksu (mata), srota
(telinga), ghrana ( hidung ), jihwa (lidah), twak (kulit), wuk (mulut), pani
(tangan), pada (kaki), upastha (kelamin laki-laki), payu (pelesan).
Itulah pancakarmendriya dengan pancendriya yang disebut dengan
Dasendrya.
Ahangkara si bhutadi ialah yang menyebabkan adanya
pancatanmatra yaitu :
1.
Sabdatanmatra artinya suara yang halus,
2.
Rupatanmatra artinya udara yang halus.
3.
Rasatanmatra artinya rasa yang halus.
4.
Gandatanmatra artinya bau yang halus.
Dari panca tanmatra, lahirlah Panca mahabhūtha
yaitu:
1.
Akasa lahir dari sabdatanmatra
2.
Wayu lahir dari sparsatanmatra
3.
Teja lahir dari rupatanmatra
4.
Apah lahir dari rasatanmatra.
5.
Pertiwi lahir dari gandhatanmatra
Gandha ada tiga jenis yaitu :
1.
Surabhi adalah bau wanga
2.
Asurabhi adalah bau busuk
3.
Gandhasadharanah adalah bau yang tidak wangi dan bau
yang tidak busuk. (Sura, 1998 : 16-18)
Berpadunya panca
mahabhūta dengan guna membentuk Andhabhuwana yaitu : Saptaloka,
bertempat di puncak yang tertinggi. Saptapatala, bertempat di bawah
yang disebut dengan Bhuwana Sarira. Satya loka bertempat paling di atas,
kemudian dibawahnya, Mahaloka, Janaloka, Tapaloka, Swarloka, Bhuwarloka,
Bhurloka. Bhurloka tempat berkumpulnya semua tattwa yaitu : saptaparwa,
saptanawa, saptadwipa, dasabayu, dasendriya. Disamping alam atas terdapat
alam bawah disebut saptapatala : patala, witala, nitala, mahaloka,
sutala, tala-tala, rasatala dibawah saptapatala adalah Balagadarba yaitu
mahaneraka dibawah mahaneraka terdapat Sang Kalagnirudra
yaitu apa yang senantiasa menyala 100.000 yajna jauh menyala
berkobar-kobar.
Ahangkara si Taijasa
adalah buddhi raja, yaitu sifatnya beristri dua orang yaitu
membantu si waikrta dan si bhutadi. Ahangkara itu ada tiga
sifatnya lahir dari buddhi menserasikan sattwa, rajah, dan tamah.
Yang mensrasikan itu adalah Sanghyang Pramana untuk mengaku,
merencanakan perbuatan baik atau buruk.
Perbedaan Pramana dan Wisesa yaitu :
1. Sanghyang
Pramana lebih rendah dari pada Sanghyang Wisesa.
2. Sanghyang
Pramana aktif dalam perbuatan baik atau buruk.
Namun Sanghyang Wisesa
tidak aktif, tidak berkata tanpa tujuan, tidak mengetahui akan baik dan buruk.
Hanya tetap diam tenang, tak bergerak, tidak terguncang, tidak berjalan,
tidak mengalir.
a.
Atma itu
berada di Turyapada, Jarapada, Suptapada.
b.
Atma
berada di Turyapada disebut Pramana Wisesa
c.
Atma
berada di Jarapada disebut Pramana
d.
Atma
berada si Suptapada disebut Wisesa.
Yang menyebabkan
Ahangkara itu disebut Pramana ialah sebagai sarana untuk
mengaku untuk menentukan sehingga atam itu mengalami sengsara
atau Atma itu menjelma berkali-kali. Ahangkara itu ada tiga
macamnya yaitu : tempatnya pada buddhi : ada buddhi sattwa, buddhi
rajah, buddhi tamah. Itulah yang mengikuti apa yang diingini
oleh Yoninya sebagai penjelmaannya. Yoni itulah yang menyebabkan
kemoksan, sorga, demikian pula penjelmaan yang berulang-ulang.
Bertemunya
Bhutayaksa dengan dewarsi, saptarsi, pancarsi, tripurusa terang
bercahaya buddhi itu, itulah Atma mencapai Kamoksaan. Adapun
bhuta dengan hanya daitya bertemu dengan daitya, wedyadhara, dewata,
terang bercahaya besar buddhi itu, itulah yang menyebabkan Atma mencapai
sorga. Bhutakala bertemu dengan raksasa, gandharwa, terang bercahaya
buddhi itu, itulah yang menyebabkan lahirnya sebagai manusia.
Bhutapisaca bertemu dengan raksasa, terang bercahaya buddhi itu, itulah
menyebabkan Atma itu jatuh ke Neraka. Bhutapisaca, terang bercahaya
besar buddhi itu, maka Atma menjelma sebagai Binatang.
Tripurusa ialah Bhatara Brahma, Wisnu, Iswara, bila ia kurang hati-hati,
kurang yoga, pancarsi jadinya.
Apabila dengan baik
dapat memahami Sanghyang Tattwajnana, oleh masyarakat yaitu
dari kesadarannya untuk melaksanakan Prayogasandhi, dengan penerangan
Samyagjnana, dengan berdasarkan brata, tapa, yoga, Samadhi, itulah obat
dari Atma yang sengsara. Atma bagaimanakah yang menaggung sengsara ?
tempat Sanghyang Atma di Turyapada, telah lebih dulu dikatakan
Bhatara jungjungan disebut wyapi wyapaka. Ia berada di alam niskala
kriyasaktinya Bhatara merasuki ahangkara. Ahangkara merasuki
wayu. Wayu meresap pada nadi. Nadi itu merasuki tubuh dengan
halus. Tubuh itulah yang menanggung pancagati (lima kesengsaraan )
itu. Ketika Atma memberi kesadaran pada pradhanatattwa maka pada
saat itulah Sanghyang Atma yang terbagi dua yaitu ada yang wyapara
dan yang tidak wyapara. Wyapara adalah ketika Atma pada saat memberikan kesadaran
pada pradhanatattwa. Tidak Wyapara adalah Bhatara junjungan berhenti diam
tidak lagi menyuruh memberi kesadaran.
Atma tetap tinggal
diam tak begerak dan tak terguncang, ialah yang disebut Atmawisesa dan
ia pulalah yang disebut Bhatara Dharma. Ketika Atma itu aktif
memberi kesadaran di sebut dengan Pramana. Atma yang disebut Sanghyang
pramana dan Sanghyang Atma Wisesa hanya tetap akan di Turyapada,
Begitu juga Atma yang berada di Jagrapada ia juga tunggal sifatnya hanya saja
perbedaan halus dan kasar. Atma yang berada di Jagrapada sebab cetana
sifatnya. Cetana adalah wujud kasar Atma yang berada di Turyapada yang disebut
citta yang dilekati oleh Triguna. Citta ialah
tutur Wyapara kesadaran yang kacau yang tahu baik dan buruk.
Tutur adalah ketika tetap diam tak bergerak. Atma
yang berada di Jagrapada berkeadaan sama pada tutur wyapara dan
tanpa waypara. Atma yang diberi nama Ahangkara si Waikrtha, ialah
dibuat oleh bhatara untuk membuat pancatanmatra dan pancamahabhuta.
Adapun manah (pikiran) itu diwujudkan lagi menjadi tattwa lawölawö
(kelopak bunga). Atma lawölawö adalah Atma pari wara. Atma Pariwara
adalah pancatma yaitu, Atma, paratma, niratma, antaratma dan suksmatma.
Itulah yang disebut dengan inti wujud kasarnya Atma ialah yang
sesungguhnya mengalami baik dan buruk perbuatannya, tidak
habis-habisnya.
Atma disebut Ahangkara si waikrta adalah buddhi sattwa, ialah yang
menanggung sengsara. Atma yang dinamai Ahangkara si tejasa,
ia adalah buddhi rajah, ialah yang menyakiti. Atma yang disebut si
bhutadi ialah buddhi tamah, ia sebagai kesengsaraan orang yang
ditempati oleh bhatara Siwa memiliki Atma wisesa. Walaupun Atma worang Atma
wisesa ia harus melaksanakan tapa, brata, samadhi. Pada waktu
samadhi Bhatara Siwa akan menyatakan dirinya. Pada binatang tidak
ada Atma wisesa itu, ia lebih namyak digerakkan oleh wayu,
idep dan sabda. Sabda, wayu dan idep itu meresapi seluruh tubuh
manusia yang dibei kesadaran oleh Atma dalam kadar yang
berbeda-beda yang menyebabkan perbedaan itu ialah Subhasubha Karma. Atma
yang berada dijagrapada dan tūriapada adalah Atma yang luput dari
subhasubha karma karena kesuciannya. Sedangkan Atma yang berada di
suptapada adalah Atma sengsara karena terus menerus lahir menjadi dewata,
manusia dan binatang. Ia selalu diombang-ambing oleh pikiran yang
berangan-angan. Adapun turyapada dan tūryantapada itu
sukar dijangkau oleh pikiran manusia yang begitu
halusnya. Untuk menentukan sesuatu itu dapat dipergunakan Tri Pramana,
yaitu Praktiyasa, Anumana dan Agama pramana. Turyantapada hanya
dapat dibayangkan dengan Agama, pramana. Atma-Atma itulah yang lahir
menjadi manusia, tinggal dalam badan manusia meresap dalam sadrasa, yang
membangun tubuh manusia. Adapun Sadrasa (enam rasa) itu adalah :
Amla (asam), Kesaya (sepet), Tikta ( pahit ), Katuka (pedas ), Lawana (asin),
Madhura (manis). Namun tubuh itu dasarnya dibangun dari Panca Mahabhuta
yaitu : tanah dijadikan kulit, air dijadikan darah, teja
dijadikan daging, angin dijadikan tulang, udara dijadikan sumsum. Dan
pancatanmatra yaitu : sabda tanmatra menjadi telinga. Sparsatanmatra
menjadi kulit, rupatanmatra menjadi mala, rasatanmatra menjadi lidah,
gandhatanmatra menjadi hidup. Sebenarnya tubuh itu juga merupakan
tiruan alam besar karena bagian-bagian tubuh itu bagaikan bagian-bagian
alam besar. Demikianlah bagian-bagian tubuh itu dapat
dibandingkan dengan sapta bhuwana, sapta patala, sapta parwata, sapta arnawa,
sapta dwipa.
1.
Sapta
Buwana ialah : bhur loka adalah perut, bhuwarloka adalah ati, swarloka
adalah dada, tapaloka adalah kepala, janarloka adalah lidah, mahaloka
adalah hidung dan satyaloka adalah mata.
2.
Sapta Patala
ialah : patala adalah dubur, waitala adalah paha, nitala adalah lutut,
mahatala adalah betis, sutala adalah pergelangan kaki, tala-tala
adalah telapak kaki, rasatala adalah telapaknya yang dibawah.Sapta
Parwata ialah buah pelir adalah gunung Malyawan, pelir
adalah gunung Nisada, limpa adalah gunung Gandhamadana, paru-paru
adalah gunung Malayamahidhara, empedu adalah gunung Trisrengga, hati
adalah gunung Windhya, jantung adalah gunung Mahameru.
3.
Sapta
Arnawa, ialah : air kemih adalah lautan tuak, darah adalah lautan
gula tebu, keringat adalah lautan garam, lemak adalah lautan minyak,
air liur adalah lautan madu, sumsum adalah lautan susu, otak adalah
lautan santan.
4.
Sapta
Dwipa, ialah : tulang adalah pulau jambu, otot adala pulau kusa, daging
adalah pulau sangka, kulit adalah pulau samali, bulu adalah pulau
gomedha, sendawa adalah pulau puskara dan gigi adalah pulau
kraunca. (Sura, 1998 : 61)
Semuanya itu di hidupi
oleh Sanghyang Atma yang membagi-bagi dirinya dalam menghidupi bagian-bagian
tubuh itu. Akibat dari pembagian itu, maka Atma membagi dirinya
menjadi Panca Atma yaitu :
a.
Atma
adalah idep (pikiran ) yang berada dalam hati. Gunanya untuk
berpikir.
b.
Paratma ialah
pikiran yang berada pada mata. Gunanya untuk melihat.
c.
Antaratma
ialah pikiran yang berada di ubun-ubun. Gunanya sebagai antara jaga
dan tertidur.
d.
Suksmatma
ialah pikiran yang berada pada telinga. Gunanya untuk mendengar.
e.
Niratma
ialah pikiran yang berada dalam kulit. Gunanya untuk merasakan rasa
panas dan dingin.
2. 3 konsep
karmaphala tattwa dalam lontar tattwa jnana
Ahangkara si Taijasa adalah buddhi raja, yaitu sifatnya beristri
dua orang yaitu membantu si waikrta dan si bhutadi. Ahangkara itu
ada tiga sifatnya lahir dari buddhi menserasikan sattwa,
rajah, dan tamah. Yang mensrasikan itu adalah Sanghyang Pramana
untuk mengaku, merencanakan perbuatan baik atau buruk.
Perbedaan Pramana dan Wisesa yaitu :
·
Sanghyang Pramana lebih rendah dari pada Sanghyang Wisesa.
·
Sanghyang Pramana aktif dalam perbuatan baik atau buruk.
Namun Sanghyang Wisesa tidak aktif, tidak berkata tanpa
tujuan, tidak mengetahui akan baik dan buruk. Hanya tetap diam tenang,
tak bergerak, tidak terguncang, tidak berjalan, tidak mengalir.
a. Atma itu berada di
Turyapada, Jarapada, Suptapada.
b. Atma berada di
Turyapada disebut Pramana Wisesa
c. Atma berada di
Jarapada disebut Pramana
d. Atma berada si
Suptapada disebut Wisesa.
Yang menyebabkan Ahangkara itu disebut
Pramana ialah sebagai sarana untuk mengaku untuk menentukan
sehingga atma itu mengalami sengsara atau Atma itu menjelma
berkali-kali. Ahangkara itu ada tiga macamnya yaitu :
tempatnya pada buddhi : ada buddhi sattwa, buddhi rajah, buddhi
tamah. Itulah yang mengikuti apa yang diingini oleh Yoninya sebagai
penjelmaannya. Yoni itulah yang menyebabkan kemoksan, sorga, demikian
pula penjelmaan yang berulang-ulang.
a. Bila ada
buddhi sattwa sangat menekankan kepada hakekat kebijaksanaan, mengamati
baik-baik sastra, melaksanakan kesamyagjanan, maka kelahirannya Sanghyang
Tripurusa. Kelahiran sattwa.
b. Bila buddhi sattwa
sangat menekankan pada hakekat brata, tapa, yoga samadhi,
maka pancarsi kelahiran sattwa yang demikian .
c. Bila buddhi
sattwa menekankan pada hakekat puja, arcana, japa, mantra dan
puji-pujian terhadap bhatara, maka saptarsi kelahiran sattwa yang
demikian.
d. Bila buddhi
satwa tidak mengindahkan baik dan buruk, namun kasih – sayang
pada segala makhluk ; dewarsi kelahiran sattwa yang demikian.
e. Apabila buddhi
sattwa sangat menekankan pada hakekat dharma, kirti, yasa,
kebijakan maka kelahiran dewa sattwa yang demikan.
f.
Apabila buddhi sattwa, sangat menekankan pada
hakekat keberanian, keperwiraan, ketangkasan, tidak memperdulikan bahaya,
sangat rela ikhlas pada jiwanya, sombong hendak membunuh mengalahkan dirinya
sendiri dengan kasih sayangnya, bhaktinya, tak bingung dalam berperilaku,
hanya tenang pikirannya, pikirannya semata-mata jernih, bila
akan melaksanakan ketetapan hatinya, keberaniannya,
widhyadhara kelahiran sattwa yang demikian.
g. Apabila buddhi
sattwa, sangat menekankan pada hakekat keindahan, ia senang
mendengarkan bunyi-bunyian yang menyebabkan senangnya telinga,
cinta pada tari-tarian, kidung, cinta bercengkrama, setiap
yang indah menawan didatanginya, ia senang memandang bunga yang
harum. Gandharwa kelahiran sattwa yang demikian. Adapun yang
dijadikan dasar oleh para arif bijaksana untuk mencapai
kemoksan oleh para rsi, dewarsi, saptarsi, terutama oleh sanghyang
Tripurusa ialah, buddhi sattwa yang kenista, madhyama, uttama
Budhi Rajah
a. Ada buddhi rajah,
diberi kata-kata yang tak layak, menjadi marahlah ia, maka tak mampu
menahan, tidak keluar dalam penampilannya, karena sesungguhnya ada orang lain.
Maka itu ia diam saja menahan dirinya. Karena sesak hatinya maka mengalir
keluar dalam wujud tangis. Jika demikian kelahirannya Denawa rajah
yang demikian.
b. Ada buddhi rajah,
diberi kata yang tak baik menjadi marah, tetapi ia tidak tinggal
diam, seketika ia menjauh dan berkata, katanya : “paling hebatlah padaku,
ia kira aku orang penakut, hanya karena enggan untuk bertengkar
karena aku sayang akan kebaikanku. Itulah kelahiran Daitya rajah
yang demikian.
c. Ada buddhi rajah
diberi kata-kata yang tidak baik, menjadi marah gemetar badannya,
seketika ia menyerang, lancang. Kata-katanya : lancang tangan,
lancang kaki, menjerit, meraung, berkata seenaknya saja, Raksasa
kelahiran rajah yang demikian. Dewa kris pencabut nyawa
adalah Raksasa. Daitya menjadi dewanya keris yang menjadi senjata seorang
petani. Danawa adalah dewanya keris yang menjadi senjata seorang pendeta.
Buddhi Tamah
Tidak resah pada apa yang dimakan, ia merasa kenyang dengan
secabik sayur, sekepal nasi, seteguk air, seteguk tuak, puaslah hatinya. Itulah
kelahiran Bhutayaksa tamah yang demikian. Bhutayaksa tempat tinggalnya di
desa sebagai dewanya logam, tinggal pada lingga pratima, arca pujaan.
·
Bila ada buddhi tamah, memilih apa yang di makan,
bukan emas yang diinginkannya yaitu yang paling tidak
ditolaknya, apa saja yang gemerlapan tidak diingininya. Tidak masuk
dihatinya, namun bila ia menemukan makanan, sejuklah hatinya.
Kelahiran Bhuta dengen tamah yang demikian. Bhuta dengen tempat
tinggalnya di wanglu, sebagai dewanya kayu banaspati (beringin).
·
Bila buddhi tamah, sama saja apa yang dimakan, tidak memilih
apa yang diingininya, semua daging yang dipandang orang haram dimakannya
saja, asalkan membuat kenyang, katanya, kelahiran bhutakala tamah yang
demikian. Bhutakala tamah tempat tinggal di kuburan,
perbatasan pemakaman, simpang empat.
·
Bila ada buddhi tamah, mau saja ia makan yang
tidak enak yang menyebabkan ia kemudian gelisah resah, ke barat ke
timur, tidak mengenal letih, kemudian sadarlah ia tertipu
barang orang, yang menyebabkan ia menjadi manggul dan lesu namun
masih tergila-gila. Dipasang juga telinganya, bila mendengar ada makanan
kelahiran Bhutapisaca tamah yang demikian. Bhutapisaca tamah tempat
tinggalnya di angkasa, berjalan-jalan, tidak bergerak (sasabawuh).
Bertemunya Bhutayaksa dengan dewarsi, saptarsi,
pancarsi, tripurusa terang bercahaya buddhi itu, itulah Atma
mencapai Kamoksaan. Adapun bhuta dengan hanya daitya bertemu dengan
daitya, wedyadhara, dewata, terang bercahaya besar buddhi itu, itulah
yang menyebabkan Atma mencapai sorga. Bhutakala bertemu dengan raksasa,
gandharwa, terang bercahaya buddhi itu, itulah yang menyebabkan
lahirnya sebagai manusia. Bhutapisaca bertemu dengan raksasa,
terang bercahaya buddhi itu, itulah menyebabkan Atma itu jatuh ke
Neraka. Bhutapisaca, terang bercahaya besar buddhi itu, maka Atma
menjelma sebagai Binatang. Tripurusa ialah Bhatara Brahma, Wisnu,
Iswara, bila ia kurang hati-hati, kurang yoga, pancarsi jadinya.
·
Pancarsi kurang yoga Saptrsi jadinya
·
Saptarsi kurang yoga Dewarsi jadinya
·
Dewarsi kurang yoga Dewata jadinya
·
Dewata kurang yoga Widyadhara jadinya
·
Widyadhara kurang yoga Gandharwa jadinya
·
Gandharwa kurang yoga Danawa jadinya
·
Danawa kurang yoga Daitya jadinya
·
Daitya kurang yoga Raksasa jadinya
·
Raksasa kurang yoga Bhutadengan jadinya
·
Bhutadengan kurang yoga bhutakala jadinya
·
Bhutaka kurang yoga Bhutapisacajadinya
·
Bhutapisaca kurang yoga Manusia jadinya
·
Manusia kurang yoga menjadi binatang
Binatang ada lima :
a. Pasu (binatang) yang
lahir di desa.
b. Mrga ialah binatang
yang lahir di hutan
c. Paksi ialah
segala yang terbang
d. Mina ialah yang
lahir di air
e. Pipilika ialah nama
binatang yang berjalan-jalan dengan dadanya. (Sura, 1998 : 30)
2.4 Konsep Punarbhawa
dalam Lontar Tattwa Jnana
Sengsara
benar sanghyang atma, terus tenggelam hilang tak dapat kembali ke jati dirinya.
Bagaikan tanpa pikiran Sanghyang Atma. Sama seperti halnya biji jawawut satu
butir, yang dipotong-potong menjadi beribu-ribu ditenggelamkan disamudra.
Amatlah sulitnya akan menemukan hakekat juwawut itu. Demikian pula Sanghyang Atma,
apabila telah menjadi binatang liar. Masih lebih baik menjadi binatang ternak,
sabab itu bisa sebagai sarana untuk membuat baik.
Ada
yang menjadi semut, tetek, lintah, wedit, warayang, hiris poh, segala mahluk
yang dibenci oleh manusia, lebih-lebih bila ia hendak bergerak dan pula
binatang itu ada yang ditakuti, ada yang dibenci. Apa yang menyebabkan
demikian? Perbuatan yang tidak baik, kanistha madhyama uttama yang berlalu itu
dalam berbuat. Manakah perbuatan jelek yang paling kecil? Orang yang terhindar
dari kemarahan, namun keras, lancing. Demikianlah orang lalu menikmati
perbuatannya yang buruk lalu jatuh ke neraka. Setelah lepas dari sana, ia itu
baru diberi menjelma menjadi manusia oleh Yamabala. Tidak sama rupanya dengan
orang sadhu. Ia itulah manusia cacat namanya. Ia memiliki cacat, segala macam
cacat, sebagai hasil perbuatan buruknya yang paling kecil.
Inilah
orang yang perbuatan buruknya sedang lantaran keadaannya menyedihkan, tidak ada
yang dimakannya dan yang dipakainya. Hal itulah yang menyebabkan ia berbuat
jahat, menjadi maling, berbuat curang pada milik orang sadhu yang menyebabkan
bisa makan. Matilah ia itu, perbuatannya yang demikian itu, mendorongnya untuk
menuju neraka. Setelah lepas dari neraka, diberinyalah ia menjelma menjadi
binatang liar oleh Sang Yamabala. Adapun binatang itu isa dimakan, bisa
dimakan sebagai sarana meaksanakan yajna tawur. Diberi pahala demikian pada akhirnya.
Inilah
perbuatan buruk yang terbesar, yang disebabkan oleh keakuannya oleh lobanya,
oleh kebingungannya, oleh ketamakannya, maupun oleh iri hatinya. Tak
tersucikan, betul-betul kotor penjelmaannya, porapuri olehnya berbuat jahat.
Menyerang orang tidak berdosa, merampas dagangan orang yang tidak berdosa,
membuat pikiran orang susah, makan makanan teman. Orang yang demikian itu
sifatnya, tentu dibenci, ditakuti oleh sesama manusia. Setiap yang didatanginya
dimanapun ia berada akan dikesampingkan orang, dan orang merasa terganggu.
Ketika mati orang yang demikian itu perbuatannya tak jauh akan menuju neraka.
Setela terlapas dari sana lalu diberinya ia menjelma menjadi binatang liar oleh
Sang Yamabala. Nah demikianlah jadinya segala jenis binatang yang dibenci,
didengki, ditakuti oleh manusia. Itulah merupakan penjelmaannya. Demikian
pahala perbuatan buruk yang besar. Sangat besar kesalahannya tanpa bentuk yang
benar kelahirannya Sanghyang Atma. Apalagi akan mengetahui asal-usul
penjelmaannya. Jika seandainya ada tindakan yang akan dilakukannya bisa akan
menanyakannya tentang keterangan kebodohannya pada sang pandita. Apakah yang
menyebabkan adanya panca triyak itu? Segala prilaku manusia yang berbuat buruk
padanya. Itulah sebabnya perbuatannya berlawanan dengan manusia, perbuatan
binatang itu.
Punarbhawa
atau kelahiran kembali secara berulang-ulang dari satu kehidupan ke kehidupan
lainnya sangat sulit dibuktikan secara rasional. Hal itu merupakan suatu
kejadian di luar batas kemampuan berpikir manusia. Karena itu Punarbha hanya
dapat diterima melalui suatu keyakinan sesuai dengan ajaran agama hindu.
Punarbhawa itu terjadi karena adanya Atman dengan berbagai karmanya pada setiap
makhluk. Atman itu tetap hidup ketika tubuh manusia meninggal. Tubuh manusia
yang meninggal kembali keasalnya yaitu panca maha bhuta, sedangkan Atman
kembali kepada Brahman. Atman yang kembali ke sumbernya itulah yang menyebabkan
terjadinya Punarbhawa. Selama manusia tidak dapat membebaskan diri dari
keterikatan duniawi, maka selama itu pula Atmanya akan terkena selubung Maya.
yang mengakibatkan tidak dapat mencapai kelepasan dank arena itu akan terus
lahir kembali. (Suhardana. 2011:21)
2.5 Konsep Moksa
Tattwa dalam Lontar Tattwa Jnana
Bersatunya Atma dengan Brahman akan tercapai keadaan Sa Cit
Ananda yaitu kebahagiaan yang abadi, hal itulah yang dinamakan dengan Moksa.
Moksa merupakan salah satu bagian dari panca sradha yang merupakan pokok
keimanan dalam agama Hindu. Dalam agama Hindu istilah moksa disamakan artinya
dengan Mukti atau kelepasan.
Moksa artinya bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari
karma phala. Moksa bukan saja diperoleh secara kematian, namun juga bisa
diperoleh ketika masih hidup dengan catatan mampu melepaskan ikatan-ikatan
duniawi. Hal ini disebut Jiwan mukti, seperti para maha rsi maupun prabhu
janaka. Para maha rsi telah mengaktifkan dirinya kepada masyarakat luas dan
kedamaian dunia tanpa pamrih. Orang-orang suci berbakti kepada Tuhan dengan
menjalankan dharma dalam arti seluas-luasnya. (Suraba, 2013: 53) Usaha-usaha
untuk menuju Moksa itu adalah dimulai dari sifat ajaran agama, seperti
berprilaku yang baik, berdana beryajna dan bertirta yatra. Semua usaha-usaha
ini dapat dilakukan secara bertahap yang didasari oleh niat yang baik, sehingga
pada akhirnya seseorang dapat melepaskan dirinya dari keterikatan yang mengarah
kepada Adharma. Adapun tingakan Moksa dibedakan menjadi empat jenis yaitu
Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa
hidupnya di dunia ini, sarupya adalah suatu kebebasa yang didapat seseorang di
dunia ini karena kelahirannya, salokya
adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh atman, dimana Atman itu sendiri
telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan dan Sayujya
adalah suatu tingkatan kebebasan yang tertinggi dimana Atman telah dapat
bersatu dengan Brahman.
Adapun jalan yang dapat ditempuh untuk menuju Moksa dapat
dilakukan dalam bentuk Bhakti, Yadnya dan Tirta Yatra serta Samadhi. Semua
usaha ini akan berhasil bila ada anugerah Tuhan. Ada beberapa jalan yang ditunjuk
oleh sastra agama salah satunya yaitu dengan Catur Marga Yoga. Catur marga yoga
ini terdiri dari empat bagian yaitu Bhakti Marga Yoga yang dimana jalan ini
merupakan jalan yang amat mudah, maka itu banyak dipergunakan oleh umat untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun pengertian dari Bhakti
Marga Yoga itu adalah jalan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan yang
diwujudkan dalam bentuk bhakti kepada-Nya. Karma Marga Yoga adalah upaya yang
dilakukan seseorang untuk mencapai kebahagiaan yang tertinggi yang didasarkan
pada kerja yang tidak terikat akan hasilnya, senantiasa berbuat kebajikan. Yang
selanjutnya yaitu Jnana Marga Yoga yaitu cara untuk mencapai kebahagiaan dengan
menggunakan penngetahuan yang benar, dengan berusaha menyatukan dirinya yang
sejatio dengan Brahman melalui jalan pengetahuan kerohanian yang dinamakan
jnanin. Dan yang terakhir yaitu Raja Marga Yoga adalah jalan untuk menyatukan
Atman dengan Brahman melalui tapa, brata yoga dan Samadhi. Yang dimana ini juga disebutkan dalam lontar Tattwa Jnana
yang menyebutkan bahwa “Dengan
Bhumibrata, tapa, yoga dan Samadhi sebagai penuntun samyagjnana, dengan
perantara prayogasandhi maka dia yang demikian itulah yang dapat mewujudkan
keutamaan ketuhanan” . (Sura, 1998 : 73) Keutamaan ketuhanan yang dimaksud
di sini adalah dapat menyatukan Sang Hyang Atma dengan Sang Hyang Brahman.
Namun ketika dalam proses penyatuan tersebut tanpa peranan
dari pengetahuan yang tinggi atau tanpa menggunakan pengetahuan maka dalam
proses Samadhi, yoga, tapa dan brata akan terasa berat, maka orang yang
demikian itu adalah orang yang bingung, tidak tahu kemana sasaran jiwanya,
karena tidak tahu Tattwa Jnana, tanpa tuntunan dari pengetahuan itu sendiri.
Tentu saja meluncur dengan bebas, salah sasaran Samadhi sang yogiswara bila
demikian. Buahnya brata saja yang menuntun, minta dinikmati, lurus menuju sorga
sanghyang atma bila begitu. Bila buah bratanya habis dinikmati oleh sanghyang
atma di sorga, maka sanghyang atma itupun akan turun ke dunia lagi/bereinkarnasi
lagi menjelma menjadi manusi kembali.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari materi yang telah dijelaskan tersebut kita dapat
simpulkan bahwa dalam lontar Tattwa Jnana ternyata terdapat konsep ajaran dari
Panca Sradha yaitu lima dasar keyakinan agama Hindu. Mulai dari konsep Widi Tattwa,
Atma Tattwa, Karma Phala Tattwa, Punarbhawa Tattwa dan Moksa Tattwa. Nah mulai
dari Konsep Widi Tattwa yang dijelaskan dalam lontar ini yaitu keagungan Tuhan,
kebesaran Tuhan yang tak bersifat tanpa bentuk, tak mengalir, tak ada asal, dan
bagaimana kemahakuasaan-Nya yang disebut dengan Cadhu Sakti yang terdiri dari
Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Yang selanjutnya yaitu
konsep ajaran Atma Tattwa yang merupakan percikan terkecil dari Tuhan yang
merupakan jiwa alam semesta, jiwanya semua makhluk yang diliputi oleh
Mayatattwa/cetana yang kemudian membentuk Tri Guna. Kemudian konsep Karma Phala
Tattwa dalam lontar ini yaitu sifat Tri Guna ini: Sattwam, Rajas dan Tamas
tidak mengalami keserasian maka akan membuat makhluk hidup dapat menerima karma
baik maupun karma buruk sesuai dengan perbuatan. Ketika karma baik dan buruk
ini imbang akan menyebabkan Punarbhawa atau menyebabkan atma menjelma
berkali-kali sesuai dengan Karma Phalanya. Yang terakhir yaitu konsep moksa
dalam lontar ini adalah bagaimana seseorang itu mampu mencapai tujuan tertinggi
atau membebaskan atma dari kelahiran kembali dengan memahami dengan baik
Sanghyang Tattwajnana yaitu dri kesadarannya untuk melaksanakan prayogasandh,
dengan penerangan samyagjnana, dengan berdasarkan brata, tapa, yoga Samadhi.
3.2 Saran
Dengan terbentuk makalah ini,
diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat maupun kalangan pelejar
tentang konsep Panca Sradha dalam lontar Tattwa Jnana. Penulis menyadari dalam
menyusun makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu mohon saran dan
kritiknya agar dalam penyusunan makalah yang selanjutnya bisa lebih baik lagi.
Dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis, mohon untuk memberikan
wawasan dan pengetahuannya sehingga makalah yang nantinya akan disusun oleh
penulis akan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Subagiasta, I
Ketut. 2006. TATTWA HINDU. Surabaya:
PĀRAMITA.
Suhardana, Drs.
K.M. 2011. PUNARBHAWA Reinkarnasi,
Samsara atau Penitisa. Surabaya: PĀRAMITA.
Sura, I Gede
dkk. 1998. TATTWA JNĀNA. Surabaya:
PĀRAMITA.
Suraba, I
wayan. 2013. Cara Praktis Untuk Memahami
Agama HINDU melalui Kumpulan Dharmawacana. Surabaya: PĀRAMITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar